[3] Before We Explore Dimension

46 16 7
                                    

___

Hopelly, kalian bakal banyak memberi komentar/review/kesan serta vote for me in this chapter. I really apreciation for that. Semangat nulisku dari kalian!

___

Angin berputar ribut jauh di atas angkasa termaram. Awan putih berterbangan seakan turun ke peraduan. Membuat para insan berangan-angan mudah menggapai dan menjadi bagiannya. Hari ini tak cukup kuat untuk menahan tangis langit, menderas menghujani bumantara yang tandus. Kemudian para insan berlindung dibalik topeng kesedihannya. Semata-mata supaya air matanya berbaur menjadi satu dengan bulir hujan. Dan kini diantara lautan manusia itu, tangan mungil yang mencengkram kuat rambut kepalanya mulai jengah karena frustasi. Tak ayal, Airin tak bisa menahan sesegukkannya. Lelaki yang direncanakan untuk menjadi korban ke-isengannya tampak benar-benar tak ada di mana pun.

Meski siang dan malam mengharap-harap lelaki itu mati saja atau lebih baik tak ada di dunia ini--Menurutnya, itu hal yang baik untuk semuanya. Namun apa benar itu yang diinginkannya? Mengapa ia menyesali keputusannya sekarang? 

Bagaimana kalau lelaki itu tidak menyusul kembali?

Matanya terbuka lebar sesaat, lantas menghampiri pria paruh baya yang memimpin acara kemah. "Maaf pak, teman saya Rey... tidak ada di mana pun."

Ekspresinya terdistorsi seketika. Tanpa embel-embel segera berbalik melangkah menuju beberapa guru yang masih berjaga di belakang truk, berbicara dengan beberapa supir yang kebetulan orang lokal, kemudian kembali ke hadapannya dengan ribuan tanda tanya serta emosi. "Kapan terakhir kali kamu melihatnya, nak?!"

"...Dia bilang ingin kembali ke Curug. Barangnya tertinggal."

"Kalian keluar barisan berarti?!"

Airin menggeleng ragu. "Saya tidak--Dia langsung pergi begitu saja."

Terdengar helaan berat sebelum decakan kasar. Pria itu berbalik cepat menghampiri beberapa orang yang sudah menunggunya di truk angkut terdepan.

"Cepat ke tendamu, Nak."

Hanya itu pesan terakhirnya.

Sejujurnya Airin tak begitu ingat bagaimana kejadian setelahnya. Magrib itu hujan semakin deras bagai amukan emosi. Kabut menebal membutakan siapapun. Suhu turun drastis seakan mereka tidak lagi di Kawasan Gunung Blender, namun dalam freezer refrigerator. Seluruh siswa dikunci rapat dalam tenda dengan modal lampu senter hape. Diluar angin sangat ribut hingga suara ranting pohon bagai tengah bertengkar. Hanya beberapa guru lebih senior yang masih berkeliling diluar tenda seakan panik mencari-cari sesuatu.

"Banjir bandang, Bu! Kami terpaksa menghentikan pencarian!"

Apa?

"Bagaimana bisa dia keluar barisan? Bukannya sudah dihitung yang naik truk?!"

Semoga bukan Rey. Semoga.

"Truk pertama kan diambil acak bu, tanpa perhitungan. Bukankah dia bersama teman-temannya yang lain?"

Airin mulai berkeringat dingin.

"Temannya ngaku kok tidak bersama dia. Katanya sudah jalan duluan sama ceweknya."

Siapa ceweknya?

"Pokoknya kita lanjut nanti saat sudah sedikit reda, Bu. Kabutnya masih tebal sekali. Daerah Curug sangat rawan."

Namun hingga hujan berhenti dan bintang-bintang bermerkaran di atas angkasa, tak ada tanda-tanda kehadiran Rey. Bahkan hingga acara api unggun dimeriahkan oleh permainan gitar Hilal juga nyanyian merdu Bram, plus pukulan irama kahoon milik Moreno, lelaki pelengkap empat serangkai itu tak kunjung pula muncul batang hidungnya.

PARALEL FUTUREحيث تعيش القصص. اكتشف الآن