"Denger-denger dia masih single ya, Mbak?"
Alesha mengangguk.
"Waah ... makin ngefans deh jadinya. Mana orangnya cakep lagi." Perempuan itu berkata dengan penuh kekaguman. Alesha ikut tersenyum sebagai sopan santun. Namun, entah kenapa hatinya tidak terima Emryn punya fans mahasiswi yang jauh lebih cantik dan lebih muda dari dirinya.
"Tapi ... menurut berita yang beredar di kampus, dia lagi deket sama seseorang sih ..." Tiba-tiba saja kalimat itu terlontar dari mulut Alesha. Dia tidak berbohong, berkat rumor yang disebarkan oleh Agus itu.
"Yah ... putus harapan deh jadinya." Wanita muda itu mengerucutkan bibirnya. Alesha tersenyum penuh kemenangan.
Astaghfirullah, gue memang sudah gila! Alesha memaki dirinya sendiri.
***
Dua hari berlalu dengan sangat cepat. Acara konferensi padat dari pagi hingga malam. Di luar jadwal presentasi, Alesha juga mengisi sesi poster, memamerkan progress penelitiannya selama S3. Ia memaparkan semua hasil yang didapatnya sendiri, tanpa bantuan dari Emryn. Seorang profesor dari TU Delft sangat tertarik dengan topik penelitian Alesha. Dia malah ingin mengajak berkolaborasi untuk penelitian selanjutnya. Bahkan, beliau juga menawarkan kunjungan ke grupnya di Belanda.
Alesha benar-benar bahagia. Rupanya ada orang lain yang mengakui hasil kerjanya, selain Emryn dan Rania tentunya. Dia juga membuktikan kemampuannya dengan meraih penghargaan sebagai the best presenter dalam konferensi itu. Sudah lama Alesha tidak merasakan feeling semacam ini. Hatinya terasa penuh dan puas. Dia memang layak bekerja sebagai asisten akademik, bukan sekadar masuk karena koneksi, seperti yang dituduh orang-orang. Alhamdulillah.
Di hari terakhir, panitia mengadakan program wisata, untuk memperkenalkan kota Kyoto dan budaya Jepang kepada peserta konferensi. Mereka diajak mengunjungi Tetsugaku no Michi atau Philosopher's Path, tempat yang sangat populer untuk melihat sakura di Kyoto.
Alesha memilih berjalan sendiri, terpisah dari rombongan. Ia menyusuri jalanan kecil di tepi kanal, yang dinaungi barisan pohon sakura yang sedang mekar sempurna. Setiap kali angin bertiup, kelopak Sakura akan jatuh berguguran seperti hujan berwarna merah muda.
Alesha berhenti di tengah-tengah jembatan yang menyeberangi kanal kecil yang tersambung hingga ke Danau Biwa itu. Dari sana dia bisa mengambil foto barisan pohon sakura di kiri kanan kanal dengan simetris. Ia ingin menghadiahkan foto itu untuk Sabrina. Alesha berusaha menangkap pemandangan indah itu dengan kameranya sebaik mungkin.
"Waah, kayanya lo punya bakat jadi fotografer juga ya?" Tiba-tiba suara yang sangat familiar terdengar di dekat telinganya. Sangat dekat, hingga terdengar suara napasnya.
Alesha terkesiap. "Astaghfirullah! Ngagetin aja. Jantung gue sampe hampir copot." Entah datang dari mana, Emryn sudah berdiri tepat di belakang Alesha. Ia mengamati layar ponsel Alesha dari balik pundak wanita itu. Aroma parfum maskulin yang khas menghampiri indra penciuman Alesha. Jantungnya berdenyut semakin kencang. Ia meletakkan tangan di dada, berharap jantungnya bisa sedikit diajak kompromi. Tentu saja tak berhasil.
Emryn menarik kedua ujung bibirnya ke atas. "Ternyata kita malah ketemu di sini ya. Dua hari kemaren jadwal nya sibuk banget. Gue malah nggak lihat lo, Sha."
Alesha menghela napas. Ternyata Emryn tidak melihatnya sama sekali, padahal Alesha selalu berhasil mendeteksi keberadaan lelaki itu meskipun dari jauh. Alesha bahkan diam-diam sangat mensyukuri pertemuan tak sengaja mereka hari ini. Beberapa hari tak berkomunikasi dengan Emryn membuatnya menyadari satu hal, ia merasa kehilangan. Keberadaan Emryn selama ini tanpa disadari telah melengkapi lubang di hatinya setelah berpisah dengan Ardi. Lelaki ini memang tidak akan pernah bisa menggantikan Ardi buat anak-anaknya, tetapi Emryn selalu hadir untuk mereka. Anak-anak merasakan ketulusan kasih sayangnya.
"Kamu tahu kenapa jalanan ini dinamai Jalan Filsuf?" Alesha mengubah panggilannya. Ia ingin berbicara dari hati kehati.
"Biasanya kamu yang lebih tahu urusan begini kan?" Emryn ikut mengganti gaya bahasanya jadi aku dan kamu.
"Dulu ... jalan ini sering dilewati oleh seorang filsuf Jepang dalam perjalanannya menuju Universitas Kyoto. Namanya Nishida Kitaro. Di sepanjang jalan inilah dia banyak merenung."
"Hmm ... iya sih, tempat ini memang cocok banget buat merenung. Apalagi pas musim sakura begini."
"Tadi di sepanjang jalan aku juga banyak merenung ...."
"Tentang ...?"
"Banyak hal. Tentang aku sendiri, rumah tanggaku, anak-anak .... juga tentang rencana hidupku di masa depan." Alesha menatap permukaan air kanal yang berwarna merah muda karena tertutup kelopak sakura yang berguguran.
"Jadi apa rencana kamu setelah lulus S3 nanti? Jadi kan melamar posisi dosen? InsyaAllah aku akan bantu kamu biar bisa lulus tepat waktu. Jadi, InsyaAllah kamu bisa melamar jadi dosen sebelum usia 40 tahun."
Alesha sebenarnya tidak yakin dengan hal itu. Jika boleh memilih, dia lebih senang membersamai anak-anaknya seperti dulu. Namun, sebagai orang tua tunggal, pilihan itu tentu mustahil saat ini.
"Mungkin .... Tapi aku belum yakin sih. Kamu sendiri gimana?"
"Aku?" Emryn tampak heran. "Ya nggak akan banyak berubah sih. Apa lagi yang bakal aku lakukan selain mengajar, penelitian, dan juga merawat Bunda?"
"Kamu nggak ada rencana buat menikah? Sampai kapan kamu mau sendiri terus?"
"Ya ... sampai ketemu calon yang pas aja. Tapi kan kamu tahu sendiri, nggak mudah
menemukannya. Buktinya aku udah kamu tolak berkali-kali kan?" Pandangan Emryn menerawang jauh. Namun, saat itulah sebuah keyakinan muncul di hati Alesha.
Ponsel Emryn bergetar, ia meminta izin untuk menjawab panggilan itu beberapa saat. Akan tetapi, tak lama wajah lelaki itu berubah jadi sangat kusut. Benerapa kali dia mendengkus kasar.
"Kenapa, Em? Ada sesuatu?"
"Barusan aku ditelepon sama sponsor penelitian kita. Katanya hasil analisis yang kita dapat nggak boleh dipublikasikan. Alasannya nggak jelas, tapi kuduga sih alasan politis."
"Hah? Kok bisa gitu? Bukannya ilmuwan itu harusnya netral, nggak memihak ke kepentingan tertentu?"
"Ya, idealnya begitu. Tapi faktanya ya begitulah ... kadang pengambil kebijakan ikut campur. Kalau hasil penelitian kita tidak menguntungkan untuk mereka, ya bisa dicekal begini. Padahal kita sudah mengerjakannya setahun. Habis tenaga, habis dana, habis waktu ... tapi hasilnya cuma bakal berakhir di tempat sampah. Nggak bisa dipublikasikan." Emryn berdecak kesal. "Harusnya kita sudah bisa publikasi akhir semester ini, Sha."
"Hmmm aku ada ide ...." Alesha tersenyum optimis.
"Kalau udah gini susah mau diapa-apain juga, Sha."
"Aku rasa kita bisa tetap punya publikasi akhir semester ini. Aku sebagai nama pertama dan kamu nama kedua."
"Mau publikasi apa? Belum ada yang rampung kan penelitian kita yang lain?"
"Hmm ... bagaimana kalau publikasi ... undangan pernikahan kita misalnya?"
"Hah? Gimana?" Emryn tampak berusaha keras mencerna kalimat singkat yang baru diucapkan Alesha. Belum pernah Alesha melihat wajahnya sekaget itu. "Coba diulang sekali lagi, aku khawatir salah dengar."
"Nggak ada siaran ulang ... waktu lima menit kamu sudah habis, Emryn." Alesha segera beranjak dan meninggalkan Emryn berdiri mematung di jembatan. Kelopak-kelopak sakura menghujani lelaki yang menatap punggung Alesha dengan tatapan tak percaya. Alesha berjalan sambil tersenyum lega. Apa yang perlu dikatakan telah dia katakan. Mungkin ini adalah jawaban atas istikharah dan doa-doa panjangnya.
"Alesha .... Tunggu! Jadi kapan kita buat publikasinya?" Emryn berlari menyusul. Alesha tersenyum sambil menatap kakinya menyusuri philosopher's path. Langkah pertama untuk memasuki babak hidupnya yang baru telah dimulai. Bismillah ...
TAMAT
----------------------------------------------
Alhamdulillah akhirnya novel "Lima Menit" sudah tamat. Semoga pada suka yaa ...
Sejujurnya berat hati buat berpisah sama Emryn dan Alesha, tapi sudah waktunya
move on 😆. Sampai bertemu di cerita berikutnya insyaAllah ...
YOU ARE READING
Lima Menit
RomanceEmryn Arka Giandra, profesor muda tertampan, tercerdas, dan banyak proyek berdana besar, bertekad menjadi single seumur hidup. Ia terkenal disiplin. Janji temu dengannya harus selesai dalam lima menit atau maksimal 3x5 menit. Namun, hidupnya berub...
PHILOSOPHER'S PATH
Start from the beginning
