Dua

196 53 9
                                    

Dicumbu setelah disakiti bukanlah hal yang mengherankan lagi bagiku. Awalnya kukira itu cara Mas Emran memperbaiki hubungan kami setelah kemarahannya yang membabi buta, caranya meminta maaf atas sikapnya. Namun, ternyata aku salah. Di lain kesempatan dia mengulanginya lagi dan lagi, menutup kekasarannya dengan sentuhan seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa. Dan itu membuatku muak. Aku membencinya hingga ke saraf nadi.

Aku menikahinya bukan atas dasar cinta. Namun di awal pernikahan aku menemukan perasaan yang berbeda setelah hidup bersamanya. Merasa disayangi dan dibutuhkan, aku diperlakukan selayaknya tuan putri. Perlahan aku melihatnya dengan cara yang berbeda, benih-benih cinta mulai bertunas. Sayangnya, tunas itu belum sempat bermekaran karena terpangkas oleh sebuah tam-paran.

Biar kuberitahu alasannya menamparku saat itu.

Kami baru tiga bulan menikah dan tinggal di rumah ini sebagai warga baru. Aku tak tahu persisnya untuk keperluan apa, kepala lingkungan sini mengunjungi kami. Saat itu aku muncul di ruang tamu untuk menyajikan suguhan dan meluncurlah pertanyaan dari lelaki berkumis itu. Mau tak mau aku ikut duduk untuk menanggapi pertanyaannya.

Singkat cerita, sebelum berpamitan, kepala lingkungan sempat melontarkan pujian pada Mas Emran, tentang pintarnya memilih isi rumah termasuk soal pemilihan istri. Dan kepulangan lelaki berperut buncit itu menjadi awal petaka bagiku.

Aku melihat Mas Emran masuk setelah mengantar tamunya hingga ke luar. Tiba-tiba saja toples kudapan di tanganku ditampelnya. Wadah beling itu pecah, isinya berhamburan.

Aku terbeliak kaget lalu secara spontan meninggikan suara. "Apa-apaan, Mas?"

Bukan penjelasan, tapi sebuah tamparan yang dia berikan.

Aku berdiri kaku dengan wajah tertunduk, merasakan kebas di pipiku.

"Sekali lagi ada tamu laki-laki dan kamu ikut nemuin, kupa-tahkan lehermu." Dia tak melontarkan anca-man dengan suara keras, tapi setelahnya dengan sengaja menabrak tubuhku saat akan melangkah masuk. Gerakan spontanitas itu membuatku terhuyung dan menginjak pecahan toples. Bahkan ketika aku mengaduh, dia sama sekali tak peduli.

Aku mulai membereskan pecahan beling sambil menangis. Luka di kaki bisa kuabaikan, sakit di pipi perlahan berkurang, tapi rasa cinta di hatiku yang baru seujung kuku seketika menghilang. Dan malamnya tanpa kata maaf, dia minta dilayani seperti biasa.

Aku memaafkannya, berpikir mungkin dia hanya khilaf. Namun, kekerasan itu terjadi lagi di lain waktu karena aku menolak bicara dengannya. Saat itu aku menyadari bahwa aku tak bisa merajuk seperti perempuan lain karena akan berakhir remuk.

Kala itu, aku tak mendapatkan tam-paran. Dia mendorongku cukup keras karena membuang muka hingga aku terjungkal dan membentur pinggir lemari. Perlakuannya itu membuatku mendapatkan memar di pelipis dan aku memutuskan pulang ke rumah Ibu.

"Kalau suami marah, pasti itu karena istri berbuat ulah." Komentar kakak iparku saat aku mengadu sambil menangis dan mengatakan telah mendapatkan kekerasan dari Mas Emran.

Tanpa bertanya rinci, tanpa mau mendengar lebih, aku langsung dihakimi. Terlebih setelahnya Mas Emran datang mengemis maaf dan mengatakan tak ada kesengajaan untuk menyakitiku. Aku kembali dibawanya pulang.

"Jangan datang ke sini mengharap dikasihani, Han. Bebanku sudah banyak. Lagian rumah ini sudah penuh, nggak ada tempat buat kamu," pesan Kak Mona sebelum aku pergi. Dan aku seketika sadar, mereka yang kusebut keluarga tak bisa kujadikan tempat pulang.

Tak berselang lama kemudian, ibu jatuh sakit karena serangan stroke. Aku makin tak bisa berkutik menghadapi Mas Emran karena tiap kali aku mengancam akan meninggalkannya, maka dia akan bilang, "Kamu mau pulang? Pulanglah sana kalau kamu pengen ibu dibungkus kain kafan."

***

"Ini untuk ibu."  Mas Emran menyodorkan sebuah amplop putih kepadaku dan aku langsung menerimanya.

Sejak ibu sakit, Mas Emran rutin memberinya tunjangan setiap bulan. Sebelumnya, ibu tak pernah mau menerima sepeserpun dari anak dan menantunya karena ibu masih kuat bekerja. Untuk kebaikan Mas Emran yang satu ini aku tak akan menafikannya. Bahkan saat ibu butuh perawatan, Mas Emran juga tak perhitungan dalam mengeluarkan uang. Dia membantu sebaik yang dia bisa. Dan ibu menyayangi Mas Emran bukan seperti menantu melainkan layaknya anak lelaki yang tak pernah beliau miliki.

Padaku, Mas Emran juga tidak pelit. Setiap bulan setelah gajian, dia selalu mengajakku berbelanja segala kebutuhan rumah. Tanpa mempermasalahkan total belanja, Mas Emran justru akan marah jika ada satu dua barang yang terlupa. Dia tak suka kalau aku harus ke warung dekat sini untuk memenuhi apa yang kurang dan terlupa itu. Jadi, aku harus mencatat semuanya dengan teliti dan sempurna.

Apa yang kuminta dia berusaha untuk memberikan tapi jumlah uang yang kupegang tidaklah banyak. Semua pengeluaran seperti sudah dia hitung dengan seksama.

"Boleh kuberikan uangnya ke ibu pagi ini?"

Mas Emran mengernyit. "Aku harus kerja."

"Mas bisa nurunin aku di pangkalan angkot. Nanti jemput setelah pulang kerja. Aku pengen di rumah ibu agak lama. Ya?" Aku bergelayut pada pinggangnya. Kalau bukan ada mau, aku tak akan melakukan ini.

Senyumnya mengembang. "Nanti sore aja. Oke?"

Aku berusaha menahan wajah agar tak cemberut karena bisa dipastikan senyuman Mas Emran akan berubah menyeramkan. Perlahan aku menarik tangan ingin menjauh darinya, tapi Mas Emran menahan. Dia justru mengeratkan pelukan.

"Jangan memelukku cuma kalau ada maunya." Dia menatapku lekat dan jujur saja nyaliku mulai gentar.

"Bukan gitu. Mas kan harus kerja, nggak mungkin aku nempel terus kayak lintah."

Dia tersenyum lagi lalu membiarkanku lolos dari pelukannya. Kemudian kami keluar kamar beriringan. Dia sarapan, aku menemani sembari menyiapkan masakan untuk makan siang dan malam.

Selama ini, Mas Emran tak pernah mengijinkan aku pergi ke rumah ibu tanpanya. Dia juga selalu berada di sekitarku. Sangat tak mungkin bagiku untuk bercerita lebih privasi kepada ibu. Jika ada kesempatan aku hanya mengobrol berdua, maka Mas Emran akan menginterogasi tentang isi pembicaraanku dengan ibu.

"Nanti kita ke rumah ibu lagi hari Minggu kalau kamu pengen di sana lebih lama," ucapnya sebelum berpamitan kerja.

Aku hanya mengiyakan dengan malas. Tak ada gunanya lama atau sebentar jika tetap ada dia. Ini bukan masalah durasi, melainkan aku ingin keluar tanpa dia menyertai.

Sepeninggal Mas Emran, aku membuka amplop pemberiannya untuk ibu. Selama ini aku selalu mengurangi isinya. Bukan bermaksud mencuri bagian ibu, tapi aku butuh tabungan agar bisa segera pergi dari tempat terkutuk ini.

Kuambil sebagian lalu kusimpan dalam pot-pot bunga plastik yang tersebar di rumah ini. Aku tak menemukan tempat aman lain, karena pot-pot bunga palsu ini tak akan pernah Mas Emran sentuh. Untuk apa? Dia tak tertarik pada hiasan.

Setelahnya, aku mengambil pigura bergambarkan sendok dan garpu yang tergantung di dinding dapur. Di baliknya aku menempelkan satu strip pil KB yang baru bisa kuminum jika Mas Emran telah berangkat kerja. Jangan tanya bagaimana aku meminumnya saat dia libur dan berada di rumah, biasanya aku harus bergerak cepat ketika dia sedang di kamar mandi.

Aku menekan satu pil keluar. Saat akan memasukkan ke mulut, suara dari belakang membuat jantungku berlompatan.

"Ngapain, Han?"

Aku meremas bungkus pil itu lalu berbalik cepat. "M-mas ... Bu-bukannya sudah berangkat?"

Alih-alih menjawab, dia justru mengulurkan tangan. "Apa itu?"

Matilah aku!

POSESIF Where stories live. Discover now