Pernyataan

1.6K 290 19
                                    

Jendra tersenyum tipis, jelas dari ekspresinya tampak terpaksa.

"Mama telepon aku tadi," ujar Jendra tanpa ekspresi.

Dari pernyataan suaminya, Renata paham jika Jendra ke tempat ini atas permintaan Ana.

"Makasih sudah datang," tuturnya disambut anggukan Jendra.

"Mama senang lihat kalian bersama seperti ini. Semoga kalian terus saling sayang satu sama lain dan kami segera diberikan cucu. Bukan begitu, Mbak Diah?" Ana tersenyum lebar menoleh ke Diah lalu kembali ke Jendra dan Renata.

"Aamiin. Iya, itu adalah kebahagiaan dan keinginan setiap orang tua seperti kami. Melihat keluarga anaknya tenang dan itu tadi, memiliki cucu," timpal Diah.

Mereka berdua tertawa bersama. Sementara Jendra sama sekali tak terlihat menikmati obrolan tersebut. Berbeda dengan Renata, dia menanggapi meski hanya dengan senyum tipis.

"Ehem, Ma."

"Iya, Jendra?"

"Mama Diah juga Mama, bukannya kami tidak mau memberikan kebahagiaan untuk orang tua, tapi Mama lihat sendiri bagaimana Renata dan Jendra masih sibuk dengan urusan masing-masing, jadi kami sepakat untuk menunda untuk memiliki anak." Jendra menoleh ke istrinya. "Iya, kan, Renata?" tanyanya menatap dalam-dalam.

Sang istri tersenyum getir lalu mengangguk cepat. "Iya."

Kedua perempuan paruh baya itu terlihat heran dan kecewa mendengar ucapan Jendra. Terlebih Ana, perempuan berwajah ramah itu tampak gusar.

"Kalian serius mau menunda dapat momongan?" tanya Ana.

"Iya, Ma. Kami masih punya banyak pekerjaan dan kesibukan," jawab Jendra menatap lalu lalang orang yang datang dan pergi di acara bakti sosial itu.

Ana menggeleng.

"Anak itu rezeki. Kalau kalian menundanya itu sama artinya dengan menunda rezeki kalian!" cetusnya menatap tajam ke Jendra.

"Mama, coba Mama bayangkan, Jendra sama Renata sibuk terus kami punya anak. Bisa dibayangkan kasihan anak kami nanti. Mama papanya sibuk kerja dan beraktivitas sementara anak terlantar nggak keurus. Kan kami juga yang nanti salah, Ma," dalihnya panjang lebar.

"Nggak! Mama nggak setuju dengan pikiran kamu! Renata pasti tahu kapan dia berhenti berkegiatan kalau udah ada anak. Iya, kan, Renata?"

"Iya, Ma," sahutnya masih dengan senyum.

Diah tampak tidak nyaman dengan perdebatan menantu dan besannya itu. Istri Romi itu seperti mengerti arah pembicaraan yang dimaksud suami anaknya. Dia merasa Jendra masih tidak bisa menerima sepenuhnya kondisi Renata. Itu yang Diah bisa simpulkan.

"Eum, Mbak Ana. Nggak ada salahnya juga kita pahami kesepian mereka berdua, tapi semua itu, kan, atas kehendak Tuhan. Kalau Tuhan berkehendak segera memberi keturunan untuk mereka, walaupun mereka punya rencana lain, ya, mereka bisa apa, betul nggak?" tuturnya menengahi.

Tampak Ana berpikir. Sementara Jendra masih dengan ekspresi datar.

"Jadi, apa pun yang mereka sepakati kita hormati saja. Toh semuanya Tuhan yang punya kuasa, kan?" imbuhnya.

Wajah mama dari Rajendra itu terlihat sedikit cerah setelah mendengar perkataan besannya. Dia lalu mengangguk sepakat.

