Maura hanya mengangguk dan melihat sekali lagi ke arah kursi pojok itu sebelum beralih ke sofa panjang berwarna oranye yang dimaksud Finda.
"Ini tetep ditaruh sini aja, ya, Pak, dan sofa-sofa lain juga pindahin aja ke sini. Jadi center kafe ini kita bikin full sofa aja, khusus buat yang kalo pengin ngobrol-ngobrol atau mengadakan acara," ujar Maura pada salah satu tukang yang mulai hari ini sampai esok ditugaskan untuk menata kafe sampai menjadi seperti yang Maura impikan.
"Iya, Mbak," jawab Bapak itu.
Menggunakan terusan garis-garis berwarna cokelat-hitam selutut, Maura berjalan lagi menghampiri satu tukang yang sedang memasang lampu di atas meja pesan.
"Nanti kalo udah selesai tolong bantu agak merenggangkan lagi meja sama kursi buat yang menempel-menempel sama kaca ya, Pak. Abis itu mejanya dibuat permanen aja supaya gak bisa digeser-geser, biar nanti gak mencar ke mana-mana kalo ada pengunjung yang mau dateng lagi buat liat tulisan mereka."
Kafe ini memang akan diatur sebagai tempat minum kopi dan dessert yang memperbolehkan pengunjungnya untuk menulis wishlist, mimpi atau keinginan tentang masa depan dan atau untuk orang-orang yang mungkin tidak bisa diucapkan secara langsung.
Tiap meja diberi sebuah binder sangat tebal untuk bisa menampung tulisan pengunjung yang isinya kertas cokelat tanpa garis. Di halaman depan, tertulis aturan, tata cara dan adab dalam mengisi buku tersebut. Pada masing-masing buku, sudah diberikan contoh cara menulisnya oleh Maura dan teman-temannya; Aldo, Elma dan Nando yang sejak beberapa minggu ini turut membantu dalam persiapan pembukaan kafe ini.
Di dinding-dinding kafe, ditempel penuh lukisan yang dibuat oleh Maura. Dengan begini, Maura bisa merasa seperti memiliki pameran lukis seumur hidup. Maura pun bisa merasa bahagia karya-karyanya dapat dinikmati secara gratis oleh orang-orang.
"Kamu yakin gak mau nempel lukisan ini juga?"
Maura kembali menoleh saat suara Finda terdengar lagi dari belakang. Mamanya itu sedang memegang kanvas putih yang sudah lima tahun lalu dibasahi cat lukis membentuk wajah seorang cowok menggunakan seragam sekolah yang tengah tertawa. Melihat itu membuat wajah Maura langsung berubah pucat. Sudah lama sekali lukisan itu disimpan rapih di lemarinya, tidak pernah dia lihat lagi. Maura tak menyangka mamanya bisa menemukan lukisan itu dan membawanya ke sini.
"Kamu bilang ini tempat kenangan sama dia, kan? Jadi gak ada salahnya, dong, kalo lukisan ini juga dipajang di sini? Akan jadi lebih terkenang."
"Aku gak mau liat wajahnya lagi, Ma," ujar Maura sambil membuang wajahnya ke samping. Sekaligus tengah menahan rasa rindu yang kembali naik dari jantung ke kepalanya. Sangat deras membanjiri kenangan mereka yang amat singkat itu.
Melupakan Dewa ternyata tidak bisa dilakukan dalam waktu 5 tahun. Masih belum cukup untuk kenangan dan wajah itu bisa pergi dari ingatan Maura. Berusaha sekuat apapun tetap tak mampu membuat Maura tidak memikirkan Dewa barang sehari pun. Lisannya selalu memerintah untuk lupa, tetapi hatinya enggan melaksanakan.
Melihat wajah Dewa walau sekadar lukisan, tetap berhasil menyedihkan hatinya. Mengingatkan kembali bagaimana dengan mudahnya dia dilupakan dan ditinggalkan. Sudah setahun ini, Maura berhenti melihat foto-foto Dewa di akun twitter-nya. Agar bisa sukses melupakan!
Tapi ternyata tak ada gunanya.
Otaknya masih dengan baik merekam wajah dengan senyum konyol itu.
"Kamu sadar gak, Ra, apa yang membuat kamu masih belum bisa melupakan Dewa?" tanya Finda.
Maura menggeleng jujur. Jawaban itu memang sedang dicarinya.
"Karna sesungguhnya kamu belum benar-benar ikhlas melepas dia pergi," kata Finda lagi.
"Aku udah ikhlas. Buktinya aku udah merelakan dia balikan sama Luna."
"Kamu terpaksa, Ra. Dulu waktu dia pergi, kamu gak punya pilihan apa-apa lagi selain membiarkan dia pergi, makanya kamu berpura-pura menamai keterpaksaan itu sebagai ikhlas. Padahal kamu sebenernya gak pengin dia pergi. Itu yang sampe sekarang bikin kamu gak bisa lupain dia."
"Emangnya selain itu, apa yang dulu bisa aku lakuin, Ma? Gak ada. Ujung-ujungnya aku emang harus bisa pura-pura ikhlas, kan?"
Finda diam sesaat, memahami betapa berat dan menyakitkannya berada di posisi putrinya lima tahun lalu itu. Tangannya mengambil jemari Maura untuk digenggam.
"Selain itu, kamu juga masih mencintai dia, kan, sampe sekarang?"
"Bohong kalo aku jawab enggak, Ma."
"Tapi kamu juga benci dia, ya?"
"Yaaa mung...kin?" Maura mengangkat bahunya ragu.
"It's oke, gapapa kok, suatu saat kamu juga akan ketemu orang yang cuma butuh waktu tiga detik bisa membuat kamu berhenti mencintai Dewa dan langsung mencintai dia. Semua ada waktunya kok. Sabar aja, jalanin aja."
Tiga detik? Haha, kayaknya nggak akan mungkin ada, Ma.
***
YOU ARE READING
Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]
RomanceKetika kisah mereka telah menjadi masa lalu bagi orang lain, tapi baginya hanya seperti kemarin. Banyak hal berubah, tapi ia masih tetap di perasaan yang sama. Kedatangannya kembali ingin mengulang kisah yang dulu ia tinggalkan. Mengejar lagi seseor...
Goodbye Memory Ke-10!
Start from the beginning
![Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]](https://img.wattpad.com/cover/107761384-64-k558045.jpg)