Goodbye Memory Ke-16!

Start from the beginning
                                        

"Permisi... Nando..." Dewa memanggil untuk kesekian lagi, tetapi belum ada yang menyahut sama sekali.

"Aa, cari siapa?"

Ibu-ibu pemilik warung di seberang rumah Nando akhirnya bertanya dengan logat sunda-nya.

Dewa membalikkan badan dan tersenyum. "Kalo rumahnya Nando bener yang ini, kan, Bu?"

"Bener yang itu," jawab si ibu. "Tapi mah gak ada orang kayaknya, Nando-nya pan kerja, adik-adiknya sekolah, bundanya di laundry depan."

"Oh, Nando udah kerja, ya," gumam Dewa.

"Mau dianter ke laundry si bunda?"

"Gak usah deh, Bu, nanti malem saya ke sini lagi aja. Makasih, ya," jawab Dewa sambil mengangguk sopan dan melangkah pergi keluar gang itu dengan tatapan penasaran dari ibu-ibu yang masih membuntutinya hingga di ujung gang.

Bingung tak punya tujuan, Dewa memilih untuk berjalan kaki sepanjang jalan raya yang dulu sering dilewatinya kala berangkat dan pulang sekolah. Enam tahun ditinggal, lumayan banyak perubahan pada gedung dan ruko di pinggir jalan ini, tapi tetap tidak membuat Dewa lupa dengan kenangan enam tahun lalu. Ketika mobilnya melaju dengan atap terbuka bersama Maura, mengenakan seragam sekolah menjemput Nando. Seminggu tiga kali mampir di SPBU samping toko listrik, dan dua minggu sekali mencuci mobil setelah pulang sekolah di carwash teman nongkrong Dewa yang di depannya sering jadi tempat mangkal tukang mie ayam dan es kelapa kesukaan Maura.

Dewa ingat betul titik-titik kenangan di jalan raya ini, karena baginya itu terasa seperti baru kemarin. Setelah sadar dari koma yang membawanya kembali pada ingatan masa-masa tahun 2008-2009, bersama Maura.

Setelah kira-kira satu kilometer berjalan, Dewa berhenti di sebuah konter pulsa yang dulu juga pernah beberapa kali didatangi bersama Maura. Dewa bahkan masih ingat wajah penjaga konter itu.

"Cari apa, A'?" tanya si penjaga konter pada Dewa, yang ternyata bukan sosok yang ada di ingatan Dewa.

"Emm... minta SIM card baru dong."

"Provider apa?"

Dewa menyebutkan provider yang dulu pernah digunakannya saat di Indonesia. Lalu penjaga konter itu mengambil dua mika tatakan kartu SIM dan diletakkan di atas etalase agar dapat dipilih oleh Dewa. Sambil memilih deretan angka yang membuatnya tertarik, Dewa bertanya lagi pada penjaga konter.

"Teteh yang pake kerudung udah gak jaga di sini lagi?"

"Yang mana, A'?"

"Yang pake behel itu, lho."

"Gak tau saya A', baru juga saya di sini, baru enam bulan," jawab laki-laki ceking itu sambil nyengir.

Dewa menunjuk satu nomor yang paling menarik hatinya di antara lainnya. "Oh, udah lama juga sih terakhir saya ke sini, tahun 2008-an."

"Waduh, udah lama banget, atuh. Itu saya mah masih SD malah, hehe."

Dewa ikut tertawa kecil lalu mengeluarkan uang dari dompet. Satu hal lagi membuatnya sadar; bahwa dia sudah terlalu lama kembali.

"Nomernya mau sekalian diregistrasi?"

"Boleh. Langsung di HP saya aja."

"Siap."

***

Di teriknya langit Bogor yang minim awan, Dewa turun lagi dari ojek lalu melepas helm. Sekali lagi, dia mengeluarkan selembar seratus ribuan untuk diberikan pada supir ojek tanpa kembalian.

"Kebanyakan atuh ini A' orang cuma deket doang," kata bapak-bapak ojek pengkolan.

"Yaudah biar jauh, Mamang muter-muter sini dulu aja baru narik lagi."

"Ah, si Aa mah yang bener, atuh."

"Udah, ambil aja, Mang. Bukannya sombong nih beneran saya gak ada uang yang lebih kecil lagi tuh liat." Dewa memperlihatkan isi dompetnya yang sebagian masih ada uang Jerman-nya.

"Waduh ada dollar segala eta."

"Bukan, ini euro. Mamang mau?"

"Ah, enggak, buat apaan di sini nggak laku."

"Pajang aja di dompet, anggep aja pancingan. Siapa tau besok dompetnya bisa keisi euro semua."

Supir ojek itu tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Duit monopoli palingan juga. Ah, yaudah ini makasih ya A' didoakeun semoga rezekinya makin deres."

"Doain cepet ketemu jodoh juga, Mang."

"Emang belom?"

"Belom, nih, susah banget ditemuinnya."

"Yaudah lah, jodoh mah gak usah dicari ntar juga dateng sendiri."

Dewa tertawa. "Kalo datengnya bawa undangan gimana atuh, Mang?"

"Ya berarti jodoh di akhirat."

Tinn... Tinn...

"Astaghfirullahaladzim, gusti!"

Suara klakson mobil di belakang mereka sampai mengejutkan supir ojek itu. Dewa pun ikut menoleh dan memandangi sedan merah yang berhenti di belakang mereka. Matanya memicing untuk bisa mengintip sosok pengemudi mobil, namun sayangnya kaca mobil sangat gelap.

Berbarengan dengan terbukanya pintu pagar besar di sampingnya berdiri, pintu belakang mobil merah itu juga ikut terbuka.

"Dewa?!"

Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]Where stories live. Discover now