enam ; malioboro menjadi saksi

Mulai dari awal
                                    

"Anakku, makan dulu ya nak? Mau papi suapin hm?" suara lembut papi membuat Gita perlahan luluh. Ia memang akan berubah menjadi penurut jika itu dengan papinya.

Namun rasa gengsinya tentu jauh lebih mendominasi dibandingkan dengan isi hatinya yang sesungguhnya. Gita menggeleng seraya menepis lembut telapak tangan papi agar menyingkir dari pucuk kepalanya.

"Nggak ah, mbak kan udah gede papi, masa disuapin sih?"

Jojo yang mendengarnya tertawa terpingkal-pingkal.

"Lo kenapa ketawa?" tanya Gita sewot.

"Nggak, gue keinget aja sama seseorang yang waktu tangannya patah malah bertingkah manja sama papi. Yang minta disuapin sampai digendong segala,"

Raut wajah Gita berubah geram dengan semburat merah merona di pipi kanan dan kirinya. Papi dan Mami yang mendengar ucapan Jojo ikut tertawa. Membuat suasana hati Gita semakin tidak baik karenanya. Hey, malu sekali jika mengingat betapa manjanya dia hari itu pada papi. Ia bahkan menjadi bahan ledekan teman-temannya 7 hari 7 malam karena kejadian itu.

Astaga, ia tidak ingin membicarakan hal ini lagi!.

"Badan kamu gimana sayang? Udah baikan?" tanya Mami mengalihkan topik, Gita menarik napas lega.

"Udah kok Mi, tenang aja,"

"Tapi inget ya tetap minum obatnya dengan rutin,"

"Siap komandan!"

Mami mengangguk-anggukkan kepalanya seraya membantu putri sulungnya itu mengambil lauk pauk dan nasi lantas membiarkan Gita makan dengan tenang. Hatinya menghangat kala melihat putrinya makan dengan lahap. Rasanya seperti sudah lama sekali tidak melihat Gita makan dengan penuh semangat seperti itu.

"Sayang, mami boleh tanya sesuatu?"

Gita mengangguk saja tanpa menghentikan aktivitas makannya. Kini bergantian dua manusia separuh baya dihadapannya yang menatapnya dengan khawatir. Berharap jika mereka bertanya, Gita akan baik-baik saja.

"Kamu sama Jendra gimana? Baik-baik aja kan?"

Gerak sendok dan garpu yang tadinya beradu cekatan di atas piring—seketika berhenti begitu saja. Kunyahan nasi pada mulutnya perlahan melambat seiring dengan kedua manik mata yang mulai berembun. Sulit sekali rupanya untuk tidak mendengar nama lelaki itu sekali saja dalam hidupnya.

Semua orang kelak akan mempertanyakan tentang hubungannya dengan Jendra. Meskipun hubungannya telah berakhir, orang-orang tidak akan pernah berusaha untuk mengerti. Mereka akan selalu menganggap hubungannya dengan Jendra baik-baik saja. Tidak tahukah mereka bahwa dirinya sudah lelah?.

"Mami, papi ... bisa nggak untuk sementara waktu Gita minta kalian nggak membahas soal Jendra dulu?"

Papi lebih dulu mengangguk paham, disusul Mami yang mengembuskan napasnya pelan. Sebagai orang tua mereka memilih untuk menghormati keinginan sang anak dan memilih untuk bungkam. Tidak ingin lagi melontar tanya—yang bersifat menyudutkan. Masalah putrinya dengan Jendra mungkin tergolong serius. Dan ini bukan waktunya untuk ikut campur urusan mereka.

"Sayang, apapun yang terjadi diantara kalian, papi sama mami tetap mendukung keputusan kamu,"

"Makasih ya pi, mi ... "

Papi dan Mami tersenyum hangat ke arah Gita. Membiarkan putri mereka melanjutkan kembali aktivitas makan yang sempat terjeda. Serta mengubur dalam-dalam rasa penasaran yang sesungguhnya sulit untuk dikendalikan.



○○○

Jivan menatap intens ke arah dua sejoli ... ah bukan ... mereka hanya dua orang saling mengenal yang kebetulan satu kelas di kampus. Siapa lagi jika bukan Hardan dan Aurel—yang tengah duduk berhadapan dengan laptop terbuka lebar. Tak lupa tiga buku tebal yang mengeliling dua manusia berlawanan jenis tersebut.

RUMORTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang