enam ; malioboro menjadi saksi

Mulai dari awal
                                    

Sejak Aurel mengungkapkan perasaannya, gadis tersebut seolah tak kenal kata menyerah. Seberapa jauh Hardan berusaha menghindarinya, Aurel tetap berjalan mendekat. Berbagai cara telah ia lakukan agar usahanya mendekati Hardan berhasil.

Meskipun seluruh kerja kerasnya tidak mendapatkan apresiasi yang semestinya dari Hardan, Jivan justru merasa salut pada gadis cantik bermata sipit tersebut. Aurel tidak kenal yang namanya mundur. Atau bisa dikatakan ia terlalu gigih untuk menjadi seorang wanita.

Plakkk

Kedua bola mata Jivan melotot sempurna setelah sebuah geplakan tiba-tiba mendarat di pipi kanannya. Salah gerak sedikit, matanya akan ikut tercolok jari dengan nail art yang cantik itu. Alih-alih marah, ia justru meringis kala mendapati wajah jelita nan imut itu menatapnya dengan wajah menekuk lucu. Yaampun, andai saja ia sedang berada di rumah, ia mungkin akan membungkus makhluk menggemaskan satu ini dengan selimut tebal dan menguncinya di atas ranjang untuk dipeluk seharian.

"Awas itu bola mata kamu keluar nanti!" ancam si wanita mungil yang tengah merajuk setelah mendapati Jivan sibuk memandang ke arah seorang gadis yang tidak begitu ia kenal.

"Nggak kok. Ini liat masih nempel di tempatnya. Baik-baik aja lho ini bola mata aku,"

"Ihh mas Jivan!! Dasar manusia nggak peka!"

Jivan tertawa kemudian meninggalkan pekerjaannya sejenak hanya untuk menangkap tubuh mungil Widia.

"Ayang, jangan gemes-gemes dong. Udah mau punya anak masih aja gemes begini sih? Aduh gimana kalau nanti yang keluar dari perut kamu bentukannya sama persis kayak kamu gini hm? Bisa-bisa aku makin nggak kuat ngadepinnya,"

"Nggak kuat gimana maksud kamu?" tanya Widia sewot.

"Nggak kuat gara-gara dikelilingin makhluk-makhluk menggemaskan,"

Widia mengulum bibirnya sembari berusaha untuk tidak tersenyum. Ingatkan dia bahwa dirinya sedang merajuk pada Jivan. Jadi dilarang tersenyum oke?

"Jangan marah-marah dong. Nanti cepet tua lho!"

"Ya kamu sih, ngapain coba liat tuh mbak mbak segitunya? Suka kamu sama dia?"

"Hey, aku punya mata lho sayang, aku liat ke arah dia bukan berarti aku suka ya sama dia," elak Jivan.

"Nggak usah alesan kamu,"

"Sst~aku nggak suka sama dia sumpah! Aku tadi lagi mengamati dia sama Hardan aja. Asal kamu tau, itu cewek yang lagi sama Hardan itu temen aku di kampus. Namanya Aurel. Dan dia sukanya sama Hardan bukan sama aku,"

"Ya tapi tetap aja nggak menutup kemungkinan kamu suka sama dia,"

"Tuh kan mulai ... "

Jivan melonggarkan pelukannya kemudian menatap Widia yang masih mengerucutkan bibirnya lucu. Tanpa berpikir panjang, Jivan mendaratkan satu kecupan pada bibir sang istri. Persetan dengan pasang mata yang mungkin memergoki aksinya. Ia tidak peduli sama sekali.

"Kamu—"

Sekali lagi, Jivan mendaratkan kecupan pada bibir sang istri dan kali sedikit lebih lama karena ia sengaja melumat bibir mungil Widia. Tak ada penolakan dari si wanita mungil. Sebaliknya ia membalas ciuman itu dengan bergantian melumat bibir Jivan.

"Masih marah? Aku cium lagi nih,"

"Eh udah ... udah ... malu tau!" Widia sedikit mendorong dada Jivan agar suaminya itu tidak kembali menciumnya.

Jivan tersenyum kemudian menjulurkan tangannya hingga menyentuh surai hitam legam wanita bersurai pendek sebahu tersebut. Dipandangnya wajah jelita sang istri dengan pandangannya memuja. Widia itu cantik sekali. Bagaimana bisa ia berpaling dari wanita kesayangannya ini?. Ia tidak sebodoh itu dengan meninggalkan dan menyia-nyiakan wanitanya.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang