"Rifah, kamu tenang ya. Besok aku ke sana. Kamu jangan berpikir macam-macam dulu."

"Kamu kan yang memberikan video itu ke media?" tuduhku sengit.

"Aku tidak akan menjelaskan sekarang. Besok aku ke sana. Jangan khawatir, aku ada buat kamu."

"Halah!"

Dengan menahan tangis aku mematikan ponselku.

"Sari...." Cik Susi memanggilku.

Berbeda dengan anaknya yang bahkan tak perduli, mantan majikan itu kini meraihku ke dalam pelukannya. Wanita berkulit kuning langsat itu mengatakan beberapa kalimat penghiburan untukku.

****
"Bapak sebaiknya kita amankan kemana ya, Nduk? Setiap hari ada saja yang datang."

Aku menenggelamkan kepalaku ke meja. Dasar orang-orang tak punya otak!

"Ke rumah Bulek Wulan saja, ya Nduk?"

Itu bukan usul yang bagus karena aku yakin para pencari berita itu akan mengejarku kemanapun aku pergi.

"Bu, Apa ibu senang kalau Sari sama Wira?"

Ibu menatapku.

"Ibu senang kalau kamu senang, Nduk."

"Tapi ibu terlihat bahagia sekali kalau ada Wira."

Wajah ibu nampak terkejut.

"Piye to, Nduk? Ibu biasa saja. Kalau ibu tahu masalahnya akan seperti ini, ibu nggak akan setuju dengan rencana Cik Susi."

"Ibu, maaf. Sari berkali-kali membuat Bapak dan Ibu dalam masalah lagi."

Ibu seketika merangkulku. Wanita itu mengelus rambut dan mengecup kepalaku berkali-kali.

   Ketika malam datang, mataku tak juga mau terpejam. Video penelantaran Bapak sudah tersebar kemana-mana. Dan mungkin sekarang video itu sudah di edit menjadi meme bahkan video jedag jedug.

Aku tak yakin kalau pelaku penyebar video itu adalah El. Bahkan untuk menuduh teman-temannya yang pernah bertemu denganku beberapa bulan lalu aku tak ada bukti. Mereka sudah menghapusnya! Dan aku melihatnya sendiri.

Di kala keruwetan terus mengitari kepalaku, aku teringat dengan cerita El malam itu. Cerita yang membuatku tak mampu untuk berkata apapun setelah tahu sisi lain seorang Rafael.

Flashback

    Sementara malam terus merangkak aku tidak sadar kalau pemilik senyum dan mata indah itu sedari tadi menggenggam jemari tanganku. Dia memainkan jari-jari itu dengan sentuhan tangannya yang lembut.

Aku masih menunggu dia berbicara walaupun sebenarnya sudah tidak sabar. Bagaimanapun sekarang kami tengah berada di tempat umum walaupun tersembunyi dan tidak terlihat dari ruangan lain, bisa saja ada orang lewat atau apa yang tiba-tiba datang dan aku tidak mau ada kesalahpahaman.

"Kamu kurusan ya?"

Kalimat itu terdengar lembut di telingaku. El sejak dulu memang selalu lembut berbicara walaupun terkadang kata-katanya kadang menyakitkan.

"Kamu mau ngomong apa sebenarnya?"

El yang kini berada tepat di belakangku itu sedikit menegang tubuhnya. Rangkulannya mengurai setelahnya.

"Kamu tahu dari mana soal asal usulku?"

Aku sengaja memutar tubuhku menghadapnya.

"Bisa nggak sih, kamu langsung to the poin saja kalau mau cerita? Nggak usah nanya apapun ke aku. Yang mau cerita itu kamu."

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang