Satu

396 66 14
                                    

POSESIF

"Nggak semua laki-laki suka sama aku! Memangnya aku secantik apa, hah!" teriakku sembari menatap nyalang pada Mas Emran karena sudah muak dengan sikap cemburu butanya. Untuk pertama kalinya aku memberanikan diri.

Wajah itu tampak murka, tangannya bergerak cepat. Belum sempat aku berkelit, rambutku ditariknya dengan keras. Aku terpekik seiring dengan kepala yang terdongak. Aku tak menangis, tapi mataku basah karena menahan rasa sakit.

"Sudah berani teriak kamu sekarang, ya." Dia tak meninggikan suara, tapi nada bicaranya terdengar seperti ancaman.

Tanganku bergerak mencengkeram pergelangan tangannya. "Lepaskan," desisku. Mungkin beberapa helai rambutku sudah terlepas dari kepala.

Dia tak menggubris, justru semakin mempererat tarikan yang membuatku kembali meringis. "Gimana kalau kucongkel aja matanya saat dia ke sini bulan depan?"

Gila! Ingin kuteriakkan kata itu padanya, tapi mungkin akar rambutku akan terlepas semuanya. Jadi kukatakan, "Putus aja listriknya, kamu bisa pakai lilin untuk menerangi rumah."

Dia menyeringai, perlahan helai-helai rambutku dia lepaskan "Benar juga, kita bisa makin mesra dan lebih banyak di kamar," ujarnya lalu tertawa. Tak tahu saja dia kalau kata-katanya itu sungguh membuatku mual.

Sedetik kemudian, tawanya lenyap dan kini kedua pipiku dijepitnya dengan satu tangan. Matanya kembali berkilat marah. "Katakan!" bentaknya. "Apa saja yang kamu lakukan dengan lelaki tengik itu kalau aku nggak ada di rumah?!"

Aku menggeleng dengan susah payah karena dia menahan wajahku. "Aku bahkan nggak tahu bulan lalu dia atau bukan yang datang periksa meteran listrik. Mereka bukan cuma satu orang dan aku nggak pernah keluar," sahutku apa adanya, meski mungkin tak langsung dipercaya.

Biasanya Mas Emran sudah berangkat kerja tiap kali petugas PLN mengecek meteran. Naas, hari ini dia izin berangkat lebih siang, dan aku tak pernah mengingat setiap tanggal berapa listrik diperiksa. Hanya karena petugas itu berpamitan sembari tersenyum setelah melakukan pengecekan dan aku membalasnya, monster dalam diri Mas Emran terbangunkan. Entah dosa apa yang pernah kulakukan di masa lalu sampai-sampai takdir menjebakku dengan lelaki sakit jiwa ini.

"Jangan bohong!" bentaknya.

Aku kembali menggeleng. "Sumpah!"

Dia melepaskan pipiku dengan kasar hingga aku terdorong beberapa langkah ke belakang. "Kita bahas lagi nanti, aku hampir terlambat kerja sekarang." Kemudian dia merapikan kemeja yang telah melekat di tubuhnya sembari beranjak keluar dari kamar.

Aku tak perlu repot-repot mengantar, karena dia pasti akan mengunci pintu rumah dan pagar tanpa diminta. Seolah-olah aku ini adalah harta berharga yang bisa dicuri oleh siapa saja saat dia tak ada. Meski begitu, dia tetap memberiku kunci lain untuk digunakan.

Begitu pintu ditutup, aku terduduk di tepi ranjang. Berusaha menenangkan diri sendiri atas apa yang barusan terjadi. Jantungku memacu cepat, rasa sakit di kepala bekas jambakan tadi masih tersisa, tapi tak setetes air mata pun yang keluar. Aku hanya duduk diam, mengatur pernapasan. Mungkin kelak, entah kapan, napas ini pun tak bisa lagi terhela. Haruskah aku bertahan hingga mati di tangannya?

Tentu saja aku tak mau, tapi aku tak berdaya. Mas Emran membuatku bergantung penuh padanya. Jangankan bekerja, bergaul dengan para tetangga pun aku tak diizinkan, kecuali untuk acara perkumpulan yang rutin diadakan setiap bulan.

Aku tak bisa mendengar suara motor Mas Emran dari dalam sini. Jadi untuk memastikan dia sudah berangkat atau belum, aku harus beranjak menuju jendela. Kusibakkan tirai putih tipis yang tak pernah boleh dibuka jika lelaki itu berada di rumah. Dari baliknya bisa kulihat deretan rumah tetangga. Beberapa menit berdiri di balik jendela ini, tak juga kutemukan Mas Emran keluar, artinya dia memang sudah tak ada.

POSESIF Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt