enam ; malioboro menjadi saksi

Start from the beginning
                                    

"Kamu masih inget nggak, gimana aku dateng ke rumah kamu dan ngomong ke ayah dan ibu kamu waktu itu?"

Widia mengangguk. Sejujurnya ia masih sering merasa sedih jika mengingat hari itu. Dimana Jivan datang di titik terendahnya dan mendapatkan makian dari ayah ibunya. Lelaki itu menerima semuanya dan tidak mundur sama sekali untuk meyakinkan kedua orang tuanya bahwa dirinya layak.

"Setelah semua yang terjadi hari itu akhirnya ayah dan ibu kamu mempercayakan kamu untuk menjadi istri aku. Aku seneng banget karena akhirnya aku bisa membuktikan pada mereka bahwa aku layak buat kamu, aku bisa jadi suami yang baik untuk kamu,"

"Ayang ... "

"Widia, kamu satu-satunya, nggak ada yang lain. Aku nggak mau mencoreng kepercayaan kedua orang tua kamu ke aku. Nggak, setelah semua badai yang kita lalui bersama sampai titik ini,"

Widia berkaca-kaca. Wanita itu seketika merasa bersalah dan beralih masuk ke dalam pelukan Jivan. Memeluk lelaki itu erat.

"Maaf,"

Jivan mengangguk kemudian mengecup pucuk kepala Widia dengan lembut dan penuh kasih sayang.

"Heh ini tempat umum! Kalau mau mesra-mesraan sono di rumah! Kasihan yang jomblo nih nanti kejang!" hardik Hardan yang entah sejak kapan sudah hadir di counter pemesanan.

"Mata kamu aku colok! Siapa yang jomblo? Aku baik-baik aja ya, kamu kali yang kejang!" Yesha menimpali dengan kesal setelah Hardan sengaja sekali menunjuk dan mengklaimnya sebagai jomblo.

"Hilih kalau jones ngaku aja udah. Nggak usah ngeles!"

"Idih jomblo teriak jomblo!"

Jivan memijat pangkal hidungnya. Pusing sekali melihat kelakuan dua manusia yang hampir setiap hari beradu argumen. Sedangkan Widia hanya tersenyum melihat interaksi dua sahabat Jivan—yang memang tiada hari tanpa berdebat itu.

"Ayang kamu masuk aja sana gih! Disini nggak baik buat bayi kita. Banyak makhluk akhlakless ngajarin yang nggak bener,"

"Heh mulut lo! Salahin Yesha nih! Gue mah diem aja daritadi," bela Hardan.

"Woy enak aja, orang kamu tadi yang mulai!"

Jivan hanya mampu menatap ke arah kedua sahabatnya itu seraya menghela napas. Widia sendiri memilih menuruti perintah Jivan untuk pergi darisana.

"Aurel mana, Har?"

Hardan mengendikkan bahunya seraya mengangkat segelas air putih kemudian meneguknya. Kering juga tenggorokannya setelah berlatih debat dengan Aurel yang katanya akan ikut kompetisi debat minggu depan.

"Pulang,"

"Cepet banget tumben, eh tapi ngomong-ngomong gue boleh nanya sesuatu nggak?" Jivan kembali berucap, Hardan mengangguk.

"Dia masih bersikeras deketin lo?"

Hardan mengangguk, "Ya seperti yang lo liat. Jangan lo kira gue nggak tau lo daritadi ngamatin gue sama dia darisini ya?"

Jivan meringis, "Tapi gue liat-liat lo cocok sama dia. Kenapa nggak coba aja atuh?"

"Gimana mau nyoba jalin hubungan? Kamu lupa dia kan udah punya Kalyana," Yesha berceletuk membuat Jivan tersadar.

Hardan mendengus kemudian berucap lirih, "Emang aku sama Kalya beneran keliatan kayak pasangan ya?"

"Hah ngomong apa lo barusan?" tanya Jivan.

"Bukan apa-apa. Gue pulang dulu ya?"

Jivan dan Yesha memandang kepergian Hardan dengan tatapan sulit diartikan. Mereka membiarkan lelaki itu pergi dan meninggalkan banyak tanda tanya untuk mereka.


RUMORWhere stories live. Discover now