Lima

259 44 3
                                    

Aku menyibak tirai jendela kamar untuk melihat sumber keramaian di luar. Rumah depan tak lagi kosong. Temboknya telah dicat putih bersih, halamannya dihiasi beberapa jenis tanaman. Riuh oleh tawa, hangat oleh keakraban. Tak kutemukan refleksi diriku yang muram dan kesepian dari rumah itu lagi. Dan aku jadi berandai-andai, bisakah suatu saat nanti hidupku juga riuh dan hangat seperti suasana rumah itu kini?

Kututup kembali tirai sebelum Mas Emran keluar kamar mandi. Kemudian aku bergegas turun ke lantai bawah untuk menyiapkan sarapan.

Di dapur bisa kudengar suara tawa para ibu yang bergerombol di tukang sayur. Biasanya tukang sayur tak pernah berhenti di depan rumah ini karena aku tak berlangganan belanja. Sejak rumah depan berpenghuni, banyak hal yang berubah, padahal baru beberapa hari mereka tinggal di sana.

"Ada apa di luar? Kok, rame?" tanya Mas Emran begitu muncul di dapur tepat saat aku meletakkan gelas susu miliknya di meja.

"Orang belanja."

Dia mengernyitkan dahi sambil menarik kursi. "Biasanya nggak ada."

Aku ikut duduk. "Rumah depan udah ada yang sewa, jadi tukang sayur berhenti di situ. Ibu-ibu yang lain keluar ikut belanja juga. Rame jadinya."

"Kok, kamu tahu banget?" Dia menatap dengan penuh selidik. Seketika aku menyesal menjawab apa adanya. Seharusnya kukatakan tak tahu saja.

"Ini perumahan, Mas. Suara mereka ketawa aja tembus sampe ke sini, kalau Mas duduk di ruang tamu atau berdiri di teras, Mas bisa dengar obrolan mereka. Dari situ aku tahu." Sudah terlanjur bicara panjang lebar sebelumnya, jadi sekalian saja kujelaskan.

Dia mengangguk-angguk. "Makanya kupasang peredam di kamar," balasnya sambil tersenyum nakal.

Aku seketika berdiri meninggalkan meja makan, beralasan ingin membuat susu untuk diri sendiri. Malas saja pagi-pagi dia sudah bicara tentang urusan kamar. Meski sebenarnya aku sambil duduk atau tidak, dia bisa saja terus membahas karena meja makan dan dapur berada dalam satu ruangan.

Aku sedang menganduk isi gelas saat kurasakan leherku seperti digelitik. Nyaris saja isi gelasku tumpah karena aku terperanjat. Spontan aku berbalik dan terperangkap di antara tangan Mas Emran. Tadi dia meniup leherku lalu mengecup singkat. Kini mata kami bertemu tatap.

"Jangan keluar rumah, ya. Aku nggak suka." Peringatannya membuatku tertegun karena tumben sekali dia mengingatkan dengan cara lembut.

Seperti terhipnotis oleh tatapan dan suara pelannya, aku otomatis mengangguk tanpa merasakan apa-apa. Maksudku, biasanya tiap kali dia mengucapkan peringatan, jika tidak kesal, maka aku akan merasa terintimidasi. Namun, kali ini tak ada efek apa pun.

"Istri pintar." Dia tersenyum lembut lalu mengecup keningku sebelum akhirnya menarik diri menjauh. "Ngantor dulu, ya, Sayang. Nanti pulang kerja, kita nonton. Aku dapat rekomendasi beberapa judul dari teman."

Aku termangu-mangu melihat sikapnya. Ini adalah Mas Emran di awal pernikahan, penuh kelembutan dan hangat. Entah apa yang membuatnya kembali pada setelan awal. Aku sama sekali tak mengerti.

Ketika dia sudah menghilang dari balik pintu rumah, aku baru beranjak dari dapur, membawa gelas susuku ke kamar. Inilah yang kerap aku kerjakan setiap kali lelaki itu berangkat kerja, duduk di balik jendela menikmati kebebasan yang sebenarnya tak bebas-bebas juga.

Kusibak kembali tirai gorden setelah menempatkan kursi di balik jendela. Saat duduk di sana, aku baru menyadari Mas Emran belum pergi. Dia masih berdiri di luar pagar, berbicara dengan salah satu wanita berdaster yang mengerumuni tukang sayur. Aku tak bisa mendengar suara mereka. Biasanya saat duduk di sini, kubuka jendela sedikit agar suara dari luar bisa menembus masuk. Setidaknya bisa membuatku sedikit merasa tak kesepian. Namun, kali ini aku belum berani kecuali Mas Emran sudah pergi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

POSESIF Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang