RIBUT

1K 90 1
                                    

"Ini yang sering dikatakan Ibu, makan bersama di satu meja."

Semua orang yang tengah sarapan, menoleh ke Dhamar. Herman sekilas menatap adiknya, lalu beralih memperhatikan piring di meja. Tidak berbeda jauh dengan Rahayu, perempuan yang sudah menikah empat tahun itu memperlihatkan satu kursi kosong di pojok kanan meja, tempat Rukmini duduk.

Mereka tidak pura-pura lupa dengan ucapan Rukmini. Beberapa kali Rahayu diminta menghubungi adik dan kakaknya agar pulang ke rumah, paling tidak untuk menikmati makanan bersama-sama. Melalui telepon, Herman hanya bisa mengiakan permintaan Rukmini tiga bulan yang lalu.

"Kita akhirnya bisa makan bersama, tapi di saat Ibu sudah tidak ada." Dhamar berkata lagi.

Sarapan berupa nasi goreng dan telur ceplok sudah terasa tidak enak dipandang. Bukan karena bosan atau rasa masakan yang buruk, tetapi lebih ke arah hilangnya nafsu makan. Tidak ada maksud apa-apa Dhamar berkata demikian, dia hanya mengatakan apa yang mengganjal dalam hati.

"Kamu kan tahu sendiri abang dan Mbak sudah berkeluarga. Bukannya tidak bisa, hanya belum sempat." Herman tidak membela diri, dia hanya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

Mengajak anak beserta istri pulang kampung bukanlah hal mudah. Terlebih, hubungan Rini dengan Rukmini bisa dikatakan tidak baik. Ketika diajak, banyak alasan dan penjelasan yang akan Rini utarakan. Jikapun pulang sendiri, Herman sebenarnya bisa, hanya saja dia tentu tidak akan sempat memiliki waktu lebih untuk bercengkerama dengan keluarga.

"Hei, bukannya kamu juga susah diajak pulang?" Anwar menyindir Dhamar.

Dari semua anak Rukmini, Anwar-lah yang paling pendiam. Dia dahulunya pernah disuruh kuliah, tetapi justru menolak dan mengatakan lebih baik bekerja. Tiga bulan setelah lulus SMA, laki-laki tiga tahun lebih tua dari Dhamar dan memiliki gaya rambut seperti Herman itu memutuskan pergi merantau di kota. Karena sifat pendiamnya, dia jarang memberikan informasi tentang dirinya selama berada jauh dari rumah.

Tidak terima dengan sindiran Anwar, Dhamar menyanggah, "Ya, aku kan kuliah, mana mungkin bisa pulang pergi dari kos ke sini. Aku juga kerja, mengerjakan tugas."

"Sudah. Ini kenapa malahan jadi ribut?" Suara Rahayu ditekan saat mencoba menghentikan keributan.

Rahayu menatap satu per satu kedua adik beserta satu kakaknya. Jika bukan karena terbawa mood yang sedang tidak baik, mungkin dirinya masih bisa menahan agar tidak ikut-ikutan ribut. Aryo menepuk-nepuk bahunya, menenangkannya.

"Sudah, sudah. Lanjutkan makannya," ucap Aryo, mencoba menenangkan kondisi. Baginya, ini hanyalah masalah kecil, tidak perlu sampai dibesar-besarkan.

Dhamar dan Anwar saling tatap. Mereka berdua bisa dikatakan kurang akur, pasti akan ada saja hal yang bisa diributkan. Kedua laki-laki itu pun kembali melanjutkan sarapan.

Nasi goreng yang awalnya hampir sepiring penuh, lambat lain mulai berkurang. Situasi yang sempat menegang, perlahan berubah kondusif. Kali ini Rahayu berusaha menahan emosi. Masalah-masalah yang dihadapinya, berusaha tidak sampai ikut terbawa.

"Dhamar, nanti bantuin mbak, ya, buat beresin barang-barang Ibu," pinta Rahayu.

Dhamar menghentikan acara menyendok nasi. Dia berpikir sejenak. Ada sesuatu yang membuatnya khawatir, yakni masalah besek di lemari sang ibu. Kemarin malam Herman berpesan agar masalah besek tidak sampai diketahui oleh Rahayu. Saat ini, Dhamar dibuat bingung jika benda itu sampai terlihat kakak perempuannya.

Sekilas, pandangannya menatap Herman yang duduk di seberang meja, di samping Aryo. Mereka saling bertatapan. Dari tatapan Dhamar, dia berusaha mengisyaratkan kode mengenai kemarin malam.

35 Hari Teror IbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang