Break

0 0 0
                                    

Hugo berjalan di halaman belakang sekolahnya sambil menendang-nendang batu yang ada di jalan. Ia tak percaya ia akan kembali melakukan aktivitas seperti pelajar pada umumnya, lagi. Ia memikirkan berapa lama sebaiknya ia berpura-pura menjadi anak baik di sekolah untuk menyenangkan hati paman dan bibinya dan lalu kembali membolos dari sekolah agar ia bisa memiliki banyak waktu untuk melakukan hal yang ia sukai.
Ia masih belum mau pergi ke kelasnya. Jam pelajaran pertama masih sepuluh menit lagi akan dimulai. Menghirup udara segar di halaman sekolah menjadi pilihannya untuk mengusir kantuknya (malam tadi ia kurang tidur lagi, tentu saja). Tak ada yang menarik disana. Hanya ada beberapa rongsokan meja belajar  dan kursi kayu yang dibiarkan tergeletak di depan gudang sekolah yang sudah penuh. Beberapa potongan meja-meja dan kursi-kursi yang telah tak berbentuk itu bahkan berpencar di sekeliling halaman belakang sekolah yang dilalui Hugo, mungkin tak sengaja tertendang oleh murid-murid jahil.
Ia menyadari beberapa siswi yang berada di sekitar sana memandanginya, sebagian dengan ekspresi penasaran dan sebagian lagi dengan tatapan kagum. Dilihat dari sisi manapun, Hugo sangat menarik perhatian kaum hawa. Dengan wajah tampannya yang imut bak model, bibir tipis yang lebar, dan ia memiliki hidung mancung yang unik yang sering menjadi pusat perhatian saat orang menatapnya, dengan sedikit bengkok di ujungnya bagai sengaja dipahat untuk menambah daya tariknya. Alis matanya tebal, bulu matanya yang panjang melingkar di kelopak matanya yang memerangkap bola mata cokelat muda yang indah. Potongan rambut pendek dan ber-layer sangat cocok untuk rambut cokelat keemasan miliknya. Sekali lihat pun, orang-orang akan tahu Hugo memiliki otot yang kuat meski tersembunyi dari balik pakaiannya. Tubuhnya tinggi dan jika ia menambah sedikit lagi berat badannya, ia akan terlihat sangat proporsional. Kulit putihnya tak memperlihatkan kesan lemah di dirinya, mungkin karena ia memiliki aura kejantanan yang kuat yang membuatnya terlihat sangat berkharisma. Saat seorang perempuan cantik memberanikan diri melemparkan senyum kepada nya, ia pun membalasnya. Membuat perempuan jelita itu bersama teman-teman se-geng nya terpekik girang.
Saat pandangan Hugo kembali tertuju pada batu yang di tendangnya tadi, ia melihat sepasang sepatu kets hitam yang di kenakan sepasang kaki yang Hugo yakini milik seorang perempuan, berhenti di dekat batu tersebut. Hugo pun menegakkan wajahnya dan menemukan Zafi, si pemilik kets hitam, yang berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada. Hal baru yang ia lihat dari Zafi adalah hari ini ia tak lagi mengepang rambutnya, melainkan menguncir rambut panjangnya menjadi seperti ekor kuda. Sementara ekspresi Zafi masih sama seperti yang kemarin, penuh dengan permusuhan.
Hugo menatapnya dengan tatapan tak senang. Ia paling benci dengan orang yang suka mencari masalah kepadanya, seperti Zafi ini. Padahal ia sudah mengatakan kepada Zafi untuk menganggapnya tidak pernah ada. Tapi Zafi yang terlalu sok tegas tidak mau menurutinya karena menurutnya Hugo sangat mengganggu ketertiban yang sudah tercipta hampir sempurna di sekolahnya itu.
“Belum puas marah-marah kemarin?” tanya Hugo jengkel. Kemarin saat ia tertidur di kelas, Zafi tidak menyadarinya. Gadis itu baru sadar Hugo telah terbang ke alam mimpi setelah Profesor Geneviève keluar dari kelas mereka. Ia langsung menggebrak meja Hugo sampai Hugo terbangun tiba-tiba karena terkejut. Ia lalu menghadiahi Hugo dengan omelan-omelan yang membuat telinga Hugo sakit dan berlagak memaafkan Hugo karena ia berpikir anak baru belum tahu apa-apa.
“Aku hanya ingin memberikan ini padamu,” ucap Zafi sambil menyodorkan sebuah buku ber-cover jingga. Hugo mengambil buku itu lalu membaca judulnya, ‘Peraturan Sekolah’. Hal itu membuat Hugo tertawa terpingkal-pingkal.
“Buku menyedihkan macam apa ini?” tanyanya kepada Zafi.
“Apa kau bilang?! Kau tak bisa membaca judulnya, hah? Itu buku peraturan sekolah. Semua siswa wajib membacanya, terutama berandalan sepertimu!”
“Dan kalau kau melanggar peraturan yang tertulis disana, siap-siap saja aku hajar!” tambah Zafi dengan sorot mata tajam, bagai siap untuk menikam Hugo dengan tatapannya itu.
Hugo tersenyum mengejek. Gadis yang ada di hadapannya sungguh sangat kekanakan dan tak ada manis-manisnya baginya. Di telinga Hugo, caranya mengancam terdengar seperti pencuri yang tidak profesional. Ia mengembalikan buku itu kepada Zafi seraya berkata, “aku tidak membutuhkannya.”
Zafi melotot mendengar perkataan Hugo. Ia mengepalkan jarinya menahan emosi.
“Kau… harus… membacanya!” Zafi berbicara dengan gigi tertutup, mencoba untuk tidak berteriak dan memaki Hugo.
“Kenapa kau memaksaku? Kau ingin aku menjadi anak baik agar tidak pernah di keluarkan dari sekolah ini dan bisa terus ada di dekatmu? Begitu?”
“Apa?!”
“Kau suka padaku, jadi kau mencari cara agar aku tidak pernah pergi dari sekolah ini, yaitu dengan cara membuatku tidak pernah melanggar peraturan sekolah. Betul kan?”
Hugo tersenyum penuh kemenangan karena berhasil menggoda Zafi. Dengan setengah penasaran, ia terus memandang Zafi untuk menanti reaksi apa yang akan Zafi lakukan atas perkataan Hugo tadi yang Hugo yakini membuat Zafi naik pitam. Dan perkiraan Hugo benar. Kini Zafi tidak bisa lagi menahan amarahnya. Jari gadis itu yang dari tadi terkepal kini melayang ke arah perut Hugo.
“Lain kali hati-hati kalau bicara!!!” bentak Zafi sengit.
Hugo tertawa sambil memegangi perutnya yang tadi menjadi korban kekalapan Zafi, “jadi kau menghukum murid lain dengan pukulan lembek ini? Hahahaha…”
“Kau minta tambah?!” Zafi kembali emosi. Ia pun kembali melayangkan pukulan, kali ini ke pipi Hugo. Namun Hugo kembali tertawa.
“Mungkin kau perlu sarapan dulu,” ejek Hugo. Ia bahkan pernah merasakan pukulan yang lima kali lebih menyakitkan dari pada pukulan Zafi.
“Aaaaaaargh!” Zafi berteriak kesal karena terus di cemeeh oleh Hugo. Tanpa pikir panjang, ia mengambil kayu yang ada di tanah, lalu memukulkannya ke lengan Hugo.
“Aw, sakit sekali,” Hugo kembali menggoda Zafi dengan berlagak berpura-pura sakit, walau sebenarnya pukulan Zafi tadi cukup menyakitkan.
“JANGAN MEMAKSAKU!!!” jerit Zafi sambil meraih sebuah balok kayu bekas kaki meja yang ada di dekat kakinya tanpa menyadari ada paku yang tertancap di balok tersebut. Hugo yang tak menyangka Zafi akan menghajarnya dengan  balok itu tak sempat menghindar. Darah pun mengalir dari telapak tangan kanannya saat ia mencoba secepat kilat menghalangi balok itu mengenai tubuhnya. Zafi tampaknya belum menyadari apa yang telah diperbuatnya. Kemarahan masih menguasai dirinya, sehingga ia terus-terusan memukulkan balok itu ke lengan Hugo. Mungkin Zafi tak akan berhenti sebelum Hugo merebut balok itu dari tangannya dan menghempaskannya ke tanah.
“KAU GILA???!!!” teriak Hugo yang kini memegangi tangan kanannya, berusaha menghentikan darah yang mengalir.
Zafi tersentak ketika menyadari kalau hal yang sudah dilakukannya sudah sangat keterlaluan. Ia menjadi panik melihat darah Hugo yang mengalir dengan deras. Kepanikannya bertambah setelah ia melihat ada dua guru disana yang tampak terkejut dengan apa yang telah diperbuat Zafi. Dan bukan hanya dua guru itu saja, banyak siswa-siswi yang ada di sekitar sana menoleh ke arah mereka dengan ekspresi kaget dan ngeri.
“Zafi Sauvage, ikut saya!” kata salah seorang guru dengan tegas. Sementara guru yang lain bergegas mengantarkan Hugo ke UKS. Tampak beberapa murid perempuan yang penasaran mengikuti mereka berdua ke UKS.
Sebelum melangkah menjauh dari lapangan sekolah itu, Hugo di tengah rasa sakitnya masih sempat melirik pelaku penyebab tangannya bermandikan darah. Gadis itu tampak sangat panik dan ketakutan. Hugo pikir Zafi malah akan tersenyum puas karena berhasil menghancurkan tangan Hugo.
Sesampainya di UKS, dokter yang berjaga disana berteriak histeris melihat kondisi tangan Hugo. Dokter magang itu tampaknya belum terbiasa menangani pasien, sehingga ia terlihat begitu panik. Ia terus menyebutkan “Oh Tuhanku” berulang kali.
“Kenapa tanganmu bisa seperti ini?” tanyanya masih dengan ekspresi panik sambil menggulung lengan kanan jaket Hugo yang sedikit tercabik-cabik karena paku tadi dengan hati-hati. Hugo tidak menjawab pertanyaan perempuan itu karena sibuk menahan sakit.
“Bertahanlah, aku akan membersihkan lukamu dulu,” ucap dokter itu lagi.
Sementara sang dokter sibuk memberi perawatan terhadap lengan kanan Hugo, guru yang tadi mengantarkan Hugo ke UKS berbicara dengan perempuan-perempuan yang tadi mengikuti mereka di luar UKS. Pintu UKS yang tidak ditutup membuat Hugo bisa mendengar pembicaraan mereka.
“Aku tidak percaya Zafi bisa melakukan hal keterlaluan seperti itu,” ucap guru wanita itu dengan nada penyesalan.
“Kami juga, Profesor Rochelle. Kami kira Zafi hanya bercanda, karena tadi saat Zafi meninju Hugo, Hugo tertawa. Tapi setelah itu Zafi malah mengambil kayu dan kemudian balok lalu memukulkannya kepada Hugo, sampai berdarah-darah seperti itu,” seorang murid perempuan menanggapi perkataan gurunya dengan suara manis yang dibuat-buat.
“Kejadiannya begitu cepat, kami tak memiliki kesempatan untuk bisa menghentikan Zafi,” ujar perempuan lainnya. Hugo sedikit tertawa mendengar perkataan gadis itu, karena ia yakin meski mereka memiliki kesempatan untuk menghentikan Zafi, mereka tidak akan melakukannya, tapi malah sibuk berteriak ketakutan.
“Aku masih penasaran kenapa Zafi bisa sampai gelap mata begitu,” Profesor Rochelle kembali berbicara seolah tidak mendengarkan perkataan dua muridnya tadi.
“Seingatku Zafi tadi menghampiri Hugo duluan dan memberikan sebuah buku, entah apa itu. Tapi Hugo sepertinya tidak mau menerima buku itu, dan setelah itu Zafi mengamuk,” perempuan yang lain ikut buka suara.
“Zafi memang keterlaluan! Mentang-mentang dia punya jabatan di sekolah ini, seenaknya saja memperlakukan orang. Serius nih Prof, bukan cuma Hugo saja yang sudah jadi korban!” sang gadis bersuara manis tadi tampak mencoba meracuni pikiran Profesor Rochelle. Hal itu membuat Hugo yakin bahwa bukan hanya dirinya yang membenci Zafi, tapi semua siswa yang ada disana. Jelas-jelas perkataan perempuan tadi pasti akan membuat Profesor Rochelle membicarakan tentang penghentian Zafi dari jabatannya sebagai seksi keamanan di sekolah bersama guru yang lainnya.
Tidak ada suara lagi yang terdengar. Mungkin Profesor Rochelle benar-benar memikirkan untuk membicarakan pemberhentian Zafi sebagai seksi keamanan di sekolah kepada guru yang lainnya. Dan di tengah keheningan itu, bel tanda pelajaran pertama dimulai pun berbunyi. Profesor Rochelle mengkomandokan para siswi itu agar pergi ke kelas mereka. Terdengar desahan kecewa dari beberapa gadis. Mungkin mereka tidak suka berada di kelas untuk memperhatikan guru-guru menerangkan pelajaran yang membosankan, atau karena mereka tidak memiliki waktu untuk masuk ke dalam UKS dan melihat keadaaan Hugo. Untuk apa lagi mereka mengikuti Hugo sampai ke UKS?
Setelah kerumunan di depan UKS membubarkan diri dengan berat hati, Hugo kembali beralih kepada lengannya yang tak kunjung berhenti mengeluarkan darah. Hal itu membuat sang dokter panik dan ketakutan. Ia pikir setelah membersihkan luka Hugo, darahnya akan berhenti mengalir.
“Oh Tuhanku! Lukamu sepertinya sangat parah, mungkin perlu dijahit!” ucapnya dengan ekspresi ngeri.
“Oh, benarkah?” Hugo ikut khawatir. Tangannya adalah asset berharga baginya. Ia takut karena kejadian ini, hal-hal kesukaannya yang sering ia lakukan bisa terhambat.
“Kita harus cepat membawamu ke rumah sakit!” dokter itu memutuskan sambil bergegas mencari ponselnya.
“Tidak perlu!” kata Hugo seketika agar dokter itu tak jadi menelepon seseorang yang mungkin akan dimintanya untuk mengantarkan Hugo ke rumah sakit, “aku punya kenalan, dia dokter. Biar aku menghubungi dia saja,” ucap Hugo sambil mengeluarkan ponselnya dari saku kemejanya.
“Kau yakin?”
“Ya, aku sudah terbiasa dirawat olehnya. Jadi aku tidak mau dokter lain,” jawab Hugo sambil mencari nomor Joseph dari kontak ponselnya. Ia memiliki sebuah rencana, dan ia membutuhkan Joseph karena kebetulan Joseph memang seorang dokter dan keadaannya sekarang membuatnya harus dirawat oleh dokter. Bila tidak ada kecelakaan ini, mungkin rencana ini tak akan pernah terpikir olehnya, walau kecelakaan ini sangat merugikan lengan berharganya.
“Hai Joseph, apa kau sibuk? Oh, bagus lah! Aku butuh bantuanmu, aku sedang di sekolah saat ini. Dan tanganku terluka. Dokter di sekolahku bilang tanganku perlu dijahit. Kau bisa mengutus seseorang untuk menjemputku? Bagus! Terimakasih. Sampai ketemu!” Hugo mengakhiri pembicaraan di telepon genggamnya dan menyisipkan kembali ponselnya di balik saku kemejanya. Ia merasa tak perlu menjelaskan apa-apa kepada dokter itu karena ia yakin dokter itu sudah paham apa yang dibicarakan Hugo dan Joseph. Namun dokter itu masih bertanya, berusaha mengklarifikasi apakah dugaannya betul.
“Jadi utusan dokter kenalanmu itu akan menjemputmu?”
Hugo mengangguk.
“Baiklah. Maaf aku tidak bisa membantu banyak. Kau tahu kan, peralatan disini tidak lengkap. Aku akan mencari cara untuk menghentikan darahmu sementara,” dokter itu diam sejenak untuk berpikir, “mungkin untuk sementara aku akan memperban lenganmu.”
Hugo kembali mengangguk, mencoba menyampaikan bahwa ia setuju-setuju saja dengan apa yang ingin dilakukan dokter itu terhadapnya. Dokter itu pun meraih perban dari lemari yang pintunya terbuat dari kaca dan mulai membalut tangan Hugo dengan perban itu secara cermat.
Dokter itu meninggalkan Hugo sebentar untuk ke toilet setelah ia menyelesaikan pekerjaannya. Dan Hugo tak mengira pelaku yang membuat tangannya babak belur malah datang. Ekspresi gadis itu masih menunjukkan perasaan bersalah yang amat dalam.
“Sekarang siapa yang psikopat?” sindir Hugo.
“Maafkan aku. Aku memang bodoh soal mengontrol diri,” ucap Zafi dengan suara lemah. Ia menundukkan wajah sedihnya.
“Ini bisa mengacaukan pekerjaanku!” keluh Hugo.
“Pekerjaanmu? Kau benar-benar memiliki pekerjaan?” Tanya Zafi sambil menegakkan kepalanya untuk menatap Hugo. Kemarin saat ia memarahi Hugo habis-habisan karena Hugo tertidur di kelas, ia sempat mendengar Hugo menyebut- nyebut bahwa ia memiliki pekerjaan di malam hari sehingga membuatnya kurang tidur dan akhirnya tertidur di kelas. Namun Zafi tidak mau mempercayainya. Ia berpikir Hugo hanya mengarang-ngarang alasan agar Zafi menaruh belas kasihan kepada Hugo dan akhirnya membiarkan Hugo tidur di saat jam pelajaran pada hari-hari berikutnya.
“Tentu saja! Kau tahu? Rasanya tanganku sangat sulit digerakkan. Aku pasti tak bisa tampil untuk beberapa malam.”
“Tampil? Apa pekerjaanmu? Berhubungan dengan musik? Apa kau pemain piano? Atau drum? Atau gitar? Atau apa?” Tanya Zafi dengan sangat penasaran. Tapi ia masih menampakkan wajah rasa bersalahnya karena ia benar-benar merasa bersalah. Ia tahu hal yang telah dilakukannya akan membawanya dalam masalah yang sangat besar.
“Aku DJ,” jawab Hugo. Ia tak akan mengakui pekerjaanya yang satu lagi. Itu adalah rahasia yang hanya diketahui oleh Hugo dan anggota The Reveller lainnya.
“Apa?! Memangnya remaja seusia kita boleh masuk klub malam?” Zafi melupakan rasa bersalahnya sebentar karena rasa ingin tahunya terhadap teman sekelas barunya itu kini lebih kuat.
“Kalau kau seorang DJ tentu saja boleh,” jawab Hugo asal.
“Apakah orang tuamu memperbolehkannya?”
Hugo tertawa meringis, “bodoh sekali aku kalau membiarkan mereka tahu.”
Zafi menutup mulutnya dengan kedua tangannya karena kaget. Menurut Hugo reaksi Zafi sangat berlebihan. Tapi hal itu malah membuatnya jadi lebih terlihat seperti perempuan sungguhan karena menurut Hugo perempaun memang sering bertingkah berlebihan dan suka mendramatisir.
“Kau melakukan pekerjaan sampingan diam-diam? Apakah mereka tidak pernah bertanya saat kau keluar di malam hari dan baru pulang di pagi hari? DJ pulang pagi kan?” Tanya Zafi lagi. Namun pertanyaan Zafi tidak akan pernah bisa dijawab oleh Hugo hari ini karena Profesor Meggie, guru yang tadi membawa Zafi pergi, memasuki UKS dan langsung menegur Zafi.
“Zafi, apa yang kau lakukan disini? Apa kau belum puas memukuli Hugo?” sindirnya sarkartis, membuat Zafi ingin meledak lagi karena niat baiknya untuk meminta maaf kepada Hugo malah disalah artikan. Namun ia hanya bisa diam karena ia tahu jika menghajar satu orang lagi pasti masalah yang akan menimpanya akan bertambah parah.
Tak lama setelah guru itu masuk sambil mengeluarkan perkataan yang menusuk hati Zafi, dokter yang tadi membalut lengan Hugo dengan perban telah kembali dari toilet. Ia tak menyangka akan ada orang lain disana selain Hugo.
“Bagaimana keadaannya?” Tanya profesor Meggie kepada dokter itu.
“Sangat buruk. Darahnya sangat sulit untuk berhenti, jadi ia harus dibawa ke rumah sakit. Akan ada orang yang menjemputnya untuk membawanya ke rumah sakit sebentar lagi. Untuk sementara aku membalut lukanya dengan perban dulu,” jelas dokter itu.
Zafi kaget karena tak menyangka kondisi Hugo akan seburuk itu. Ia semakin merasa tertekan saat sang guru menatapnya tajam.
“Kau dengar akibat ulahmu Zafi?” Tanya professor Meggie tegas.
“Maafkan saya Prof,” ucap Zafi sedih.
“Tidak perlu meminta maaf padaku. Minta maaflah kepada Hugo.”
“Aku sudah memaafkannya,” ucap Hugo, walau ia tak yakin apakah ia benar-benar sudah memaafkan Zafi atau belum. Perkataan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutnya. Sejenak ia merasa menyesal telah mengatakan hal itu. Ia harus mengatakan kepada Zafi bahwa ia hanya basa-basi setelah ini.
“Oh, kau baik sekali Hugo. Sebenarnya aku tidak tahu apa masalah yang terjadi antara kalian berdua sehingga membuat Zafi jadi kalap begini. Aku akan bertanya setelah lukamu diobati. Apakah orang yang menjemputmu masih lama datang? Sekolah bisa mengantarmu ke rumah sakit sekarang,” usul profesor Meggie. Dan disaat itu ponsel Hugo berdering.
“Oh, tidak perlu Prof! Sepertinya jemputanku sudah datang,” tolak Hugo halus sambil mengangkat teleponnya. Terdengar suara Rogier disana.

Hugo and The RevellerWhere stories live. Discover now