Goodbye Memory Ke-17!

Bắt đầu từ đầu
                                        

"Gak, makasih."

"Omah masih di Jerman, kan?"

"Sok tau."

"Kalo ikut ke sini pasti Mami dikabarin," balas Maminya yang langsung menutup perlawanan Dewa. "Omah kan gak ikut, terus nggak ada yang ngurus kamu di sini. Yaudah tinggal sama Mami aja, ya?"

"Trus emang Mami bisa ngurus aku, gitu?"

"Dewa, kamu mungkin lupa satu hal, bahwa semua yang terjadi sepuluh tahun yang lalu nggak lagi sama dengan hari ini. Semua orang bisa berubah. Sekarang Mami bukan seperti orang gila di sepuluh tahun yang lalu. Mami udah sadar, udah bisa ngurus kamu dengan benar kayak waktu kamu dan Dewi masih kecil dulu."

"Jangan berani-beraninya sebut nama Dewi!" geram Dewa dengan mata melotot.

"Dia anak Mami juga, Dewa."

"Lebih tepatnya anak yang Mami dan Papi bunuh!"

Maminya nyaris menangis lagi, namun ditahan. "Iya, terserah kamu mau bilang apa. Yang penting Mami udah mengakui kesalahan dan mencoba berubah. Dan kali ini Mami nggak akan lepasin kamu lagi untuk yang kedua kalinya. Sekalipun berjuta-juta kali kamu maksa, Mami tetep nggak akan biarin kamu pergi lagi. Mami nggak mau kehilangan kamu lagi. Walaupun harus dengan cara apapun, Mami akan tetep bikin kamu tinggal sama Mami lagi. Tolong kasih kesempatan buat Mami lagi, Dewa. Setelah kamu pergi sepuluh tahun yang lalu, Mami nggak pernah lewatin satu hari pun tanpa mikirin kamu. Setiap hari Mami selalu dihadang rasa penyesalan, dan kangen banget sama kamu. Tolong jangan biarin Mami ngerasain hal itu lagi setelah nanti kamu pergi lagi. Tolong, Dewa."

Dewa melirik lagi. Tajam. Kesal dan jengah. Rasanya berbedat pun tak akan ada ujungnya jika Maminya sudah bertekad seperti itu. Tangan Maminya lalu disingkirkan dari tangannya.

"Oke, aku emang bakal tinggal di Indonesia lagi, tapi bukan untuk tinggal sama Mami."

"Kamu mau tinggal sama siapa lagi selain Mami?"

"Mami pikir aku gak mampu beli tempat tinggal sendiri? Mentang-mentang selama ini aku selalu disokong Omah?"

"Bukan gitu maksud Mami. Kamu kan cuma punya Mami di sini. Papi kamu udah nggak tinggal di Bogor lagi. Trus kalo kamu nggak tinggal sama Mami, siapa lagi yang mau ngurusin kamu?"

"Emang Mami pikir siapa yang selama ini ngurusin aku? Aku udah biasa ngurus diri sendiri, kali."

"Dewa, tolong dong kamu jangan begini."

Dewa berdecak. "Ya trus Mami mau gimana, sih? "

"Mami maunya kamu tinggal sama Mami lagi."

Sambil melengos, Dewa bergumam malas, "ribet!"

Maminya menghela napas, tatapannya sendu lagi. "Kenapa nggak mau, sih?"

Dewa diam sejenak. "Emang siapa yang nempatin rumah ini?" tanyanya.

"Kamu mau tinggal di sini?" Maminya langsung antusias.

"Siapaaa??"

"Mami."

"Sendiri?" selidik Dewa.

"Bareng suami Mami, adik kamu dan semua asisten rumah tangga kita dulu."

"Adik?"

Maminya mengangguk sambil tersenyum. "Baru aja Mami jemput pulang sekolah."

Saat bingung dengan kening berkerut, tiba-tiba Dewa mendengar suara mungil yang berasal dari balik kaca mobil belakang yang terbuka.

"Mami, come on, dooong!"

Suara mungil itu membuat Dewa memutar kepalanya dan terpaku seketika. Wajah cantik yang menyembul keluar dari kaca mobil itu tengah cemberut melihat ke arah mereka berdua. Rambutnya yang diikat satu di belakang menjuntai ke badan mobil, anak rambutnya berkibar berantakan di pangkal keningnya.

"Ishh, Mamiiiii!"

Bocah perempuan itu akhirnya turun dari mobil menghampiri Dewa dan Maminya. Dengan langkah menggemaskan, dia berjalan sambil memperhatikan Dewa dengan ekspresi lucu. Setelah berhenti di samping Maminya, gadis kecil itu kembali mendongak menatap Dewa lebih saksama.

"Mamiiiiii, ini Aa Dewa, ya?" ujar gadis kecil itu dengan suara mungil.

Maminya pun mengangguk sebagai jawaban.

"Aa Dewa ternyata beneran gantenggg!! Kata Mami, Aa kuliah di Jerman, ya? Jerman itu sejauh apa, sih, dari Bogor?" oceh gadis kecil itu lagi.

"Kamu....?" Dewa tak mampu berkata-kata. Wajah dan suara gadis kecil ini benar-benar membuat hatinya remuk. Mengingatkannya dengan satu sosok di masa lalu; adiknya, almarhumah Dewi. Dulu waktu Dewi masih kecil, wajahnya persis seperti ini. Rambut panjang yang selalu diikat, senyum cantik dengan gigi yang belum rata, dan mata cokelat seperti mata miliknya. Dewa masih ingat betul.

"Iya," ujar Maminya sambil membelai kepala gadis kecil cantik itu. "Ini adik kamu."

Deg!

Refleks, Dewa langsung berlutut. Matanya berkaca-kaca memandangi adik cantik di hadapannya ini. Lewat sosok di depannya ini, Dewa seolah merasa Dewi hidup kembali. Dewa seperti dibawa ke masa-masa dulu saat dia dan Dewi masih seusia ini.

Dulu, saat hidup mereka amat bahagia.

"Aa boleh peluk gak?" tanya Dewa dengan suaranya yang parau. Bahkan di tengah pertanyaannya, Dewa sempat meneguk air liurnya sejenak.

"Sureee! Kata Mami kalo dipeluk orang asing jangan mau, tapi Aa Dewa kan bukan orang asing." Gadis menggemaskan itu melebarkan tangannya, senyumnya manis sekali. "So you can hug me."

Dewa pun tersenyum dan langsung menarik tubuh mungil adiknya itu ke dadanya. Dipeluk sangat erat seiring dengan tangisnya yang tiba-tiba mengalir. Di dalam dadanya, ada perasaan perih dan bahagia yang bergumul menjadi satu. Rasanya hangat. Sehangat rindunya pada sosok Dewi.

Rasa syukur tak henti dia ucapkan dalam hati, bahwa Tuhan seperti sedang memberinya kesempatan kedua diberi seorang adik cantik yang harus benar-benar dijaganya. Agar kejadian belasan tahun silam tidak lagi terulang.

"Mami... tolong jangan buat nasibnya sama kayak Dewi lagi. Aku mohon," lirih Dewa di sela-sela tangisnya.

Pemandangan di depannya ini ikut membuat Maminya menangis. Sama seperti Dewa, Maminya pun punya rasa rindu dan bersalah jauh lebih besar kepada sosok Dewi. Maminya pun merasa Tuhan juga seperti memberinya kesempatan kedua untuk merawat anak cantik sebagai pengganti Dewi.

"Mami janji," jawab Maminya sambil terisak.

Setelah cukup puas memeluk adiknya, Dewa menjauhkan tubuhnya sembari menghapus bekas-bekas airmata. Ketika wajahnya sudah bertatapan lagi dengan wajah cantik adiknya yang nampak kebingungan, Dewa tersenyum, kedua tangannya meremas lembut dua bahu adiknya.

"Adik cantiknya Aa Dewa ini namanya siapa?" tanya Dewa lembut.

"Kenalan dulu ya...," kata adiknya seraya menyodorkan tangan kanannya yang segera disambut oleh Dewa. "Kenalin, nama aku Aurelie Durgha. Panggil aja Aurel. Jangan pernah panggil aku Durgha kalo bukan Siwa!"

"Hahahahaha!" Dewa bahagia, sudah 100% yakin kalau mereka memang sedarah.

*****

Bạn đã đọc hết các phần đã được đăng tải.

⏰ Cập nhật Lần cuối: Jan 31, 2023 ⏰

Thêm truyện này vào Thư viện của bạn để nhận thông báo chương mới!

Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