Prolog

2 1 0
                                    

Bocah tiga belas tahun itu mengalihkan pandangannya dari roti lezat yang dinikmatinya ke luar toko roti saat suara gaduh terdengar. Seorang wanita mengeluarkan sumpah serapah kepada pemuda yang baru saja merebut tas miliknya, dan pemuda itu dengan cerobohnya menabrak tong sampah. Dan tak hanya sampai disitu kecerobohannya, saat ia bangkit kembali karena jatuh bersama tong sampah, ia menginjak seekor kucing liar yang membuat kucing itu secara refleks mencakarnya. Hal itu membuat pemuda pencuri itu kehilangan keseimbangan dan menggapai apa saja agar ia tak jatuh lagi. Sialnya ia gagal menemukan pegangan dan malah menyenggol pot bunga. Tentu saja pot bunga itu jatuh bersamaan dengan dirinya. Bedanya pot bunga itu hancur berantakan sedangkan sang pencuri hanya memiliki luka bekas cakaran di kakinya.
Sang bocah yang memperhatikan kejadian itu dari dalam toko roti bertanya-tanya mengapa wanita itu mengeluarkan sumpah serapah dan bukannya berteriak minta tolong atau mengejar pencuri itu? Ia tak menemukan jawaban atas pertanyaan pertamanya namun ia paham kenapa wanita itu tidak mengejar si pencuri. Itu pasti karena sepatu hak tinggi yang ia kenakan.
Anak laki-laki berambut cokelat itu menyapu pandangannya ke seisi jalanan. Jalanan tampak lengang. Pantas saja lelaki itu berani mencuri siang-siang begini. Ia lalu menoleh ke dalam toko, mencari-cari pemilik toko roti. Seingat bocah itu, lelaki pemilik toko roti ini memiliki badan yang besar, pasti ia bisa mengalahkan pencuri itu dan merebut tas wanita itu. Namun yang dicarinya tak ada disana.
Melihat tak ada orang yang membantu wanita modis itu dan menyadari si pencuri terlalu bodoh untuk melarikan diri, bocah itu dengan sangat sadar bangkit dari kursi yang didudukinya dan berlari keluar, mengejar si pencuri. Dengan sangat mudah ia bisa mencapai pemuda kurus itu, dan tanpa takut meraih tas milik wanita dengan sepatu hak tinggi yang masih mengeluarkan sumpah serapah untuk sang pencuri itu.
Tak seperti yang dibayangkan bocah jenius itu, ternyata si pencuri dengan sigap meraih tas yang hendak di bawa kabur oleh sang bocah. Si bocah mencoba sekuat tenaga melepaskan tas itu dari tangan si pencuri, tapi tenaganya tak cukup kuat untuk menandingi gelandangan yang sangat menginginkan uang dari dalam tas wanita yang kelihatannya sangat kaya raya tersebut.
“Lepaskan tas ini bocah sialan!” hardik sang pencuri.
“Dalam mimpimu, Bung!” balas si bocah dengan berani.
Mereka berdua sama-sama keras kepala untuk mempertahankan tas itu di tangan mereka. Hingga tanpa mereka sadari sang wanita pemilik tas sudah berada di dekat mereka, ia tidak berlari tentunya, namun berjalan ke arah mereka saat mereka sedang sibuk tarik menarik tas. Wanita tersebut lalu menggunakan sepatunya yang runcing untuk menendang si pencuri. Ia menendangnya berkali-kali hingga pemuda itu melepaskan tas berwarna hitam itu dari genggamannya. Dan tas itu seutuhnya ada di tangan sang bocah.
“Aku titip tas ku ya, anak manis,” ujar si wanita kepada bocah itu sambil tersenyum manis. Tanpa menunggu jawaban, wanita itu kembali mengalihkan pandangannya terhadap si pencuri dan menghajar pencuri itu. Gerakannya mematikan namun tetap terlihat anggun.
Bocah itu tertergun melihat aksi wanita itu. Ia mengahajar si pencuri tanpa bisa membuat lelaki itu memberikan serangan balasan. Kalau wanita itu tak memakai sepatu hak tinggi mungkin sudah dari tadi ia mengejar lelaki itu dan menghajarnya seperti ini.
“Kalau kau ingin uang, kau seharusnya bekerja! Bukan mencuri seperti ini, Bajingan! Kau lihat toko roti itu? Itu milik temanku, kau pasti bisa mendapat pekerjaan disana. Atau toko reparasi di sebelahnya, itu juga milik temanku. Dia pasti butuh pecundang untuk dipekerjakan. Bahkan mungkin bocah pemberani ini sedang membutuhkan tukang kebun di rumahnya! Kenapa kau malah mencuri, Brengsek?!” omel wanita itu sambil terus menghajar si pencuri. Namun si pencuri hanya bisa mengeluarkan rintihan-rintihan kesakitan.
“Katie, lebih baik kau lepaskan dia. Itu membuang-buang waktu,” seorang pria yang baru keluar dari toko reparasi menegurnya.
Wanita yang dipanggil Katie itu menoleh ke pria pemilik toko reparasi dengan tatapan sengit, “kau sekarang membela kejahatan?”
“Bukan,” pria itu menghela napas dengan sabar, “tapi sudah waktunya kita berkumpul. Lagi pula tas mu sudah kembali.”
“Aku tidak mau melepaskannya. Lebih baik kau telepon polisi dan ambilkan aku tali agar bajingan ini tidak ke mana-mana.”
“Kau tahu menelepon polisi itu ide buruk untuk kita.”
“Ide buruk apa? Yang kita lakukan selama ini jelas-jelas membantu polisi. Lakukan saja apa yang ku suruh atau aku keluarkan kau!”
Pria itu terdiam dan akhirnya menuruti perkataan Katie. Setelah mereka mengikat si pencuri dan meninggalkannya di depan toko reparasi, mereka pergi ke toko roti tempat bocah yang bermaksud menolong Katie tadi menikmati baguette. Mereka duduk disana sambil menunggu polisi datang dan menjebloskan pencuri tas Katie ke dalam penjara. Tak lupa Katie mengajak bocah itu kembali ke sana juga, karena roti pesanannya belum habis dilahapnya.
“Kita akan terlambat,” ujar si pria pemilik toko reparasi.
“Ya ampun, sejak kapan kau peduli dengan kata terlambat? Bukankah itu kebiasaanmu? Sering terlambat menangkap target kita. Dan kau juga tadi terlambat membantuku. Bocah itu jadi harus turun tangan kan untuk membantuku?” kata Katie kesal.
“Tidak perlu terburu-buru, Léon. Lihatlah pelanggan baruku masih di sini. Aku belum bisa menutup toko ini. Jadi tunggu saja di sini,” ucap Philippe, si pemilik toko roti. Ia yang baru kembali dari kamar kecil kini duduk bergabung dengan dua temannya itu.
“Kita ajak saja dia!” seru Katie tiba-tiba.
Pernyataan Katie itu serentak membuat Léon, Philippe, dan bocah itu yang duduk tak jauh dari mereka, menoleh ke arah Katie dengan kaget.
“Ajak ke mana?” tanya Léon.
“Bergabung dengan kita.”
“Dia masih bocah, Katie.”
“Tapi dia lebih berani dari pada kalian berdua. Lihat saja tadi, siapa yang menolongku merebut kembali tas ku? Dia kan? Dan kalian, apa yang kalian lakukan, hah?!”
“Kau bisa mengatasi pencuri itu sendirian,” ucap Philippe sambil mengangkat bahu.
“Kalau anak ini tidak menahan pencuri itu, pasti pencuri itu sudah kabur, Bodoh!”
“Benarkah? Aku tidak melihatnya tadi. Pantas saja dia tadi ada di luar.”
“Maaf Nona, kau mengajakku bergabung untuk apa?” bocah itu memberanikan diri untuk bertanya.
Katie mengalihkan pandangannya ke bocah itu, lantas menjawab pertanyaannya, “bergabung bersama kami. Melakukan hal-hal yang menyenangkan. Kau pasti akan suka, karena kau anak yang pemberani,” ucapnya sambil tersenyum manis.
Anak laki-laki itu hanya diam, masih belum mengerti dengan maksud Katie.
“Oh iya, aku belum tahu siapa namamu,” kata Katie lagi.
“Aku Hugo,” jawab bocah itu.
“Jadi kau Hugo, kau sangat berani sekali. Aku Katie, dan dua pecundang ini Philippe dan Léon,” ucap Katie sembari menunjuk kedua temannya yang memiliki postur tubuh yang bertolak belakang secara bergantian. Philippe sangat gendut sedangkan Léon sangat kurus.
“Lalu, kau mau kan ikut dengan kami?” tanya Katie lagi.
Hugo terdiam sejenak.
“Waktu berliburku di sini tinggal dua Minggu lagi. Lalu aku harus kembali ke Nantes,” jelas Hugo kemudian.
“Kau tidak tinggal di sini?” Katie nampak sedikit kecewa.
“Ya, itu lebih baik,” celetuk Léon. Ia yakin dengan begitu Katie tak bisa memaksa Hugo untuk bergabung dengan kelompok mereka.
“Tinggallah di sini. Aku akan memberikan apapun untukmu. Aku punya dua rumah, kau boleh memiliki yang satunya. Atau kau boleh tinggal denganku, rumah yang aku tempati lima kali lipat lebih besar dari pada rumah yang satunya lagi,” bujuk Katie.
“Ya ampun Katie, kau gila?” tanya Léon.
“Diamlah!” bentak Katie. Ia tak suka dikomentari seperti itu.
“Perkataanmu itu seperti penculik yang ingin menjebak anak kecil saja Katie. Kalau pelanggan kecilku satu-satunya ini nanti tidak akan ke sini lagi bagaimana?”
“Aku akan ke sini setiap Minggu. Dan aku akan mencari cara agar aku bisa tinggal di sini,” ucap Hugo tiba-tiba.
Katie seketika terpekik girang. Ia bahkan memeluk Hugo saking senangnya. Philippe dan Léon saling memandang, tak menyangka bocah itu sama gilanya dengan Katie.
“Terimakasih Hugo. Aku pasti tidak akan mengecewakanmu!” ucap Katie. Ia lalu kembali beralih kepada Philippe dan Léon.
“Kalian berdua, tetap di sini menunggu polisi datang. Aku ingin menemui Martin sekarang!” ucap Katie gembira, lalu segera berlalu dari sana.
Léon geleng-geleng kepala melihat tingkah Katie. Bagaimana pun ia tetap tak setuju anak kecil bergabung dengan kelompok mereka.
“Kau terlalu mudah percaya, Nak. Bagaimana kalau kami ini penculik?” tanya Philippe.
“Berarti aku sedang sial.”
Philippe hanya tersenyum geli mendengar perkataan Hugo itu. Dalam hati ia mengakui bahwa bocah di hadapannya itu cukup berani.
“Apa yang kami lakukan bukan untuk bersenang-senang seperti yang kau bayangkan. Kami tidak melakukan permainan anak kecil atau pergi ke tempat yang menyenangkan untuk berlibur. Kau akan bertemu dengan penjahat setiap harinya dan mempertaruhkan nyawamu untuk menangkap mereka. Jadi sebelum terlambat, lebih baik kembali ke ibumu. Katie akan segera kembali ke sini,” Léon memperingatkan.
“Wah, jadi itu yang kalian lakukan? Kedengarannya menyenangkan!” ucap Hugo sungguh-sungguh. Matanya berbinar-binar seperti baru saja dijanjikan akan dibelikan robot keren.
Philippe dan Léon saling menatap. Dan belum sempat mereka mengeluarkan sepatah kata, Katie sudah kembali sambil membawa Martin, ketua mereka, yang akan menentukan
apakah Hugo akan diterima sebagai anggota baru. Anggota di The Reveller.

Hugo and The RevellerWhere stories live. Discover now