21• Hujan dan Hal Yang di Simpan

Start from the beginning
                                    

Semakin derasnya hujan turun, semakin erat juga genggaman yang lelaki itu beri. Entah sejak kapan dingin itu berubah menjadi hangat. Dan tangis yang sedari tadi luruh, kini seakan menyurut.

Hingga ujung bibirnya terangkat tipis, ketika melihat lelaki itu melompat-lompat dengan beberapa anak-anak. Shaqueen hanya tersenyum, meski Jevian tidak akan pernah mengetahuinya. Sebab, hujan terlalu deras dan menyamarkan senyum tipisnya.

"Cin, ayo gabung!" ajak Jevian, yang masih sibuk lompat-lompat dengan anak-anak.

Shaqueen hanya menggelengkan kepalanya. "Nggak ah, lo aja," tolaknya.

"Lo harus ngerasain hujan-hujanan gini sama para bocil, seenggaknya satu kali dalam hidup. Lo tahu karena apa?" tanya Jevian, yang di balas gelengan oleh Shaqueen. "Ya, karena ini seru banget gila! Jadi ayo ah, lo nggak boleh nolak!"

Dan Shaqueen kalah. Lagi-lagi ia mengikuti ke arah mana Jevian membawanya pergi. Namun, kali ini Jevian tak membawanya berlari seperti tadi. Tetapi, lelaki itu kembali membawa tangan Shaqueen yang satu lagi untuk ia genggam. Shaqueen hanya terdiam, menahan debar jantungnya yang tiba-tiba berdegup kencang. Shaqueen memalingkan wajahnya ke arah lain. Tetapi, Jevian justru kembali membawa wajah gadis itu tepat sejajar dengan wajahnya.

"Katanya mau main sama anak-anak tadi. Terus kenapa lo bawa gue kesini?" tanya Shaqueen sembari menetralkan diafragmanya.

Jevian hanya tersenyum, dan menggelengkan kepalanya. "Nanti kapan-kapan aja. Gue sengaja bawa lo kesini," sahutnya. "Sekarang udah sepi, lo bebas buat teriak di sini. Lo nggak perlu nggak enak sama orang-orang karena di sini cuma ada kita berdua," sahut Jevian.

Shaqueen hanya mengerutkan keningnya heran. "Nggak ah, ngapain harus teriak?" tanyanya.

"Biar ngurangin beban."

"Nggak ngaruh."

"Belum juga di coba!"

"Ya, emang nggak mau nyoba."

"Ayolah, serius deh, teriak sambil hujan-hujanan tuh bisa buat suasana hati jauh lebih baik."

"Gue bilang enggak, ya, enggak!"

Jevian hanya mengembuskan napasnya pasrah. "Yaudah."

Melihat raut wajah Jevian yang muram, Shaqueen justru terkekeh pelan. Karena tak ingin lelaki itu kecewa, ia segera menarik napasnya cukup panjang. Mengumpulkan segudang keberanian untuk berteriak dan menumpahkan segala sakitnya.

"BUNDA, SHASA KANGEN BUNDA. BUNDA KAPAN PULANG?" teriak Shaqueen dengan tiba-tiba. "NGGAK ADA BUNDA, DUNIA SHASA RASANYA BERHENTI BERJALAN. AYO PULANG, BUN. SHASA MOHON!" Lalu di detik itu juga tangisnya kembali tumpah ruah.

Jevian masih geming, ia tak berbicara apa pun setelah gadis itu berteriak dengan raut yang begitu putus asa. Jevian tidak tahu, bahwa gadis yang menyebalkan itu menyimpan luka yang hampir sama dengannya—kehilang sosok ibu. Jevian paham, bagaimana perasaan Shaqueen sekarang, maka ia lebih memilih diam dan memperhatikan bagaimana gadis itu meluapkan segalanya dengan harapan—semoga bisa sedikit lebih baik. Meski pada nyatanya, tidak pernah ada yang bisa baik-baik saja perihal kehilangan.

"Lihat Bun, Shasa hujan-hujanan. Bunda nggak mau omelin Shasa? Ayo omelin Shasa lagi Bun! Shasa rindu di omelin Bunda. Dulu, Bunda selalu jadi orang terbawel di rumah. Apalagi, kalo Shasa sama bang Rama bandel mandi hujan-hujanan kayak gini. Pasti Bunda akan berkacak pinggang, sambil nunggu di depan pintu buat ngomelin kita berdua."

Dengan suara yang kian memelan, Shaqueen berusaha meremat dadanya sekuat yang ia bisa. Memukulnya beberapa kali berharap sesaknya akan segera reda, namun ternyata tidak. Bayangan kepergian bunda masih menjadi bagain terburuk dalam hidupnya.

JevianWhere stories live. Discover now