Page five

22 7 3
                                    

Deze afbeelding leeft onze inhoudsrichtlijnen niet na. Verwijder de afbeelding of upload een andere om verder te gaan met publiceren.


Do not fear him, he is a man of principle. The principles, however, you should fear.

°°°

"Aku sudah lelah. Aku sudah cukup dengan kehidupan ini. Bagaimana denganmu Elvetta? Bagaimana denganmu? Kau masih ingin melanjutkannya? Kau masih ingin berjuang? Elvetta, kau tidak ingin mengakhirinya bersamaku? Tidak ada yang akan kau dapatkan, baik kebahagiaan ataupun cinta, seperti akhir cerita yang kau sukai. Kau dan aku juga akan memiliki akhir cerita yang sama."

"Hah!"

Kedua bola mata itu terbuka paksa, napasnya terengah, tidak teratur. Otot wajah terasa mengeras dan jantungnya berdebar tidak kalah hebat. Samar, ia menelan ludah, berharap agar dirinya dapat kembali tenang dengan sesegera mungkin. Mata yang baru saja dipaksa terbuka itu mengedar lalu kembali menyipit karena sinar lampu yang berada tepat di atas kepala. Lelaki yang baru terlelap selama tiga jam itu memaksa kesadaran dalam diri untuk cepat kembali, ia tatap ke arah dinding; putih bersih dengan beberapa lukisan tergantung. Salah satu tangannya meraba pelan tempat tidur yang ia tempati seolah sedang memastikan jika ia berada di tempat seharusnya.

"Mimpi ini lagi."

Si lelaki berbisik dengan dirinya sendiri, mengatur napas dan memandangi kedua tangan yang sudah penuh dengan keringat. Sejak berusia sembilan tahun Si lelaki terus saja mendapat mimpi-mimpi aneh. Dan yang paling sering adalah mimpi tentang seorang pria yang mengalami kisah tragis, seorang pria yang wajahnya tak dapat terlihat jelas, seorang pria yang tidak kesulitan untuk membunuh dan melakukan banyak hal gila. Ada satu mimpi yang terus berulang dan berakhir sama, Si lelaki bermimpi melihat pria itu tengah memeluk seorang wanita dan memanggil namanya sebelum mereka melompat dari jendela gedung yang tinggi. Sebuah nama yang masih melekat di otak Si lelaki: Elvetta. "Elvetta," bisik Si lelaki sembari mengusap wajahnya kasar.

Tok.
Tok.

"Anak sial! Kalau kau sudah bangun cepat keluar dari rumah dan pergi sekolah! Dasar sialan!" Teriakan kembali terdengar dari arah luar kamar Si lelaki, tidak ada jawaban yang Si lelaki berikan kecuali decapan kasar tak terdengar oleh siapa juga. Si lelaki beranjak lambat, meninggalkan kasur dan berjalan menuju meja kecil dengan barang yang tersusun rapi di atasnya; beberapa buku psikologis, buku catatan kecil yang penuh coretan, kotak musik kayu persegi berukuran lima belas senti dan tampak usang dimakan waktu, dan bolpoin merah terang yang berada di dalam kotak plastik transparan.

Tergantung di dekat meja sebuah kaca bulat yang retak di bagian pinggirnya, Si lelaki menatap pantulan dirinya, diam dan memerhatikan bagaimana satu per satu keringat menuruni wajah. Ia raih kedua mata dengan jemari, ia raba wajah lalu hidungnya. Terkadang, ada saat di mana Si lelaki merasa wajah yang ia lihat saat ini bukanlah wajah miliknya, tidak seperti Si lelaki tengah mengatakan ia ingin mengubah wajahnya atau yang biasa disebut operasi plastik, hanya saja Si lelaki merasa wajah ini adalah wajah orang lain, tubuh ini adalah tubuh orang lain. Si lelaki tidak tahu kenapa ia berpikir begitu, tidak juga ia paham bagaimana pikiran tersebut bisa berada dalam otaknya.

"Karkata Holmwood. Aku adalah Karkata Holmwood, aku anak haram dari Ibu dan kekasih gelapnya, aku membawa kesialan untuk Ibu dan kehidupannya, aku adalah kesialan. Karkata Holmwood adalah kesialan. Haha." Si lelaki terkikik singkat, kini kepalanya dipenuhi banyak benang-benang merah kusut, ada juga bayangan hitam tak mau kalah untuk berebut perhatian. Karkata segera mengambil kotak musik yang ada di dekatnya lalu menghantam kepalanya sendiri. Karkata meringis pelan ketika rasa sakit mulai ia terima, matanya tetap memandang kaca, menyaksikan cairan kental menghiasi wajah. Karkata tersenyum. "Ibu, anak sial ini akan membebaskanmu dari semua permasalahan. Ibu, aku berjanji untuk membawa kebebasan untukmu, sebagaimana aku ingin kebebasanku sendiri. Seperti Ikaros yang terbang bebas. Oh Ibu, tunggulah sebentar lagi, sebentar lagi."

Karkata tersenyum, ia membersihkan wajah dan tubuh dengan cekatan. Karkata memakai rapi seragam sekolahnya, menempelkan plester di kepala lalu berjalan meninggalkan ruangan sempit yang dipenuhi banyak kenangan mengerikan. Di ruang makan terlihat wanita paruh baya berpenampilan berantakan, duduk di salah satu kursi dengan wajah tak ramah. "Selamat pagi Ibu, tidak biasanya Ibu mau sarapan pagi bersamaku?" tanya Karkata pelan sembari menarik kursi yang agak jauh dari wanita. Si wanita meludah di lantai, mengalihkan wajahnya dari Karkata dan kembali fokus pada layar ponsel yang ia genggam. Karkata memutuskan untuk tidak menggubris, ia hanya diam dan melanjutkan apa yang harus ia lakukan.

"Sepulang sekolah nanti, Ayahmu ingin bertemu. Jadi pastikan kau tidak bicara macam-macam atau buat malu, kalau kau melakukan kesalahan, aku akan benar-benar membuatmu berada dalam Neraka. Kau paham? Ah, dan pastikan dia memberimu uang, katakan saja kau butuh untuk beli buku atau apa. Aku tidak peduli bagaimana kau melakukannya, yang aku mau adalah uangnya." Wanita berstatus sebagai ibu biologis Karkata itu selalu lebih mementingkan uang dibanding apa pun, ia tidak akan peduli pada Karkata dan kehidupannya. Karkata mengangguk sebagai jawaban, jantungnya berdebar karena merasa senang. Karkata kembali mengingat saat kali pertama ia bertemu Sang ayah dan kakak tiri perempuannya yang teramat cantik. Dua orang asing yang memberikan Karkata harapan dan mendorong Karkata untuk memulai rencana kecilnya. "Baik, aku mengerti," jawab Karkata setenang mungkin. Ia tidak mau jika wanita tidak waras di sebelahnya ini tahu jika ia merasa senang dengan pertemuannya dengan Sang ayah, ia tidak mau jika wanita gila ini melihat ada yang ganjil dengan kelakuannya.


Tidak ada yang merencanakan kejahatan dengan ribut dan berteriak, maka berhati-hatilah dengan orang yang diam.

Pikiran tersebut sudah tertanam di dalam benak Karkata sejak lama, tepatnya Karkata tidak ingat, hanya saja ia tiba-tiba mengingat secarik kalimat yang membantunya untuk tetap tenang pada setiap situasi. Tangisan dan perlakuan memohon belas kasih sudah ia cukupkan, Karkata tak akan lagi melakukan hal lemah yang tak membantunya sama sekali. Ka.rkata sudah merasa bulat, ia akan mendapat kebebasan dengan cara yang lain, tidak terkecuali dengan menyingkirkan wanita yang ada di sampingnya.

Garden Of Mirror [ Bleu ] [ On Hold ]Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu