Tiga

193 46 4
                                    

Aku menelan ludah dengan susah payah seolah-olah ada yang mengganjal tenggorokan. Masih berdiri kaku di tempat, berbagai macam pikiran tumpang tindih di kepalaku. Tentang penjelasan yang harus kuberikan dan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi sebentar lagi.

"Dengar dulu penjelasanku, ya, mas." Akhirnya kutemukan kembali suaraku yang sempat hilang ditelan rasa takut.

"Berikan." Tatapan mata Mas Emran begitu dingin menghujam.

Aku menyodorkan tangan dengan gemetaran. Air mata sudah berkumpul di pelupuk mata tapi kutahan agar tak keluar.

"Sejak kapan?" Setelah memastikan benda apa yang diterimanya, Mas Emran kembali menatapku dingin.

Aku tak langsung menjawab, jika jujur maka mungkin ini akan menjadi hari terakhir aku hidup sehat. Jika berbohong pun tak ada jaminan aku selamat.

"Ba-baru, kok," sahutku dengan suara bergetar. "Liat aja baru beberapa pil yang kosong."

Bohong! Jelas aku berbohong.

"Jangan mempermainkan aku, Hania!" Diucapkannya penuh penekanan meski suaranya masih pelan.

Aku menggeleng cepat. "Sumpah! Aku beli waktu kita ke apotek tempo hari. Ingat, kan? Waktu itu kamu lagi nerima telepon, makanya nggak tahu aku beli apa aja."

Tuhan memaafkan kebohongan demi menyelamatkan diri, bukan?

Dia melangkah maju, aku sontak mundur. Namun sayang, punggungku sudah mentok dengan meja dapur. Saat tangannya terangkat, aku spontan menutup wajah dengan tangan. Namun, suara dering ponsel membuat tangan Mas Emran tak sampai ke wajahku.

Sial sekali. Bagaimana bisa aku tak menyadari kalau ponsel yang tergeletak di meja makan itu adalah milik Mas Emran. Tipe ponsel kami memang sama, karena terlalu fokus dengan kegiatanku tadi sampai-sampai aku lengah. Padahal tadi aku sudah memastikan bahwa Mas Emran telah pergi.

Dia mengacungkan ponselnya ke arahku setelah mematikan nada dering. "Akan kubuat perhitungan nanti," ancamnya. "Mana ponselmu?"

Aku tak mengulur waktu, langsung kutunjukkan di mana aku menaruh ponsel lalu dia mengambilnya. Aku membiarkan dia pergi keluar dan baru menyusul saat menyadari dia mengunci rumah menggunakan kunci milikku. Itu artinya aku terkurung di sini.

"Mas!" Aku berteriak sambil membuka paksa gagang pintu. Sementara Mas Emran sudah melangkah keluar pagar. Dengan frustrasi aku memukul daun pintu lalu merosot duduk di lantai.

"Aaargh!" jeritku. "Sial! Sial!" Aku membenturkan kepala ke daun pintu di belakangku. "Hidupmu sial, Hania ...." gumamku di tengah tangisan.

Tak lama menangis, kemudian aku terdiam. Pikiranku serasa kosong hingga ingatan tentang bagaimana pil itu kudapatkan kembali terlintas.

Bukan baru-baru ini, aku sudah mengonsumsi pil itu selama beberapa bulan. Kurasa Tuhan sedang ingin menolongku saat itu. Di suatu pagi ketika sedang membuang sampah, aku menemukan kartu SIM tergeletak di tanah. Aku mengutipnya lalu mengeceknya di ponsel. Nasib baik, kartu SIM itu masih aktif. Aku menyimpannya entah untuk apa.

Selama ini, Mas Emran selalu mengecek ponselku. Dia juga menyadap WhatsApp dan rutin memeriksa isi sosial mediaku. Sejak menikah, semua akses komunikasi dengan orang luar sudah aku hentikan demi menghindari rasa sakit yang bisa kudapatkan. Namun, kartu SIM itu seperti memberiku harapan baru.

Setiap bulan saat aku menghadiri acara arisan rutin dengan ibu-ibu sekitar sini, aku mengaktifkan nomor itu. Berbekal aplikasi WhatsApp yang kuunduh dan kudaftarkan dengan nomor baru itu, aku bisa memesan ojek online untuk membelikanku pil-pil itu tanpa Mas Emran tahu. Aku juga bilang iuran bulanan yang harus dibayar lebih banyak dari nominal semestinya. Mas Emran tak mungkin mengecek pada tetangga, untuk yang satu ini aku aman juga.

Namun, kali ini bisakah aku selamat setelah dia menemukan fakta atas apa yang aku sembunyikan? Mengingat itu, aku kembali menangis ketakutan.

"Tuhan ... kalau hidupku masih lama, tolong jangan biarkan laki-laki itu menyentuhku kali ini. Tolong, Tuhan," pintaku sembari terisak-isak. "Tapi kalau waktu yang kupunya cuma sebentar, ambil saja. Ambil segera. Jangan biarkan aku menderita lama-lama, Tuhan." Lalu aku menangkup wajah melanjutkan tangisan. Sebelum-sebelumnya aku belum pernah setakut ini karena Mas Emran tak pernah mengurungku begini.

Cukup lama aku duduk di lantai hingga terdengar suara pagar dipukul dari luar. Aku bergeming. Mau apa lagi? Siapapun yang datang itu, tak bisa kuijinkan masuk. Karena aku sendiri tak berdaya apa-apa.

"Hania!" Teriakan terdengar. Aku segera beranjak. Suara itu sangat familiar.

Aku membuka jendela kecil di samping pintu. "Mama? Itu Mama?"

"Iya, buka pagarnya." Suara Mama itu membuat air mata yang sudah berhenti keluar kembali menggenang.

"Nggak bisa, Ma. Mas Emran bawa kuncinya," balasku masih dengan berteriak. Setelahnya aku tak mendengar tanggapan Mama.

Berselang lima belas menit, kulihat pagar terbuka. Aku berdiri segera, menunggu pintu rumah juga dibuka. Begitu Mama muncul di hadapanku, aku langsung memeluknya erat.

"Keterlaluan Emran. Mama suruh dia antar kuncinya pakai ojol. Katanya dia nggak sengaja bawa kunci yang ini karena buru-buru," omel Mama sambil membalas pelukanku.

Aku tak mengoreksi kata-kata Mama. Bukan begini caraku mengadu. Jadi aku tetap diam, mengurai pelukan, membiarkan Mama melangkah masuk menuju dapur. Aku mengikutinya seperti orang linglung.

Mama meletakkan kantong kresek yang dibawanya, sementara aku duduk di kursi makan memperhatikan wanita itu membongkar isi bawaannya.

"Mama bawa kue, ayo, cobain." Dia menggeser kotak berisi brownies ke hadapanku.

Aku tak bergerak hanya menatap kue-kue berwarna cokelat itu. Mama tahu kue ini adalah kesukaanku, tapi untuk sekarang aku tak punya selera untuk makan.

"Kalian ada masalah?" Mata Mama menatap penuh selidik.

Aku balas menatapnya dengan pandangan mulai berkaca-kaca. "Mama nginep, ya?" pintaku dengan suara serak.

Mama meraih tanganku, membolak-baliknya lalu melakukan pada tangan satunya lagi. "Ada yang sakit?"

Aku menggeleng. Anaknya memang belum menyentuhku tadi. Tubuhku belum sakit, tapi mentalku sudah babak belur.

"Mama nginep, ya?" pintaku lagi.

"Mau cerita?"

Belum bicara, air mataku lebih dulu bekerja. Bukannya mengadu, aku justru menangis terisak-isak. Sementara Mama dengan tabah menunggu tangisku reda.

"Hania belum mau punya anak dulu, Ma...." Suaraku tersendat karena tangisan. "Hania KB diam-diam karena takut Mas Emran nggak setuju. Tadi Mas Emran marah karena tahu."

Mama menghela napas lalu menepuk-nepuk pelan punggung tanganku. "Biar nanti Mama bicara sama Emran."

Dulu ketika kupikir keluargaku bisa kujadikan tempat berlindung, aku kecewa karena mereka ternyata menolakku. Sedangkan bicara pada ibu mertua, aku tak punya nyali. Hingga suatu hari saat Mas Emran mengamuk, tiba-tiba saja ibunya datang berkunjung. Saat itu aku tak bisa mengadu apa-apa, aku hanya menangis sejadi-jadinya di hadapan Mama dan menempel padanya tak mau jauh. Tanpa bertanya, Mama memarahi putranya habis-habisan. Bahkan mengatakan akan membawaku tinggal bersamanya jika Mas Emran terlalu keras padaku lagi.

Aku tahu betul Mas Emran tak akan mau tinggal bersama orang tuanya. Di rumah itu tinggal juga adik lelakinya dan pada adiknya itu pun Mas Emran cemburu.

Seingatku setelah ibunya memberi peringatan, Mas Emran tak lagi kasar. Saat dia marah, maka pintu, meja, lemari, atau benda apapun di dekatnya akan jadi tempat pelampiasan. Sampai pada beberapa hari yang lalu dia kembali kambuh karena cemburu pada petugas PLN.

Hampir jam lima sore, Mas Emran tiba di rumah. Mama langsung menyuruhnya mandi, sementara wanita itu menyuruhku membuatkan teh untuk dihidangkan bersama kudapan yang dia bawa.

"Mama nggak bisa menginap, tapi Mama akan bicara sama Emran."

Ucapan itu seketika membuatku kembali merasa terancam. Jika Mama pergi nanti, aku tak benar-benar yakin bisa tetap aman. Dulu Mas Emran menahan emosi karena aku tak melakukan kesalahan, berbeda dengan sekarang.

POSESIF Where stories live. Discover now