Asumsi Sena

1.8K 296 21
                                    


Satu bogem mendarat di rahang Jendra kala baru saja dia keluar dari kantor. Sore itu dia bermaksud hendak mengajak Renata pulang ke kediaman mereka setelah berdebatan yang cukup alot dengan sang isteri.

Namun, siapa sangka jika Dirga datang lagi melanjutkan urusan yang siang tadi tidak selesai. Tempat parkir yang sepi sore itu membuat Dirga leluasa menghajar Jendra.

"Kalian salah kalau menganggap dengan melakukan ini semua lantas aku setuju menandatangani surat itu!" tutur Jendra seraya mengusap rahangnya.

"Kamu sedang mempersulit diri sendiri, Tuan! Lebih baik akhiri saja semua dengan satu tanda tangan!" Dirga menyodorkan map yang berisi berkas perceraian itu.

Jendra naik pitam mendengar ucapan Dirga. Tanpa memikirkan akibatnya, dia membalas pukulan pria itu dengan pukulan serupa dan mendarat tempat yang sama.

Tertawa sinis, Dirga mengejek, "Pukulannya lumayan juga! Punya sabuk apa kamu?"

Tak memedulikan pertanyaan pria itu, Jendra membuka pintu mobil, tetapi gagal karena kembali Dirga memukul dengannya dari samping dengan cepat sehingga Jendra kehilangan kendali dan jatuh terduduk.

"Masih belum mau tanda tangan juga?"

Menahan sakit di bagian lengan, Jendra memberi isyarat agar map itu diberikan padanya.

"Bagus! Dengan begini tugasku selesai!" ucap Dirga seraya menyerahkan berkas ke tangan Jendra.

Pria yang terduduk itu perlahan bangkit. Menarik napas dalam-dalam, dia membuka map dan mengambil surat yang ada di dalamnya.

"Aku sudah bilang, kan? Aku nggak akan pernah melakukan apa pun untuk ini!" Suaranya terdengar tegas dan berat.

Menyeringai, Jendra merobek surat tersebut hingga menjadi serpihan kertas yang kemudian beterbangan tertiup angin.

"Tugasmu selesai, Tuan Tukang Pukul!" pungkasnya bergegas masuk ke mobil saat Dirga tengah terkejut melihat kertas itu sudah menjadi potongan-potongan kecil.

**

Sena tertunduk lesu membiarkan cerca yang datang padanya lewat mulut Romi. Papa Renata itu benar-benar dibuat pusing dengan kejadian yang sebenarnya. Dia bahkan berulang-ulang harus menahan tangannya untuk tidak melayang yang kedua kalinya ke pipi Sena.

"Kamu! Kamu sama berengseknya dengan dia! Kamu pria bodoh yang seharusnya sudah sejak dulu aku jauhkan dari anakku! Sekarang kamu datang dan bualan baru seolah-olah ada kesengajaan di masalah ini! Apa maumu, Anak Muda?"

Sena masih menunduk, dia menarik napas dalam-dalam kembali mencoba meyakinkan jika apa yang dia katakan itu adalah hal yang sebenarnya terjadi.

"Om, saya sudah jelaskan yang sebenarnya, dan itu bukan bualan saya. Saya bicara yang sesungguhnya bahwa Dea anak dari rekan kerja Om-lah yang jadi otak dari kekisruhan ini. Saya bicara sebenar-benarnya, Om," papar Sena meyakinkan.

Romi menatap tajam ke pria yang tengah duduk di depannya itu. Dea bukan nama baru di telinganya, dia tahu siapa Dea. Namun, ada hal yang masih belum bisa dia pahami mengapa harus sampai sedalam ini masalahnya.

"Menurut Dea, Om-lah yang menyebabkan keluarnya hancur dan bangkrut. Om juga yang membuat masa depannya berantakan," imbuhnya.

Pria paruh baya itu menarik napas dalam-dalam. Yang dia tahu, Dea adalah teman dekat puterinya dan anak dari Guntur yang baru saja meninggal dunia. Romi kembali merunut peristiwa apa saja yang pernah terjadi antara dia dan Guntur. Sejenak Romi menoleh ke Sena lalu memiringkan kepalanya seraya berkata, "Jadi Dea yang membuat semua skenario malam itu?"

Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang