Tapi niat Sola digagalkan oleh keberaniannya yang hanya sebesar sebutir gabah. Rasanya, melontarkan satu kata saja kepada Ace sama seperti menceburkan diri ke dalam laut saat ini juga. Ia tidak sanggup menanggung risiko rasa malu yang timbul jika Ace tampak enggan meladeni pertanyaannya, atau justru mengabaikannya begitu saja. Di antara skenario terburuk itu, Sola lebih khawatir jika suaranya tiba-tiba tercekat saat ia membuka mulut dan malah terdengar seperti soang.

Sola berdeham, membersihkan tenggorokan. Setelah beberapa menit kemudian, barulah ia merasa nyalinya telah terkumpul sebagian.

Namun ketika Sola hendak membuka mulut untuk melontarkan satu pertanyaan basa-basi, tiba-tiba suara mesin tempel yang super berisik itu mati. Sola melihat ke kiri dan kanan dalam keheningan, perahu itu nyatanya tengah menepi di dermaga Belakang Padang, pulau tempat tinggalnya. Ternyata mereka sudah sampai pada tujuan.

Jantung Sola seolah jatuh dari tempatnya. Saat melihat Ace langsung berdiri dan melompat ke dermaga untuk menautkan tali tambang, ia tahu kesempatan untuk mengobrol dengan laki-laki itu benar-benar sudah berakhir. Dan mungkin ia tidak akan memperoleh kesempatan serupa di lain waktu. Dalam hati, Sola merutuki kepengecutannya.

Sambil menghela napas kecewa, tak lama ia pun berdiri lalu mendaki undakan dermaga itu. Ia jadi penumpang terakhir yang keluar dari perahu. Ace sudah melepaskan kembali tali tambatnya, bersiap melajukan kembali perahunya entah ke mana.

Ketika Sola hendak melangkahkan kakinya yang berat untuk pergi menjauh, tiba-tiba tangan besar Ace terulur di hadapannya dan menghentikan langkahnya. Laki-laki itu menggenggam secarik handuk kecil berwarna krem.

Mata Sola membulat tatkala ia menyadari: Ace tengah menawarinya secarik handuk untuk menyeka rambut dan wajahnya yang basah! Ia spontan mendongak pada laki-laki itu--yang tidak membalas pandangannya. Ace hanya menatap canggung ke arah handuk kering itu, kemudian perahunya.

"T-terima kasih...," ucap Sola dengan suara parau.

Diambilnya handuk kecil itu dari tangan Ace, dan langsung digunakan untuk menyeka lengan, rambut, serta seluruh wajahnya. Pada wajahnya, ia menempelkan handuk itu dengan hati-hati agar tidak merusak riasan tipisnya yang memang sudah mulai pudar. Tekstur handuk yang lembut dan bersih itu terasa nyaman, tidak hanya di wajah Sola namun juga di hatinya. Diam-diam ia tersenyum kala membenamkan mukanya pada handuk yang wangi sabun cuci itu.

Sola baru menyadari, saat hendak mengembalikan handuk pada si empunya, laki-laki itu ternyata sudah melompat ke dalam perahu sembari menggulung tali tambang.

"Tunggu, handuknya...!" teriak Sola, tapi laki-laki itu tidak mengindahkannya.

Mesin tempel pun kembali bersuara keras dalam sekali tarikan, dan perahu perlahan menjauh dari dermaga tempat Sola berdiri. Ace benar-benar tidak mengucapkan sepatah kata pun padanya. Ia juga tidak memedulikan handuknya yang masih tergenggam di tangan Sola.

Namun, Sola mendapati laki-laki itu memandang ke arahnya--ke dalam matanya. Mata keduanya yang saling bersirobok, terpaut untuk waktu yang cukup lama, sembari perahu menjauh dan menghilang dengan perlahan.

***

Hati Sola terasa berbunga, dadanya menghangat. Senyumnya tak kunjung memudar ketika ia berjalan dengan langkah ringan menyusuri jalan sempit Kecamatan Belakang Padang. Handuk kecil Ace masih ia pegang erat di tangannya.

Meski hanya sebuah pulau kecil yang tergolong area hinterland, wilayah itu sangat padat penduduk. Jalanannya yang hanya bisa dilewati dua motor, diapit oleh ribuan rumah tinggal dan rumah toko di kanan kirinya.

Di dekat dermaga, becak-becak telah berjajar rapi menunggu penumpang. Sola tidak menggunakan jasa itu meski rumahnya masih beberapa ratus meter jauhnya. Setiap hari ia memang selalu berjalan kaki baik saat pulang maupun menuju dermaga.

Dengan melewati rute berjalan kaki itulah, ia terkadang bisa melihat keberadaan bapaknya di salah satu kedai kopi dekat kantor imigrasi. Bapaknya yang sudah tua dan penuh uban itu memang hampir setiap hari menghabiskan waktu untuk duduk-duduk di kedai kopi langganannya.

Di beberapa kesempatan, Sola melihatnya sedang mengobrol dengan pengunjung lain; kadang ia seorang diri membaca koran, atau sekadar melamun sambil merokok.

Jika bapaknya kebetulan duduk termenung di meja teras kedai, seperti hari ini, biasanya ia juga bisa melihat Sola yang baru pulang kerja. Namun tak pernah sekali pun mereka bertegur sapa atau saling menemui. Seringkali, Bapak hanya menoleh sekilas ke arahnya, lalu menyesap kopi, dan kembali termenung memandangi objek lain. Persis seperti melihat orang asing.

Sola tidak lagi merasa sakit hati akan sikap bapaknya yang cuek. Ia sudah menerima perlakuan itu sejak usianya masih sangat belia. Sang bapak memang jarang sekali berada di rumah. Sampai sekarang, tak jelas pula apa pekerjaannya. Kalau tidak nongkrong di kedai kopi, bapaknya biasa dijumpai di masjid, dermaga, atau tengah laut.

Selama dua puluh lima tahun hidupnya, tidak pernah sekali pun Sola merasa dekat dengan bapaknya. Laki-laki paruh baya yang pendiam itu selalu bersikap tak acuh terhadap putra-putrinya. Sola curiga, laki-laki itu mungkin sudah lupa kalau ia masih memiliki anak!

Awalnya Sola merasa terganggu dengan sikap berjarak yang tak wajar dari bapaknya itu. Tapi lama kelamaan, ia menyerah untuk berusaha dekat, dan lebih memilih membiarkan laki-laki itu hidup sesuai keinginannya sendiri--kadang pulang, kadang juga menghilang berhari-hari.

Selagi laki-laki itu tidak merugikan ibunya, Sola hanya perlu menganggap bapaknya serupa duri kecil tak berarti dalam kehidupan keluarga mereka. Di sisi lain, masih ada duri tajam lainnya yang kerap jadi sumber masalah di dalam keluarga, yaitu adik laki-lakinya. Wah, kalau yang satu itu, tak pernah absen bikin Sola dan ibunya sakit kepala gara-gara keonarannya yang beraneka rupa.

Sama seperti sore ini, ketika Sola akhirnya sampai di rumah dan mendapati suara tangisan ibu dari dalam kamar, kecurigaannya langsung mengarah pada satu kemungkinan: adiknya buat masalah lagi.

Sola buru-buru merangsek masuk melewati pintu depan yang terbuka. Tanpa meletakkan tas atau membuka jas kerjanya, ia segera menyibak kain tirai yang menutupi ambang pintu kamar sang ibu.

Di sanalah ternyata ibunya sudah dalam kondisi terduduk di lantai, tersengguk-sengguk, dengan mata sembab habis menangis. Di hadapan Ibu, tergeletak sebuah kaleng bekas yang kosong dan beberapa uang recehan.

"Astaghfirullah, bu! Ibu kenapa??" seru Sola lantas menghambur ke tempat ibunya duduk.

Wanita berusia 50-an tahun dengan kerut merut di wajahnya itu menatap wajah anak sulungnya dengan mata bengkak dan basah. Tampaknya ia sudah menangis cukup lama.

"Bobi, La...," ratapnya, menyebut nama putra bungsunya. "Bobi ngambil uang tabungan ibu!"

***

SolaceWhere stories live. Discover now