Empat

176 42 4
                                    

Aku mengenal Mas Emran tanpa sengaja. Dulu dia datang ke rumah mengantar kain milik ibunya untuk dijahitkan oleh ibu. Kebetulan ibu sedang keluar saat itu, jadilah aku yang menemuinya.

Kami terlibat obrolan biasa saja. Aku hanya bertanya-tanya seputar kain yang dia bawa, adakah pesan khusus tentang pakaian yang akan dijahitkan serta kurun waktu yang mungkin diminta lebih cepat. Tak ada sama sekali pembicaraan yang bersifat personal hingga sebuah pertanyaan meluncur dari mulutnya.

"Kamu anak Bu Tin yang ke berapa?"

"Kedua."

Pertanyaan ini kerap kuterima dari pelanggan ibu yang datang. Jadi, kuanggap hanya sebagai basa-basi.

Dia mengangguk-angguk. "Sudah menikah?"

Aku mengernyit lalu menggeleng.

Sudah, setelahnya dia berpamitan dan kami tak bertemu lagi hingga dia kembali datang mengantar ibunya mengambil hasil jahitan. Saat itu pun kami sama sekali tak berbincang-bincang. Hanya sekadar menyapa seadanya.

Esoknya, ibu tiba-tiba bercerita bahwa Bu Desi--Mama Mas Emran--bertanya apakah aku sudah ada yang punya. Jika belum, dia ingin meminangku untuk anaknya.

Aku terkejut bukan main, tapi tak sempat berkata apa-apa karena setelahnya ibu sibuk menceritakan tentang Bu Desi dan keluarganya. Karena sudah berlangganan lama, ibu cukup kenal wanita itu bahkan seringnya saat ingin menjahit baju, Bu Desi tak langsung pulang, melainkan mengobrol panjang dahulu.

Saat itu aku tak mengiyakan, juga tak menolak. Hanya kubilang pada ada ibu, aku ingin bertemu lelaki itu sekali lagi sebelum memberikan jawaban. Ada yang ingin kutanyakan.

"Mas sama sekali nggak mengenal saya, kok, bisa-bisanya mau ngajak nikah?" tanyaku di pertemuan kami kemudian.

Dia menatapku dalam dengan pembawaan tenang. Tak ada tanda-tanda grogi yang kutangkap dari gelagatnya, sedangkan jantungku seakan-akan melompat-lompat di dalam sana.

"Kita punya waktu seumur hidup untuk saling mengenal," sahutnya.

"Bukan seperti itu harusnya."

"Lalu kamu mau gimana? Pacaran? Saya nggak mau pacaran. Buang-buang waktu." Dia menjawab sedikit emosional kali ini.

"Mas pernah dikecewakan perempuan?"

Dia tersenyum tipis. "Ya, dulu. Jagain jodoh orang. Buat apa pacaran lama lalu ditinggalkan saat dia ketemu orang baru. Kalau langsung nikah, sudah pasti yang saya jaga jodoh sendiri."

Jawaban aneh menurutku, tapi masuk akal.

"Kok, yakin banget kita berjodoh?"

Dia tersenyum lebih lebar. "Ada tanda dari Tuhan."

"Hah? Maksudnya?"

Tanda apa? Aku tak mengerti.

"Biasanya Mama nggak pernah nyuruh saya untuk urusan begini. Biasanya saya juga nggak mau disuruh urusan yang berhubungan dengan ibu-ibu. Kemarin saya langsung mengiyakan dan langsung ke sini. Itu tanda yang pertama."

"Lalu?" Apa yang istimewa dengan kesediaannya memenuhi suruhan ibunya, bagiku itu hal yang lumrah. Ada saatnya kita menerima saja melakukan sesuatu yang tak biasa.

"Ingat waktu saya tanya kamu udah nikah atau belum?" Pertanyaan itu kujawab dengan anggukan. "Itu pertanyaan spontanitas. Saya aja kaget kenapa tiba-tiba nanya gitu. Makanya setelah nanya, saya diam. Karena merasa aneh," jelasnya. "Berhari-hari saya kepikiran kamu, jadi saya sampaikan aja ke Mama dan Mama menanggapi dengan suka cita. Rasanya itu tanda dari Tuhan kalau kamu bukan sekadar orang yang saya temui secara random untuk dilupakan."

Jawabannya kali ini sukses membuatku tertegun lama dan merasa cukup untuk tak lagi bertanya.

Sementara, dia tersenyum sangat manis. Sama sekali tak pernah terpikir di balik senyum menawan itu, ada wajah iblis yang dia sembunyikan.

***

Pada akhirnya, Mas Emran ikut duduk bersama kami di ruang tamu. Wajahnya sama sekali tak melukiskan keramahan saat bertanya, "Kok Mama masih di sini? Betah banget." Dia bicara pada ibunya, tapi matanya melirikku.

Jika boleh kuartikan dengan sok tahu, lirikan itu seolah-olah berkata, "Sudah ngadu apa aja kamu?"

Aku menolak menatapnya lama-lama, memilih menunduk, menyembunyikan wajah.

"Mama nggak masalah kalau kalian belum mau punya anak. Mama nggak nodong cucu. Kan sudah ada dari kakak kamu." Ucapan Mama yang terlalu to the point itu justru membuatku makin menciut.

Mas Emran cuma diam. Aku meliriknya, dia dengan santai mengambil kue di meja lalu melahapnya.

"Dengar nggak, Em?" desak Mama.

"Hmm," sahut lelaki itu acuh tak acuh.

"Jangan cuma ham-hem ham-hem aja, Em. Awas, ya, kalau kamu marah sama Hania."

Ancaman Mama itu justru ditanggapi dengan tawa. Hanya tawa kecil tapi sukses membuatku merinding.

"Mama serius, Emran," tegas Mama dengan nada bicara tak main-main.

"Nggak masalah soal anak, aku nggak suka dibohongi," sahut Mas Emran dengan nada datar dan terkesan dingin.

Mulutku mendadak terasa pahit. Bagaimana caranya aku bisa bicara jujur pada suami yang tak bisa diukur suasana hatinya.

Mama terdiam. Dan diamnya Mama membuatku mendongak menatapnya. Jika Mama tak lagi bersuara untuk membelaku, ke mana lagi aku bisa berlindung?

Mama menghela napas berat. "Pokoknya Mama nggak mau tahu. Ingat-ingat kata-kata Mama, Em!" tutupnya.

Mas Emran diam lalu tak lama Mama berpamitan. Aku mengikuti ibu mertuaku, sedangkan Mas Emran memilih tak mengantar. Di teras, aku tak melepas tangan Mama setelah bersalaman. Aku enggan ditinggalkan berdua dengan anaknya, tapi aku tak bisa mengatakannya secara gamblang.

Mama meremas pelan tanganku seolah-olah mengalirkan kekuatan. "Jangan khawatir. Mama yakin Emran nggak akan marah. Mama kenal anak Mama."

Aku ingin bilang, tidak! Mama tak mengenal anaknya. Mama tak tahu kalau ada monster dalam diri lelaki itu. Namun nyatanya, aku melepaskan Mama pergi juga meski rasanya batinku menggigil ketakutan.

Saat memasuki rumah, aku bisa merasakan tatapan dingin Mas Emran sedang tertuju padaku. Setelah menutup pintu depan, aku beranjak mendekatinya.

Menjauh? Menghindar? Bukanlah solusi. Jika Mama sudah membuka jalan dengan mengancam, maka aku akan meneruskannya dengan menaklukkan.

Mas Emran terkejut saat aku duduk di pangkuannya. Namun, hanya sebentar, wajah itu lekas kembali datar.

"Aku minta maaf," ucapku dengan segenap keberanian untuk menatapnya, terlebih cara Mas Emran menatapku belum juga melembut.

"Aku masih pengen berduaan aja sama kamu. Tapi nggak berani bilang karena takut kamu nggak sepemikiran."

Dia masih diam, raut wajahnya belum ada perubahan.

Sial. Nyaliku mulai gentar. Jika terus begini, aku tak yakin semua akan berakhir baik.

Berpikir, Hania! Berpikir!

"Aku mau kita punya banyak waktu tanpa tangisan anak dulu." Aku menarik lepas kaus atasanku. Mas Emran terkejut lagi, kali ini wajahnya tak langsung berubah kaku. Dia terlihat menunggu apa yang akan kulakukan selanjutnya.

"Dan kamu ....." Aku menarik lepas kaus Mas Emran dan dia menurut begitu saja. "Masih punya banyak stok lilin yang harus dihabiskan."

Dia tertawa, hilang sudah raut monster di wajahnya. Tak menunda, kali ini aku yang melumat duluan.

Adakalanya aku harus menggadaikan tubuh demi satu kata : selamat.

***

POSESIF Where stories live. Discover now