“Bagus sekali kau naik taxi. Mobilku jadi bisa dibawa pulang,” ucap Hugo saat dirinya dan Rogier sudah ada diperjalanan menuju rumah sakit tempat Joseph bekerja.
“Mobilku masuk bengkel lagi, Man! Aku akan memakai mobilmu selama tanganmu yang malang itu tak bisa melakukan apa-apa. Hahaha…” Rogier seenaknya memutuskan. Di balik setir, ia mengendarai mobil Hugo dengan ugal-ugalan. Tak heran mobilnya selalu menjadi langganan bengkel.
Hugo ikut tertawa. Ia menertawakan kondisi tangannya, dan juga nasib mobil Rogier. “Buang saja mobil itu dan beli yang baru,” usul Hugo.
“Walaupun kau bisa menjilat pantatmu, aku tidak akan pernah membuang mobilku itu.”
“Sialan!” Hugo kembali tertawa meringis.
“Jadi siapa yang berani melakukan hal itu kepada anak laki-laki kesayangan Katie?” tanya Rogier sambil memamerkan senyum penuh ejekan.
Hugo memandang Rogier dengan tatapan tak senang, “siapa yang anak laki-laki kesayangan Katie?”
“Seorang remaja yang wajahnya seperti bocah. Entahlah,” ucap Rogier cuek sambil mengeluarkan kotak rokok dari saku jaketnya. Ia mengambil sebatang rokok dari sana dan mulai menyulutnya. Setelah itu ia menyodorkan kotak rokoknya ke arah Hugo, mempersilahkan anak laki-laki itu mengambil sebatang rokok miliknya.
“Aku tidak merokok, kau tahu kan?”
“Belum,” Rogier mengoreksi. Ditariknya kembali tangannya ke arahnya lalu dimasukkannya kembali kotak rokok tadi ke tempatnya semula.
“Aku serius nih, siapa yang menghajar mu? Apa kerabat dari target kita yang sudah berhasil kita tangkap datang ke sekolahmu dan balas dendam?” Tanya Rogier lagi setelah menghembuskan asap rokok dari isapan pertamanya.
Hugo berpikir sejenak. Apa mungkin Zafi adalah kerabat dari target yang pernah ditangkapnya? Melihat sikap Zafi yang selalu memusuhinya, sepertinya ada sedikit kemungkinan. Tapi Hugo tiba-tiba teringat bahwa bukan hanya dirinya yang diperlakukan seperti musuh oleh Zafi, namun semua murid yang mencoba melanggar peraturan sekolah. Jadi serangan membabi buta dari Zafi itu mungkin tiba-tiba datang dari rasa bencinya terhadap pelanggar peraturan.
“Bukan... bukan... dia siswi di sekolahku.”
Rogier terbelalak, “jadi yang menghajarmu perempuan?!” Tanya Rogier tak percaya. Rokoknya hampir terjatuh dari mulutnya.
“Ya... begitulah. Aku tak menyangka dia akan melakukan ini padaku. Jadi aku sama sekali tak memiliki persiapan untuk menghalau serangannya,” jelas Hugo.
“Seorang Hugo dibuat babak belur oleh seorang perempuan, benar-benar peristiwa langka! Kenapa dia melakukan hal itu? Kau berbuat mesum padanya?”
“Bisakah kau tidak berpikir tentang hal negatif terus?” Tanya Hugo jengkel.
Rogier tertawa meringis, “jadi kenapa dong?”
Hugo menahan jawabannya sejenak karena cara menyetir Rogier membuat tubuhnya seakan bergerak secepat laju mobil itu. Ia pun dengan cepat duduk santai kembali setelah tadi kepalanya hampir terbentur kabin mobil saat mobil membelok tajam. Ia lalu mulai menceritakan kronologi yang menyebabkan tangannya luka parah dan juga alasan kenapa Zafi membencinya. Rogier tertawa terpingkal-pingkal mendengar cerita Hugo dan tanpa bisa ia tahan ikut menceritakan kisahnya sewaktu SMA dulu, tentang seorang gadis yang berlagak membencinya padahal sebenarnya ia mencintai Rogier. Hugo tak tahu apakah kisah yang diceritakan Rogier benar-benar nyata atau hanya karangannya saja, untuk membuat Hugo terkesan.
“Baiklah, kita sampai. Aku mau ketemu Joseph juga, jadi ayo bareng!” kata Rogier setelah memarkirkan mobil Hugo di tempat parkir rumah sakit. Sangking ngebutnya Rogier membawa mobil, Hugo sampai tak menyadari mereka sudah sampai di rumah sakit dalam waktu yang sangat singkat. Ia turun dari mobilnya dan menyusul Rogier yang sudah turun duluan.
