Goodbye Memory Ke-2!

Start from the beginning
                                        

"Negeri tercinta emang paling nyaman, ya."

"Iya bener. Budaya, cuaca, suasana dan makanan di sana jauh lebih enak menurutku daripada di sini. Aku nggak punya siapa-siapa di sini tapi malah dateng ke sini, dan di Jogja aku punya semua orang yang deket sama aku tapi malah aku tinggalin. Kadang tuh ya, kalo lagi mikirin kayak gitu tuh bikin aku jadi nyesel lanjut kuliah di sini."

Dewa tersentak. Ternyata bukan hanya dirinya orang satu-satunya yang telah meninggalkan banyak hal agar bisa hidup di sini. Mungkin semua orang pun juga merasakan hal yang sama; merasa menyesal telah pergi dan kemudian kesepian.

Sebab, akan selalu ada risiko di setiap pilihan yang diambil. Akan selalu ada yang ditinggalkan dalam setiap pergerakan.

"Tapi kalo dipikir berulang-ulang kali lagi, semestinya nggak ada yang harus aku sesali, sih. Justru harusnya aku bersyukur bisa berdiri di sini, dari sekian banyak murid yang berharap pengin berdiri di sini. Aku sih percaya aja kalau kesuksesaan itu harganya mahal, maka juga harus dibayar dengan pengorbanan yang mahal."

Dewa mendapat suntikan semangat lagi. Mendapat pelajaran lagi dari seorang Arfin yang hanya anak dari seorang buruh pabrik ban mobil.

Sekali lagi Dewa meyakinkan dirinya bahwa keputusannya pergi ke Jerman dan meninggalkan semua yang dimilikinya di Indonesia adalah bukan sesuatu yang harus disesali. Dewa harusnya bersyukur, karena dengan kepergiannya ini dia telah menyelamatkan seorang gadis dari sebuah harapan dan penantian yang tak pasti. Dengan kepergiannya ini, dia telah memberikan jalan kebahagiaan lain untuk seorang gadis yang bahkan sampai detik ini belum sanggup dia ingat alasan apa yang dulu membuatnya bisa jatuh cinta.

Dan dengan kepergiannya ini, dia juga telah memberikan kesempatan pada kedua orangtuanya untuk mengejar kebahagiaan mereka masing-masing.

Dari yang Dewa dengar, tak sampai sebulan setelah kepergiannya ke Jerman, orantuanya langsung mengurus perceraian dan menikah lagi dengan pasangannya masing-masing. Selingkuhan Papinya akhirnya dijadikan istri sah di mata agama dan negara. Brondong-brondong yang dulu sering datang ke rumah bersama Maminya ternyata bukan menjadi laki-laki yang dipilih Maminya. Maminya justru memilih seorang duda anak satu yang ternyata adalah cinta pertamanya saat SMP.

Meskipun Dewa nampak tak peduli dengan orangtuanya lagi, tetapi diam-diam Dewa merasa lega. Bersyukur karena akhirnya kedua orangtuanya bisa kembali mendapatkan kebahagian mereka sendiri. Meskipun Dewa yang harus mengalah, melepaskan kebahagian yang dia inginkan tentang keluarganya.

Memang terkadang untuk meraih sebuah kebahagian harus dengan melepas kebahagian yang lain.

Memang terkadang bahagia di atas penderitaan orang lain itu nyata adanya.

Memang terkadang untuk bisa bahagia harus ada yang berkorban.

Itu sebabnya ada siang dan malam. Agar malam bisa datang, matahari rela terbenam. Agar siang bisa datang, bulan rela menghilang.

"Emangnya menurut kamu enakan Jakarta apa Jerman?" tanya Arfin lagi sambil menoleh ke arah Dewa.

Dewa lalu ikut menoleh, "Fin, bukannya gue udah sering bilang kalo gue ini dari Bogor?"

"Hah? Emang?"

"Rumah gue tuh di Bogor. Gue lahir di Bogor, kali."

Arfin mengerutkan keningnya, "Emang iya? Bukan Jakarta, ya?"

"Jakarta itu rumah Omah gue."

"Oh.... iya-iya aku suka lupa terus. Ingetnya selalu kalo orang kota itu ya pasti orang Jakarta." Arfin tertawa sendiri.

"Kelamaan tinggal di kampung, sih, lo!"

Arfin mencebik, "Eeee, jangan salah, Jogja itu juga kota, lho. Punya provinsi sendiri, lagi. Daerah isimewa, lagi. Emangnya ada provinsi Bogor? Nggak ada, kan? Jangan macem-macem kamu sama orang Jogja, nih."

Dewa langsung berdiri tegap dan hormat, "Iya, bos, iya, siap salah!"

Arfin terkekeh kecil, "Eh tapi kenapa ya lidahmu bisa lancar gitu bicara bahasa Indonesia? Nggak ada logat-logat daerahnya yang tersisa gitu kayak aku. Bukannya Bogor itu pake bahasa sunda, ya?"

"Nah, lo sendiri kok lidahnya bisa lancar gitu ngomong aku-kamu sama cowok?"

"Kalo di Jogja memang begitu, mau sama perempuan atau laki-laki bicaranya tetep sopan."

"Tapi gue geli dengernya. Berasa kayak lagi ngomong sama homo."

Arfin langsung menggaplok pipi Dewa sambil mengeluarkan kata kasar berbahasa Jawa. "Asuuu!"

Sedangkan Dewa memegangi pipinya sambil melirik Arfin tajam. "Duh, pipi gue itu diciptakan buat dicium cewek, bukan ditampar!"

"Halah! Jomblo aja belagu!"

Baru ingin membalas cemoohan Arfin, ponsel di saku celana Dewa berdering. Setelah diambil, nomor asing tertera di layarnya. Tanpa berpikir macam-macam, Dewa menerima panggilan telepon itu.

"Halo, Wa?"

Suara lembut perempuan keluar dari speaker ponsel Dewa, ia masih ingat betul ini suara milik siapa, tidak mungkin salah.

"Ini...?" Dewa menggantungkan kalimatnya.

"Iya, ini aku. Kamu di mana?"

"Di..." Dewa memutar-mutar kepalanya, mencari patokan tempat yang familiar.

"Aku ada di Jerman. Boleh ketemu?"

***

NOTES:
Jangan lupa baca ceritaku di FIZZO yaw :
Kontrak Nikah 1 Miliar

Ayo sini tebak, siapa yang nelfon Dewa? Xixi

Goodbye, Memory! [SEKUEL HELLO, MEMORY!]Where stories live. Discover now