i understood what he meant [part 1]

Start from the beginning
                                        

Kak Ace, aku menemukannya berdiri tak jauh dari diriku berada. Meski pandangannya berkeliaran ke segala arah, tapi sesekali ia mengecek ke arahku yang tengah tersenyum ke arah kamera. Hingga sesi foto bersama usai, kami para anak-anak jurusan fotografi lantas mengobrol di pinggir lapangan, membicarakan hendak kemana setelah ini. Namun pandanganku tidak bisa luput dari sosok Kak Ace yang kini juga tengah berbicara dengan beberapa temannya.

Apa ya yang kurang? Rasanya ada sesuatu yang harus aku lakukan dengannya sekarang.

"Eh, bentar, gue mau minta foto sama Kak Arif," ucap seorang temanku bernama Mawar seraya melangkah mendekati seorang laki-laki berpostur kurus jangkung yang tengah mengenakan jas almamater.

Melihat aksinya pun membuatku lantas sadar. Kak Ace pernah menyuruhku untuk meminta berfoto dengannya saat closing ospek universitas. Hal itu dikarenakan saat closing ospek fakultas kami tidak punya foto bersama. Kemudian kedua mataku beralih ke arah Kak Ace yang saat ini tengah berdiri seorang diri. Ini adalah sebuah kesempatan. Seharusnya aku mendatanginya dan menagih janjinya pada saat itu. Tapi jantungku yang berdegup kencang malah membuatku gugup dan mules.

Kenapa aku merasa gelisah seperti ini padahal kemarin kami sudah pernah pergi bersama seharian?

Mungkin ini efek bayangan dalam pikiranku sendiri. Jika aku meminta foto dengannya sekarang, pasti semua orang, tidak hanya dari teman-teman satu jurusan, tapi dari teman ospek pun akan histeris dan berusaha terus menggodaku. Ah, pasti malu rasanya.

Dan aku terus merasa bimbang karena disisi lain hatiku terus berkata jika aku harus memiliki setidaknya satu foto kenang-kenangan bersama dengannya saat di lingkungan kampus.

"Kei, lo gak ada niatan buat foto sama senior gitu?" Tanya Salsa kepadaku yang semula melamun.

"Foto bareng senior? Uhm ... ada sih, tapi—"

Saat aku kembali menoleh ke arah Kak Ace, rupanya sudah banyak rombongan perempuan yang mendatangi dirinya untuk meminta foto bersama. Ah, seharusnya aku ingat jika dia adalah artis di akun unpelya ganteng. Pasti banyak yang ingin berfoto dengannya.

"Tapi kenapa?"

"Gak jadi deh." Aku berusaha tersenyum.

"Lah?"

"Gak mood," alibiku. Kemudian aku menggandeng Salsa. "Mendingan kita berempat foto yuk," ajakku kepada Salsa, Lisa, dan Camilla.

Kemudian aku menghabiskan waktu dengan berfoto-foto dengan mereka bertiga. Meski terlihat bahagia difoto, tapi nyatanya pandangan ini tidak bisa lepas dari sosok Kak Ace dengan para penggemarnya. Hingga aku benar-benar keluar dari area stadion, tiada satupun foto bersama dengan Kak Ace yang berhasil aku dapatkan. Dan pada akhirnya, janji itu hanyalah wacana yang tidak akan pernah terjadi.


"Yah, kurang satu nih," keluh Cantika setelah menghitung para anak laki-laki dengan boncengan yang kosong ternyata tidak sesuai dengan jumlah kami yang membutuh tumpangan.

"Gue naik ojek aja," ucapku mengalah.

Lagian aku siapa sih? Kumpul bareng mereka aja tidak pernah.

"Loh, kok gitu, Kei. Tunggu bentar deh, gue mau hubungin anak-anak yang lain." Bella langsung beralih mengutak-atik ponselnya.

Hingga Jihan yang tidak sengaja menangkap satu sosok familiar yang joknya motornya kosong saat lewat di depan kami lantas berseru, "Itu bukannya Kai?"

Kami serempak menoleh. Dan benar saja, Kai dengan motor cafe racer-nya melaju perlahan melewati kami yang ada di pinggir jalan dekat area stadion.

"Kai! Woi, Kai!" Seru Bella membuat si pemilik nama langsung menoleh dan berujung melipir.

Ia dengan tautan kedua alisnya sebagai tanda protes lantas melayangkan pertanyaan dingin, "Apa?"

"Tolong anter Keira ke Burjo Idaman dong! Lo mau ke sana juga kan?"

Kai sempat melirikku sekilas, "Gak bisa."

Baik Bella, Cantika, dan Jihan langsung kebingungan, "Lah? Lo kan gak ada boncengan."

"Iya. Gak bisa."

"Aneh ba—"

"Udah, Bel. Mungkin artinya dia gak ikutan nongkrong di burjo. Lagian deket kali, gue bisa naik ojol."

Bella menghela napas panjang saat menyaksikan motor Kai melaju cepat meninggalkan lokasi.

"Beneran gakpapa?"

"Iya gakpapa. Ya kali kita bonceng tiga."

"Gue malah mikir gitu," sahut Jihan membuat kami saling berpandangan heran.

Permasalahan ini pun mampu diselesaikan secara baik-baik dengan aku yang mengalah untuk berangkat ke burjo menggunakan ojek online disaat yang lain membonceng motor para laki-laki dari 'geng besar' diangkatan kami. Dan Burjo Idaman adalah tempat yang sering dijadikan basecamp berkumpul bagi mereka. Aku sendiri tidak tahu jika ada burjo dengan nama itu jika tidak memutuskan untuk berkumpul dengan mereka siang ini.

Setelah menunggu beberapa saat, ojek yang aku pesan secara online pun berhasil aku dapatkan. Dan aku baru bisa berangkat menyusul jejak teman-temanku pada dua menit berikutnya, ketika seorang bapak-bapak paruh baya tiba di depanku dengan motor tuanya.

Sesampainya di lokasi, ketiga temanku langsung menyambutku meriah, membuat sebagian besar penghuni burjo itu menoleh keheranan.

"Cie, selamat datang di Burjo Idaman, Kei!"

"Nanti lo harus kenalan satu-satu sama anak-anak yang lainnya."

"Juga kenalan sama abang-abang yang jualan."

Kemudian Cantika memintaku untuk duduk di sebelahnya.

Meja kami para perempuan terpisah dengan para laki-laki yang berombongan banyak orang. Penyebabnya tak lain karena sebagian besar dari mereka mengonsumsi vape hingga rokok, dan tak semua perempuan tahan dengan asapnya.

Disaat aku kebingungan hendak memesan apa, tiba-tiba suara diujung meja laki-laki membuat kami menoleh, "Anjing! Jangan lo senggol kaki gue!"

"Iye sorry, gak lihat," ucap salah seseorang di sebelah sosok yang berteriak tadi.

Bella menyipitkan matanya ke arah meja anak laki-laki, "Lah, Erwin? Bukannya lo habis jatoh ya kemarin Sabtu?"

Si pemilik nama kini beralih ke arah kami, "Iya, makanya gue gak ikut closing tadi."

"Tapi lo malah ke sini," celetuk Cantika.

"Di sini gue kan cuma duduk, makan, sama mabar. Kaki gue gak ikutan gerak."

"Iya deh iya."

"Emang lo tadi dianter sapa, Win? Gak mungkin kan lo bawa motor sendiri," tanya Jihan.

"Pasti si Gilang, iya kan? Dia yang paling suka anter jemput anak-anak soalnya," tebak Bella.

"Dih, anak-anak cewek doang kali. Giliran temennya cacat aja kebanyakan alesan. Makanya sekarang dia gak di sini, cabut sama anak seni tari yang kemarin." Raut wajah Erwin menunjukkan kekesalan yang teramat dalam.

"Oalah gitu, terus dianter siapa dong?"

"Kai."

"Hah?" Kami berempat saling melempar pandang bingung.

"Terus mana orangnya, kok gak ada?" Tanya Cantika.

"Katanya mau jemput seseorang. Makanya tadi dia buru-buru banget, berasa dikejar setan anjir di jalan," sahut Erwin seraya kembali memainkan ponselnya.

Semula aku bertanya-tanya siapa seseorang yang akan Kai jemput, sampai sebuah motor datang dan parkir di depan Burjo Idaman.

Ternyata itu Kai.

Dan dia sendirian.


BEM U[1] = BEM Universitas

if only,Where stories live. Discover now