"Iya juga sih. Betul apa kata Mama Diah, Jendra. Apa pun yang nanti terjadi soal anak dan semua rencana kalian, itu semua hak Tuhan yang menentukan." Senyum Ana mengembang seraya menatap Diah dia berkata, " Begitu, kan, Mbak?"

Renata yang sejak tadi menyimak obrolan mereka akhirnya menghela napas lega.

Mereka berempat kemudian kembali berbaur ke riuh acara siang itu. Ana dan Diah memilih ke tempat berbeda dengan Renata juga Jendra.

"Aku ke sini bukan karena ingin tahu apa kegiatanmu!" ujar Jendra saat berada di salah satu meja yang menyediakan minuman segar.

"Aku paham. Terima kasih sudah menyenangkan Mama Ana dan mamaku," balas Renata seraya menyodorkan segelas air lemon dingin ke suaminya. "Air lemon bagus diminum di cuaca terik seperti ini," tuturnya.

Jendra menatap tajam lalu mengucapkan terima kasih.

"Aku pikir ideku nggak buruk, kan?" tanya Jendra saat Renata duduk di kursi tepat berhadapan dengannya.

"Ide yang mana?"

"Tentang cucu untuk mereka," jelasnya kemudian meneguk minuman segar yang diberikan sang istri.

Renata menaikkan alisnya kemudian mengangguk.

"Iya. Terserah kamu aja. Bahkan nasib pernikahan ini pun tergantung padamu," tegasnya.

Jendra menatap tajam Renata saat mendengar penuturannya.

"Kenapa? Kamu mau aku menyudahi pernikahan ini?" tanyanya tampak kesal. "Jangan berpikir semudah itu, Renata! Ini bukan tentang perasaanku, tapi tentang bagaimana aku bisa membuat Mama bahagia. Itu aja!"

Nyeri, itu yang dirasakan Renata. Kalimat lugas dari pria di depannya itu benar-benar membuktikan jika sama sekali Jendra tidak pernah memiliki perasaan apa pun terhadapnya. Meski dia sudah bisa paham dan mengerti tentang itu, tetapi mendengar langsung dari mulut suaminya adalah pukulan yang semakin membuat rapuh.

"Aku tahu." Renata menarik napas dalam-dalam. "Tapi aku punya perasaan, Mas. Aku bukan tembok yang bisa kamu perlakukan semaunya."

"Yang menganggap kamu tembok siapa? Aku rasa aku sudah memperlakukanmu dengan baik. Jika dirasa belakangan ini kamu tidak nyaman itu karena aku kecewa."

Mereka berdua sejenak saling diam. Renata mencoba terus menata hati dan perasaannya. Terus berusaha menunjukkan jika dirinya perempuan yang tidak seperti dipikirkan sang suami.

"Aku berada di tempat yang salah dan sama sekali bukan seperti perempuan yang kamu pikirkan! Jadi tolong, berhenti memiliki prasangka buruk padaku, Mas!"

Jendra menyeringai.

"Aku nggak peduli itu. Setiap orang punya hak membela diri, termasuk kamu! Itu urusanmu."

Kembali dia meneguk minuman miliknya hingga tandas.

"Mas terlalu menyudutkanku seolah cuma aku yang punya masa lalu yang menurut Mas buruk. Apa Mas nggak punya masa lalu? Atau apa sepanjang hidup Mas selalu baik?" tanya Renata.

"Aku nggak perlu menjawabnya!" jawab Jendra. "Jadi sampai kapan kita di sini? Aku harus segera pergi dan itu harus bersamamu," imbuhnya mengalihkan pembicaraan.

"Mas pergi aja duluan. Nggak perlu bareng aku juga, kan?"

"Ck! Aku nggak mau mendengar penolakan kali ini!"

"Kalau Mas nggak mau mendengar penolakan, aku juga nggak mau mendengar kalimat paksaan!" Renata mencoba tegas meski hatinya berdebar khawatir.

**

Disempurnakan Cinta (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang