"Gak ada yang lucu," ucapnya sambil menatapku heran.
"Iya, gue tau kok," balasku dengan sisa kekehan yang masih menempel.
Kemudian langkahnya terhenti pada salah satu taman dekat area parkir. Tubuh jangkungnya itu pada akhirnya mendekati sebuah kursi taman untuk dia tempati. Meski tidak ditawari, aku lantas mengambil ruang untuk duduk di sisi kanannya. Semula hanya hening yang menguasa atmosfer sekitar. Pasalnya setelah penjelasan tentang hari dimana aku bertemu Adam olehnya, seperti tidak ada lagi topik yang dapat kami bahas.
Dan setelah memutar otak, aku memutuskan untuk kembali bertanya.
"Tadi kenapa kabur pas mau tos?"
"Gakpapa. Emang males aja."
"Hobi lo emang suka kabur ya," ucapku dengan kekehan pelan.
"Lagian ngapain juga bersosialisasi sama orang-orang yang bahkan gak menyebut gue dengan nama asli."
Aku termenung sesaat setelah mendengarkannya. Jelas jika memang ia tidak nyaman dengan embel-embel 'adiknya Kania Fransiska' disaat orang-orang justru memanggilnya begitu. Juga merasa tertekan dengan sebutan genius terkait prestasi kakaknya semasa berkuliah. Mungkin tuntutan dari pandangan orang-oranglah yang membuatnya menjadi pribadi yang apatis.
Karena bingung harus membalas ucapan sensitif itu dengan kalimat seperti apa lagi, maka aku hanya terus bungkam karena merasa tidak enak hati. Hingga tiba-tiba Kaivan justru kembali berbicara.
"Nama kakak gue Kania Fransiska, jurusan seni kriya angkatan 2017. Udah lulus, cumclaude, dapet beasiswa di Jerman, sekarang dia kerja freelance di Jakarta, dan lagi dalam proses pembangunan art gallery pribadinya," jelasnya panjang lebar tanpa ada aba-aba. Hal itu sontak membuatku kebingungan. Sedangkan ia justru membalas tatapanku ketika berbicara untuk kali pertama, "Kenapa bingung? Gue berusaha jawab pertanyaan lo yang dulu."
Aku baru tersadar jika yang ia maksud adalah kejadian di saat ia berhasil memergoki diriku yang memasuki area laboratorium jurusan seni kriya.
"Oh, pertanyaan itu."
"Gimana? Masih ada pertanyaan lagi tentang kakak gue? Bakal gue jawab semampu gue."
Mau sebaik apapun ia berusaha menyembunyikan perasaan, tapi kedua sorot matanya sedunya itu tetap tidak bisa berbohong. Pasti ia menjalani kehidupan yang berat selama ini.
"Gak ada. Lagian di sini adanya lo, ngapain bahas orang lain."
Ia terdiam mendengar balasanku. Kemudian ia kembali memusatkan pandangannya ke depan.
"Tapi lo masih salah," tambahku.
Ia mengerutkan kening, "Tentang apa?"
"Gue itu beneran anak sini. Gue anak fakultas seni," jelasku seraya terkekeh pelan.
Aku berusaha mengaitkan kembali kejadian waktu Kaivan hendak memasuki laboratorium tapi jalannya malah aku halangi. Saat itu ia mengira bahwa aku bukanlah anak fakultas seni yang secara sembarangan datang untuk mengintip kegiatan yang ada. Yah, walaupun bagian mengintipnya adalah benar.
Kaivan menyunggingkan senyum kecil, "Dasar."
Merasa suasana obrolan diantara kami mulai menyenangkan, aku dengan sombongnya justru menyinggung pembahasan lain yang ternyata lebih sensitif dari dugaanku.
"Pantesan lo masuk jurusan seni kriya."
"Maksudnya?" Ia menautkan kedua alis tebalnya bingung.
"Karya lo kemarin bagus." Aku benar-benar mengucapkan hal ini dengan tulus.
YOU ARE READING
if only,
RomanceKeira bertemu dengannya Agustus lalu, saat hari pertama ospek fakultas dilaksanakan. Semula yang terasa hanyalah percikan, bisa terabai. Tapi bagaimana ia bertutur dan berperilaku, pada akhirnya Keira merasa jatuh. Meski selama itu, tiada kata pasti...
i had known that he had connected with me from the beginning [part 2]
Start from the beginning
