[2] After We Running Away

51 18 4
                                    

___

Hopelly, kalian bakal banyak memberi komentar/review/kesan serta vote for me in this chapter. I really apreciation for that. Semangat nulisku dari kalian!

___

Gawai hitam keluaran terbaru merek apple tersebut tergeletak sembarang di atas batu bongkahan besar air terjun. Airin sudah memandangi objek pipih itu selama lebih dari lima menit, dan dalam periode tersebut bayang-bayang aksi nakalnya sudah rangkap. Mengenali handphone familiar tersebut, ia mengambilnya sebelum mengumpatkannya dibalik kantung celana.

Matanya menatap si pemilik dengan awas. Senyum terbit kemudian yang mana pemuda dalam perhatiannya masih asik bermain air Curug bersama kawannya yang lain. Mengartikan tak menyadari perbuatannya.

"Kabut mulai turun! sebentar lagi hujan turun! Semuanya naik dari Curug kita kembali ke tenda kemah!"

Mendengar arahan dari pemimpin pelaksana kegiatan, lelaki paruh baya yang tampak fasih dalam menerawang cuaca, membuat sekumpulan pemuda bergegas keluar dari perairan. Mulai berpakaian sebelum masuk dalam barisan dua banjar ke belakang.

Airin buru-buru ikut setelah sadar rombongannya mulai melangkah. Ia termasuk bagian siswa terakhir yang masuk barisan. Setidaknya tergesa-gesa membuatnya terpeleset dan tanah membesek kaki kanannya yang mulus.

Beruntung seseorang menahan pinggangnya dari samping.

"Hati-hati. Pinggir jurang."

Mendapati wajah Rey dengan senyum kekehan khasnya segera saja Airin elak. Gadis itu menepis tangan kokoh pemuda tersebut. Plesetan dengan kepedulian lelaki itu, Airin rela jatuh jurang asal tidak ditolong seorang Rey.

"Kenapa kau sangat membenciku?" Tanya lelaki itu kemudian, kepalang penasaran sekaligus mulai merasa tersinggung akan sikapnya. Sudah terlalu lama Airin menunjukkan ke tidak acuhannya pada pemuda tersebut.

Mungkin itu pertanyaan yang paling sulit dipecahkan, mungkin jika berhasil menciptakan rumus formulanya maka siapapun penemunya akan meraih nobel dunia, atau mungkin memang tak ada jawabannya.

Airin selalu bungkam oleh pertanyaan itu. Ia benci hingga memikirkan alasannya saja sudah rumit duluan.

Gadis itu kembali berjalan mengikuti rombongan, meninggalkan Rey di belakang yang mulai cemas akan sesuatu. Tangannya merogoh seluruh kantung celana sedang bola matanya ke seluruh penjuru untuk mengingat. Kemudian lelaki itu dengan panik takut tertinggal rombongan segera berlari mengejar Airin, perlahan menahan pergelangan tangannya membuat langkah gadis itu terhenti.

"Apa?"

"Ada barangku yang tertinggal di Curug sepertinya. Tunggu aku nanti. Jika mereka mencariku, katakan saja aku akan menyusul."

Dan tanpa sempat Airin membuka mulut maupun mengeluarkan sepatah kata, lelaki itu sudah berbalik melengos kencang hingga kabut menelannya.

Kemudian mentari mulai lelap, menyelimutinya dari gumpalan kapas berwarna ungu kebiruan di ujung horizon. Hujan mulai membasahi tanah berlumpur. Rintik sepersekian sebelum menderas kencang.

Airin tidak merasa ganjil awalnya. Dia menaiki truk angkut paling depan setelah seorang guru panitia perkemahan memaksanya supaya bisa berteduh dan segera beristirahat di tenda. Truk melaju kemudian melawan ranting-ranting padat hutan rimbun.

Airin bisa mati kebosanan disini, ia butuh pemanis lidah. Biasanya dia selalu membawa permen karet di kantung celana--tunggu, ada yang tak beres.

Seingat Airin kantung celananya terasa berat sebelumnya. Seingatnya dia menaruh sebuah handphone-sial! Airin bangkit berdiri spontan sebelum terjatuh mendebum kursi kembali karena guncangan truk. Tak ada apapun di kantongnya sekarang! Pastilah benda itu terjatuh entah dimana.

PARALEL FUTUREWhere stories live. Discover now