“Ini dia pasienmu!” ucap Rogier dengan wajah berseri-seri dari ambang pintu ruangan tempat Joseph berada. Joseph yang tadi sibuk dengan beberapa berkas mengangkat wajahnya dari tumpukan kertas itu untuk melihat dua orang yang baru saja sampai. Matanya langsung tertuju pada tangan kanan Hugo yang diperban.
“Waw, kau benar-benar terluka?” tanya Joseph tak percaya. Pertanyaan retoris Joseph itu membuat Rogier kembali terpingkal.
“Tak usah berlebihan seperti itu!” ucap Hugo jengkel. Ia langsung duduk di atas ranjang putih yang ada disana agar Joseph segera mengobati lukanya.
Joseph mengobati tangan Hugo dengan cepat sambil menyelesaikan urusannya dengan Rogier. Tak butuh waktu lama baginya untuk menjahit luka-luka Hugo. Setelah urusannya dengan Rogier selesai dan Rogier pergi sambil membawa kabur mobil Hugo, Joseph duduk di hadapan Hugo lagi sambil memegang beberapa kertas.
“Kau sibuk setelah ini?” tanya Hugo.
“Tidak,” jawab Joseph. Matanya terfokus pada kertas yang ia pegang.
“Baguslah! Kalau begitu antarkan aku pulang, ya? Kau harus bilang ke bibiku kalau aku perlu istirahat untuk beberapa hari dan tidak boleh datang ke sekolah dulu.”
“Baiklah!” seru Joseph yang kini telah mengalihkan pandangannya kepada Hugo, “nah sekarang ada yang ingin aku katakana padamu. Kita punya tugas baru,” ucapnya sambil menunjukkan foto seorang pria.
Hugo mengamati foto itu dengan seksama.  Pria itu tampak memiliki tubuh yang besar yang kekar, dan pasti sangat tinggi. Kepalanya botak dan ekspresi wajahnya sangat tidak bersahabat. Sorot matanya tajam bagai siap menghabisi siapa pun yang coba mencari masalah dengannya.
“Jadi ini target kita selanjutnya?” tanyanya.
“Ya begitulah. Tapi ini tidak akan mudah. Ia sangat kejam dan anak buahnya ada lusinan. Semenjak anak perempuannya sering diculik oleh musuh-musuhnya, dia jadi mempekerjakan banyak orang untuk melindungi keluarganya,” Joseph menerangkan.
“Akan aku ingat,” ucap Hugo sambil mencoba menggerakkan tangan kanannya. Ia merintih karena gerakan yang dibuatnya membuat rasa sakit menjalar di sekitar tangan kanannya.
“Kenapa masih sakit?” protes Hugo.
“Lukamu sangat parah, tentu saja sakit. Lagi pula tanganmu juga patah,” jelas Joseph.
“Apa?!”
“Tenanglah, patahnya tanganmu tidak begitu parah. Hanya luka-luka itu yang parah. Orang sepertimu pasti akan sembuh dengan cepat,” terang Joseph, “ngomong-ngomong dengan apa kau diserang?”
“Sebuah balok kayu, dan ada paku yang tertancap disana.”
“Oh, pantas saja lukanya seperti itu,” Joseph manggut-manggut, “ayo aku antarkan pulang. Nanti aku berikan informasi lainnya tentang Egavuas di jalan.”
Hugo mengangguk. Ia turun dari ranjang yang ia duduki dan ikut keluar ruangan itu bersama Joseph.

Hugo tak menyangka reaksi bibinya akan berlebihan saat melihat kondisinya ketika ia telah sampai di rumah. Ia tahu harusnya ia tak usah kaget dengan sikap bibinya itu karena wanita memang sering berlebihan. Tapi tetap saja ia muak dengan berondongan pertanyaan dari bibinya.
“Kau berkelahi di sekolah barumu? Bagaimana bisa? Aku sudah bilang ka...”
“Aku tidak berkelahi, Bi,” Hugo memotong perkataan bibinya, “ada anak perempuan gila yang memukuliku.”
Nyonya Solveig terperangah, “apa? Anak perempuan? Kau pasti melakukan hal buruk padanya! Oh, Tuhanku!”
Lagi-lagi Hugo dikira melakukan hal yang buruk karena seorang perempuan menyerangnya. Hugo tak habis pikir kenapa lelaki selalu saja disalahkan. “Dia menyerangku bukan karena ingin melindungi diri dari niat jahatku. Bisakah tidak memikirkan hal-hal yang buruk terus tentang keponakanmu ini?”
“Tapi seorang perempuan tidak akan menyerang lelaki kalau lelaki itu tidak melakukan hal yang macam-macam kepadanya.”
Hugo memutar bola matanya lalu menghembuskan nafas kesal, “perempuan itu menyatakan cinta kepadaku, lalu aku menolaknya. Karena tidak terima, dia memukulku dengan balok yang ada pakunya. Puas?” jelas Hugo asal.
Nyonya Solveig tampak tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan keponakan laki-lakinya. Namun saat ia ingin membuka mulut lagi, Joseph yang dari tadi hanya diam dan memperhatikan percakapan antara bibi dan keponakan itu akhirnya buka suara.
“Luka yang diderita Hugo cukup parah, Nyonya. Tangannya juga patah. Jadi dia perlu istirahat di rumah selama tiga hari. Setelah itu dia boleh bersekolah lagi.”
Hugo menoleh ke arah Joseph dengan tatapan minta diberi penjelasan. Baginya tiga hari itu terlalu singkat untuk berada jauh dari yang namanya sekolah. Namun Joseph hanya memamerkan senyumnya, senyum yang sering ia perlihatkan kepada pasien yang takut dengan jarum suntik dan berharap senyuman itu bisa membuang jauh rasa takut sang pasien.
“Begitukah? Tapi dia baru bersekolah dua hari.”
“Tidak apa-apa. Hugo bilang ada guru yang menyaksikan kejadian itu, jadi pasti mereka memaklumi kenapa Hugo tidak masuk sekolah. Dan aku sudah membuat surat keterangan dokter, kau bisa memberikannya ke sekolah. Ini dia Nyonya,” jelas Joseph sembari memberikan surat yang dimaksudnya tadi kepada Nyonya Solveig. Wanita itu pun menerimanya.
“Terimakasih Dokter. Maaf aku tinggal sebentar. Aku ingin memastikan apakah yang diceritakan Hugo tentang luka yang didapatnya itu benar atau tidak,” ucap Nyonya Solveig sambil bergegas pergi dari kamar Hugo untuk menelepon sekolah Hugo.
“Kenapa cuma tiga hari?” akhirnya Hugo mengutarakan protesnya setelah yakin bibinya sudah berada cukup jauh untuk mendengar percakapan mereka.
“Aku sudah melebihkan satu hari.”
“Melebihkan satu hari? Jadi aku benar-benar harus istirahat?”
“Seharusnya begitu. Tapi Katie tidak akan suka kalau kita istirahat, bukan?” ucap Joseph sambil sedikit tertawa.
Hugo tak menanggapi perkataan Joseph. Kepalanya terasa pusing karena kurang tidur. Ia pun memutuskan untuk berbaring diranjangnya mumpung sedang ada di kamarnya. Joseph yang sepertinya tak menyadari kalau teman kecilnya itu perlahan-lahan menutup matanya karena tak bisa menahan kantuk terus saja mengoceh. Ia menerangkan obat-obat yang harus Hugo minum untuk mempercepat proses pemulihan tangannya.
“Baiklah, sekarang aku percaya dengan ceritamu, Hugo,” ucap bibi Hugo yang telah kembali ke kamar Hugo. Namun ia menyadari keponakan laki-lakinya yang telah ia anggap seperti anaknya sendiri itu telah terlelap di atas ranjangnya.
“Oh, dia tertidur.”
“Benarkah?” Tanya Joseph sambil melihat ke arah Hugo, “ini pasti pengaruh obat. Dia memang butuh istirahat agar lukanya cepat pulih. Jadi biarkan saja dia tidur.”
Nyonya Solveig mengangguk-anggukkan kepalanya, “baiklah.”
“Dan obat-obatnya sudah aku letakkan di atas mejanya. Pastikan ia menghabiskannya.”
Nyonya Solveig kembali mengangguk, “oke.”
“Baiklah aku permisi dulu,” pamit Joseph.
“Terimakasih Dokter. Kau sudah mau repot-repot mengantar Hugo pulang. Padahal kau pasti sangat sibuk.”
“Tidak masalah Nyonya. Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa.”
“Biar ku antarkan sampai depan,” ucap Nyonya Solveig sambil membukakan pintu kamar Hugo. Joseph pun mengangguk dan mereka berdua berjalan ke pintu depan rumah nyonya Solveig bersama-sama.

Hugo and The RevellerWhere stories live. Discover now