Chapter 3

24 2 0
                                    

"Bobi ngambil uang simpanan ibu yang ada di kaleng ini!"

Sola ikut-ikutan terduduk. Kedua kakinya tersasa melunak seperti jeli. Bersama ibu, ia menatap kosong ke arah kaleng di hadapan mereka itu.

Kaleng itu adalah tempat ibu menyimpan uang yang selama ini ia sisihkan dari gaji pensiunnya sekaligus dari biaya hidup yang rutin Sola berikan setiap bulan. Sola tahu diam-diam ibu memang menyimpan sedikit uang berkat upayanya berhemat. Tapi ia tidak mengetahui berapa nominal uang yang sudah terkumpul, dan untuk apa uang itu akan digunakan. Ia enggan bertanya, karena menurutnya itu adalah urusan yang tidak perlu dicampurinya.

Namun kini, setelah Bobi, adiknya, berbuat masalah kesekian dengan mengambil uang ibu, tentu itu juga jadi urusan Sola. Ia geram memikirkan adiknya yang tidak pernah mau berubah itu. Pemuda tujuh belas tahun yang tidak lulus SMA itu selalu membikin onar sejak ia mulai menginjak masa remaja.

Sebelumnya ia sudah pernah meresahkan ibu gara-gara terlibat geng motor dan kerap mengikuti aksi kebut-kebutan di jalan raya yang pada akhirnya membuatnya sempat kecelakaan. Setelahnya, ia dikeluarkan dari sekolah karena menggebuki seorang adik kelas sampai cedera parah. Sejak itu, ia tidak lagi menunjukkan tanda-tanda ingin kembali melanjutkan pendidikannya.

Bobi pun luntang-lantung di jalanan. Berhari-hari ia tidak pulang ke rumah. Sola diam-diam mencari tahu, ternyata adiknya itu selalu berpindah dari bangunan kosong satu ke bangunan lainnya. Untuk makan sehari-hari, ia mengamen bersama teman-temannya sesama anak jalanan.

Perangai Bobi sebelas dua belas dengan Bapak. Hanya saja, jika Bapak sesekali pulang diam-diam tanpa bikin onar, Bobi selalu pulang membawa masalah. Kali ini, masalah yang ditimbulkannya mendorong kesabaran Sola mencapai batasnya. Tak habis pikir, adiknya itu tega mengambil seluruh tabungan Ibu sampai habis tak bersisa. Selain tabungan, tampaknya uang belanja bulanan juga disikatnya habis. Terbukti dompet lusuh ibu yang ikut tergeletak di lantai kosong melompong.

"Kapan dia pulang bu? Ibu sempat ketemu dia?" cecar Sola gusar.

"Tadi siang La, beberapa jam sebelum kamu pulang. Dia langsung minta uang sama ibu, ibu bilang nggak ada, nggak punya. Lalu dia ngaduk-aduk lemari dan menemukan kotak ini," Ibu menjelaskan sambil sesenggukkan, membuat Sola merangkulkan lengannya untuk menenangkan.

"Katanya untuk apa uang itu bu? Dan berapa yang diambilnya?"

"Ada sekitar delapan juta La. Ibu juga nggak ngerti untuk apa, dia nggak jelas bilangnya. Katanya buat nebus motor kawannya atau apalah. Nggak tahu juga ibu. Yang jelas dia kelihatan kepepet banget."

"Anak bandel itu! Awas aja kalau ketemu. Pokoknya bakal kucari dia ke manapun bu. Habis dari sini dia ke mana bu?"

Ibu hanya menggeleng lemah. "Ibu nggak tahu, dia langsung keluar, ke arah Timur. Mungkin udah nyeberang La."

"Aku coba cari ke sana!" Sola bangkit berdiri, tapi lengannya ditahan Ibu.

"Pelan-pelan ngomongnya nanti sama dia, La. Kayaknya dia memang lagi ada masalah serius. Jangan dibentak ya, nanti malah makin kabur."

Pesan Ibu padanya tak dipungkiri membuat telinga Sola panas. Rasanya ubun-ubunnya mendidih, melihat betapa Ibu masih sempat-sempatnya mengkhawatirkan Bobi ketimbang seluruh uangnya yang raib diambil bocah itu. Padahal, dengan hilangnya uang itu, Sola harus memutar otak keras untuk mencari cara membayar uang listrik, air, serta menutupi biaya belanja sampai dua minggu ke depan. Gajinya baru turun di tanggal 25 mendatang.

Meski memendam kesal, Sola hanya mengangguk pada ibunya. Kemudian ia bergegas pergi ke dermaga dengan berjalan kaki. Mungkin saja Bobi sudah menyeberang, tapi ada baiknya ia tetap mencarinya ke dermaga. Atau sekalian saja ia sampaikan masalah ini ke Bapak. Ia yakin, Bapak belum mendengar soal kejadian ini, karena laki-laki itu memang belum pulang ke rumah sejak kemarin.

Sesampainya di deretan kedai-kedai makanan, Sola langsung berjalan lurus ke kedai teh tarik tempat Bapak duduk merokok. Laki-laki paruh baya yang mengenakan kaus berlubang, celana pendek serta sandal jepit lusuh itu tampak kaget Sola tahu-tahu menghampirinya. Padahal sudah bertahun-tahun rasanya mereka tidak pernah bertatap muka untuk mengobrol.

"Pak, lihat Bobi?" tanya Sola tanpa basa-basi.

Bapak tak menjawab, hanya mengibaskan tangannya yang mengapit rokok ke arah di mana dermaga berada. Sola memahami maksudnya, mungkin orang tua itu sempat melihat Bobi pergi ke arah dermaga. Tapi bukan berarti ia ada di sana, pastinya pemuda itu sudah menyeberang.

Sola berdiri gusar sambil menggigiti kuku jempolnya. Ia bingung apa yang harus dilakukan. Mau menghubungi Bobi? Ia bahkan tidak tahu nomor ponsel anak itu sejak handphonenya dijual untuk keperluan entah apa. Mau mengejar Bobi ke seberang pun Sola terlalu lelah--dan tak punya uang.

Ia pun melirik Bapak yang dengan santainya merokok tanpa melihat kegusarannya. "Bobi kabur bawa uang tabungan ibu pak."

Akhirnya laki-laki itu meliriknya sekilas. Ekspresi wajahnya yang tertutupi kumis dan jenggot putih lebat tak terbaca.

"Dia ngambil uang buat makan bulan ini juga. Sola dan Ibu udah nggak punya uang lagi!"

"Pinjam ke bu Siti," jawab Bapak pendek.

"Iya Sola juga udah mikir mau minjem ke dia. Tapi bapak tolong bantu cari Bobi. Anak itu kayaknya ada masalah...," desak Sola.

Bapak hanya menyeruput kopinya dengan tenang. Sola tahu, sikap cuek Bapak tidak pandang bulu. Sudah lama Bapak juga tidak pernah berbicara pada putra satu-satunya itu.

"Bapak nggak cemas dia ngapa-ngapain di luar sana??" Sola membelalak. "Dia ngambil uang jutaan lho pak, nggak tahu mau digunakan buat apa."

"Nanti dia pasti pulang lagi. Marahnya nanti saja kalau dia pulang."

Sola nyaris terpaku tanpa bisa lagi berkata-kata. Lidahnya sesaat seolah membeku. "Pak... Ini Bobi lho yang kita bicarakan, bukan aku."

Laki-laki itu mengernyit.

"Bobi kan anak kandung Bapak satu-satunya!" sembur Sola nyaris berteriak.

***

SolaceWhere stories live. Discover now