Bentang Semu

6 1 0
                                    

Kata orang, jarak adalah salah satu ancaman bahaya bagi persona yang tengah menjalin romansa. Kata orang pula, sela adalah awal dari retaknya sebuah jalinan rasa. Jangka membuat apa yang ada tak lagi sama. Karena dalilnya, tidak semua orang mampu mempertahankan apa yang ia punya ketika cela itu masih terbentang nyata. 

Aku termasuk orang yang beruntung. Kisahku, tidak semenyedihkan jiwa di luaran sana yang harus menanti waktu luang untuk kembali memadu asmara. Aku masih mampu melihat satu-satunya orang yang membuatku seperti penderita aritmia.

Aku masih bisa tersenyum diam-diam, kala netra milikku dan miliknya saling bersitatap. Bahkan, aku kuasa untuk sekadar mendengarkan segala keluh kesahnya. Iya. Aku dan dia memang sedekat itu. 

Biar kuperkenalkan sosok itu. Namanya, Naka Mahesa. Dia adalah salah satu pemain basket ulung di sekolah. Aku menyukai segala tentangnya. Senyumnya, wajah dengan lesung pipinya, caranya berbicara, gaya rambutnya, cara ia memanggilku 'Nara', tingkahnya, keramahannya, kecintaanya pada bola. Semuanya. 

Aku bahkan, merasa seperti remaja beranjak dewasa yang tengah dimabuk asmara ketika sedang bersamanya.

Sejujurnya, yang kusayangkan hanyalah cara semesta mempertemukan kita. 

Saat ini, aku sedang menunggu Naka menuntaskan kegiatan berenangnya sebab, hari ini adalah akhir pekan. Akhir yang baik untuk mengawali kegiatan bersenang-senang. Dari atas balkon kamar, aku mengamati lekukan tubuhnya yang tengah meliuk-liuk melawan arus air.

Tak jauh dari sana, pandanganku menyapu pada seorang perempuan dengan bayi di gendongannya. Orang itu mamaku. Perempuan yang telah melahirkanku. Sementara itu, seorang pria yang kukenali sebagai ayah baruku duduk di sampingnya.

Berteman dengan segelas kopi, ia menyerukan namaku untuk turut bergabung bersama. Aku pun turun, bersamaan dengan Naka yang ternyata telah siap dengan aktivitasnya. Aku berjalan mendekati kursi, sementara mama, mendekati Naka untuk memberikan handuk pada anak laki-laki yang resmi menjadi anaknya sejak dua tahun lalu.

Sekarang kalian paham, 'kan? Alangkah indahnya jenis keberuntungan dari semesta untukku? 

Tepukkan di bahu membuat senyumku praktis terbit mengarah pada Naka. Aku tak perlu memanggilnya kakak. Sebab, sudah jelas kami sepadan umur. Tanggal lahirku dan dia jatuh di waktu yang sama. Tak hanya itu, golongan darah, makanan favorit, dan pemain bulutangkis andalan kami juga sama.

Kami sekolah di tempat dan kelas yang sama. Naka duduk di belakangku dan aku di depannya. Nomor absen kami pun berurutan. Lebih-lebih, kebiasaan kami untuk memakan telur sebagai penutup ketika memakan nasi goreng, jua sama. Tetapi, mengapa aku merasa masih sangat jauh dengan dirinya?

Tangisan bayi yang kuketahui adalah adikku memecah tawa di antara kami, ralat, tidak termasuk aku, karena sedari tadi hanya sibuk melamun. Kulirik Naka yang tengah mengusap-usap kepala bayi mungil itu sambil sesekali memberikan candaan hingga berhasil menerbitkan senyum sampai tawa bahagia. Hingga kini aku masih berpikir, apakah pilihanku sudah tepat atau tidak. Karena, yang kupikir awalnya, aku akan bahagia bukannya malah sesak di dada.  

Sekali lagi atensiku teralih sebab suara yang kukenali dan akhir-akhir ini kuantipati terdeteksi oleh indraku. Benar saja, Alila datang dengan senyum cerianya. Gadis berambut panjang sebahu itu menyalimi mama dan papa. Dia cantik, sungguh. Bukannya sombong, aku bisa saja tampil lebih darinya karena aku memang memadai, namun, harus kuakui, mayapada nampaknya lebih berpihak pada Alila.

Tangan yang tadi sempat menepuk pundakku, terpampang tengah merangkul dara yang kini berstatus sebagai kekasihnya. Dalam hati, dibalik membuncahnya rasa kecewa, ada secercah rasa syukur yang terselip. 

Akhirnya, seorang Naka Mahesa dapat bangkit melawan rasa sakitnya ditinggal Nara Rinjani. Iya. Dia berhasil mengganti semua kenangan tentang aku dan dia lewat adanya Alila Soebardi. Keputusanku membahagiakan mama ternyata tak salah.

Naka berhasil menampik rasa yang dulunya hanya untukku beralih menjadi sepenuhnya milik Alila. Aku tahu, dari dulu, dia memang yang terhebat. Tidak sepertiku, pengecut yang diam-diam masih saja memendam. 

Dari Naka, aku menjadi paham. Jarak bukanlah apa-apa dibanding jalan Tuhan lewat semesta. Intensitasku bertemu dengannya mungkin tak perlu hitungan jari sebab, pasti terlampaui. Namun, ketika kadar tidak menginginkan kami untuk bersama, aku bisa apa? 

Meraung-raung pun tak akan mengubah apa yang telah terjadi. Sekarang, aku sadar, apa yang bukan milik kita akan kembali ke asalnya. Sejauh apa pun jarak yang ada, sesuatu yang sudah sepantasnya milik kita, pasti akan kembali pada masanya. 

--------END--------

Catatan Penulis:

Cerita ini ditulis di tahun 2019. Iya, sudah lama hehe. Semoga kalian terhibur dengan tulisan yang tidak seberapa ini. Terima kasih sudah membaca ^-^

Tertanda, 

𝑺𝒖𝒏𝒔𝒕𝒊𝒕𝒄𝒉

Bentang SemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang