Goodbye Memory Ke-13!

Magsimula sa umpisa
                                        

"Astajim, mau makeup jam berapa, cantik?"

"Di mobil kan bisa, makeup natural aja."

"Tuhaaaaan, nanti lo kecapekan, sayang. Langsung aja ke rumah Jakarta, okey? Aa Dewa kan bisa naik taksi sendiri, duh."

Luna melotot tak mau dibantah. "Yaudah oke abis anter Dewa kita balik lagi ke Jakarta! Deal?"

"Alemonggggg, hhhh."

Setelah menang dari asistennya, Luna kembali menatap Dewa yang sedang mengecek ponsel.

"Wa, ayo, bareng aku aja," ajak Luna.

Dewa mengangkat kepalanya. "Yakin kamu mau anter aku ke rumah Maura?"

Diam sesaat untuk meneguk saliva, kemudian Luna mengangguk patah-patah. "Iya, tenang aja, aku gak bakal turun kok. Gak bakal membuat kesalahpahaman."

"Bukan itu yang aku khawatirkan. Justru kamu. Yakin kamu mau liat aku ketemu Maura lagi?"

Luna tersenyum. "Sebelum kalian ketemu, aku udah akan langsung pergi kok. Aku juga kasihan sama hati aku, kali."

Dewa menghela napas pendek. "Yaudah."

Ketiganya lalu masuk ke mobil. Asisten Luna masuk ke pintu depan, Luna masuk ke pintu belakang diikuti Dewa setelah kopernya masuk ke bagasi. Melawan macetnya ibukota, mereka berangkat menuju Bogor.

***

BOGOR, 2015

Sudah lebih dari dua jam Maura duduk di kursi favorit kafe tanpa melakukan apapun. Hanya menyeruput segelas americano untuk kedua kalinya, namun pasangan yang sedari tadi ditunggu belum juga muncul. Tetapi Maura tidak merasa kesal, perihal tunggu-menunggu, Maura sudah hatam. Sudah hafal seperti apa rasanya dari sudut manapun.

Terakhir dihubungi, mereka beralasan jalanan macet.

Klasik.

Rush hour seperti ini, memangnya jalanan di Bogor sebelah mana yang tidak macet? Semua ribut pulang dari kantor, bertemu menjadi lautan manusia di jalanan. Doa-nya lima tahun lalu agar Bogor tak berubah ternyata tidak terkabul. Bogor yang sekarang sudah jadi kota macet yang gerah.

Tapi tetap saja Maura cinta kota ini.

Sepuluh menit kemudian, pasangan yang ditunggu pun muncul di pintu kafe dengan payung basah yang terlipat. Maura memperhatikan dua orang itu berjalan tergesa-gesa ke arahnya sambil mengibas rambut yang sedikit basah. Setelan kerja masih menempel di tubuh keduanya, rintik air hujan berbekas di kemeja si laki-laki.

"Aduh, sorry... lama banget, ya, Ra?" Si cewek langsung mengambil tempat di kursi depan Maura.

Si cowok menarik kursi dari meja lain ke samping kekasihnya. "Jangan marah ke gue, Ra. Marah ke dia aja, nih, siapa suruh punya atasan jomblo. Jadi demen banget di kantor padahal udah jam pulang. Bikin bawahannya jadi ikutan nunggu aja. Bos lu suruh pacaran, kek, sono! Biar ngerti!"

"Ih, apa, sih, emang dia tuh gak mau pacaran. Maunya langsung nikah."

"Alah, homo kali tuh bos lu!"

"Yaudah, sih, yang penting kan tetep bisa pulang, nggak lembur."

"Ya sekarang. Besok-besok juga kamu disuruh lembur lagi. Ditahan-tahan lagi biar nggak pulang, padahal mah sebenernya buat nemenin dia kerja. Curiga dah gue, bos lu demen sama lu, ya? Apa takut sendirian di ruangan?"

"Apaan, sih! Mulai, deh. Kalo kamu nuduh-nuduh kayak gitu terus, lama-lama aku beneran pacaran aja nih sama dia. Mau? Hah? Enak gue sama bos mah, tinggal duduk manis jadi ratu doang. Daripada sama lo, udah bawel, cemburuan, nyebelin, jelek, kere, lagi!"

Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon