"Papa pikir kamu tidak akan datang."

Ruangan temaram itu perlahan menerang seiring pintu yang terbuka lebar. Aksara kembali menutup pintunya seraya menaruh ransel miliknya di single sofa.

"Andai aja bisa," lirih Aksara disela-sela mendaratkan bokongnya.

Romi hanya terkekeh sinis mendengar celotehan kecil Aksara. Dia membuka laci meja lalu melemparkan beberapa lembar kertas yang telah dijilid rapi.

Tatapan bingung dari Aksara berhasil ia tutupi. Aksara menunggu penjelasan dari Romi saja. Ia tak mau terlihat tertarik pada bisnis gila papanya.

"Pelajari saja dulu. Walaupun Papa tau, tanpa kamu belajar pun kamu sudah mahir melakukannya." Deg! Entah kenapa kalimat itu menusuk untuknya. Apa Romi tau sesuatu tentang jati dirinya yang lain? Mana mungkin!

"Hanya karena Aksara anak Papa, bukan berarti Aksara ahli."

Romi berdecak santai. Bergabung dengan Aksara sembari menyesap marijuana. "Putraku ini pintar sekali mengalihkan. Baiklah, pelajari saja dulu."

"Karena cepat atau lambat semua ini akan beralih ke tanganmu juga," ujar Romi.

'Gak sudi!' teriak Aksara dalam hati. Cuman membatin yang bisa Aksara lakukan.

"Ah ya, bagaimana soal gadis yang selalu bersamamu itu? Apa kalian punya hubungan?"

Gerakan Aksara terhenti beberapa detik. Pikirannya langsung menjurus pada Audrey. "Tidak ada gadis yang sepenting itu," balas Aksara cepat. Tak ingin Romi bertindak lebih jauh.

"Apa kamu yakin? Papa dengar, kalian selalu bersama akhir-akhir ini. Apa kamu yakin tidak memiliki hubungan penting dengannya?"

"Aksara udah baca semua." Menutup proposal tersebut. Menatap Romi tak senang. "Jangan sentuh dia, Pa."

Bibir pria itu bergerak membentuk seringai seram sukses membuat kedua tangan Aksara mengepal kuat. Audrey tidak ada hubungannya!

Bukan berbicara soal perasaan, namun kemanusiaan. Audrey tak ada sangkut paut sama masalahnya jadi Aksara rasa gadis itu tidak perlu terlibat karena sejak awal Aksara memang membawanya tapi bukan untuk menghadapi Romi.

"Audrey Adeline Lilien, juara umum dua periode, anak emas dan kebanggaan SMA Merpati. Anak tunggal, tujuh belas tahun—"

"Sejauh apa Papa cari tau tentang dia?" potong Aksara cepat. Darahnya berdesir hebat. Emosinya telah mencapai pucuk kepala sampai mendidih rasanya.

Romi lalu menepuk pundak Aksara yang tingginya tak jauh berbeda. "Jagalah dia sebisamu, Aksa. Tidak perlu dari orang lain, cukup jaga dia dari Papa."

Tanpa rasa bersalah, pria itu pergi. Membekaskan kekhawatiran di benak Aksara. Tidak! Gadis itu tak boleh jatuh ke tangan Romi. Audrey dalam bahaya saat ini.

"Brengsek!!" desis Aksara.

Tak tau mengapa? Tapi rasanya Aksara tidak terima kalau ada yang membawa-bawa nama gadis itu dalam masalah. Ada gejolak amarah yang begitu besar dan ketidakrelaan ketika nama indah Audrey keluar dari mulut orang yang menurutnya tidak pantas mengucapkan itu.

'Jaga diri selama gue ngga ada, cewe cengeng. Walaupun Aksara benci sama lo tapi cowo permen engga. Dan cowo permen bakal lindungi lo sebisanya.' batin Aksara menunduk dalam.

☆☆☆

Sehari berlalu. Sekarang Audrey berada di belakang markas, duduk di ayunan sambil memandangi kolam ikan. Beberapa waktu tanpa Aksara ternyata cukup sepi.

Ya ... Tapi tenang juga.

Hanya saja hari ini berbeda. Biasanya Audrey sudah adu mulut sama cowok itu, kadang juga tubuhnya terasa lemas tak berdaya saking takutnya sama Aksara.

AKSARA [HIATUS SEMENTARA]Where stories live. Discover now