Bagian 1

6.7K 350 32
                                    

Saat itu aku duduk di kelas 3 SD. Pandanganku tertuju pada sebuah pohon besar di rumah baruku. Tiba-tiba sebuah tangan menggapai bahuku. Ibuku. Sambil mengusap-usap rambutku, ia berkata "Sudah seharian kau memandang pohon itu. Memang apa yang salah dari pohon itu ?"

"Aku hanya mengaguminya Bunda. Bukankah ia makhluk yang sempurna?" Jawabku.

"Apa yang harus kau kagumi dari pohon itu? Ia setiap hari hanya diam. Lagipula, makhluk yang diciptakan sempurna adalah kita, manusia. Bukannya pohon atau binatang."ucapnya.

"Benarkah?? Aku kira tumbuhan."jawabku sambil tersenyum kecil layaknya anak-anak lainnya.

"Kenapa kau bisa berpikir tumbuhan itu makhluk yang sempurna?"tanya Bunda yang agaknya bingung dengan cara berpikirku.

"Tentu saja aku berpikir begitu. Guruku pernah bilang, kalau tumbuhan makan dengan berfotosintesis, dengan memasak makanannya sendiri."

"Manusia juga memasak makanannya sendirikan??"jawab Bunda.

"Tapi yang kita masak kan tumbuhan juga."

"Kita tidak hanya makan dari tumbuhan, kita juga makan dari hewan."elak Bunda.

"Tapi, bukankah hewan itu makan dari tumbuhan juga. Jadi, manusia dan hewan makan dari tumbuhan. Sedangkan tumbuhan makan dengan memasak sendiri. Selain itu, guruku juga pernah bilang, kalau hasil fotosintesis itu bukan hanya menghasilkan makanan, tapi juga menghasilkan oksigen untuk kita bernapas. Bunda juga pernah bilang, kalau hewan mati namanya bangkai, kalau manusia meninggal namanya jasad. Lalu, kalau tumbuhan mati jadi apa?" celetukku. Bunda hanya terdiam, tak menjawab apapun. Aku pun angkat bicara lagi,

"Bukankah kalu tumbuhan mati itu jadi kursi, jadi meja, jadi pintu, jadi makanan kita. Ia mati dengan cara yang sangat mulia Bunda karena ia mati untuk kepentingan banyak orang."ucapku lagi.

"Untuk itu aku mengaguminya. Selain itu, aku juga malu padanya. Ia telah memberi kita oksigen untuk bernapas, kematiannya tidak pernah sia-sia, selalu bermanfaat. Sedangkan kita manusia, pernah berbuat apa untuknya? Untuk menyiramnya saja banyak alasan. Ada juga yang menebangnya tanpa menanamnya lagi, ada juga yang membakarnya. Bukankah itu kejam sekali. Aku tidak bisa membayangkan kalau saja kita bertukar hidup dengan tumbuhan. Tumbuhan jadi kita, kita jadi tumbuhan. Pasti kita setiap hari kehausan, kelaparan. Apalagi kalau kita harus merasakan di tebang, di bakar, pasti sakit sekalikan Bunda. Mulai sekarang aku berjanji akan menjaga tumbuhan dengan baik."lanjutku. Bunda seketika mengusap rambutku dan berkata, "Bunda bangga padamu. Kamu benar, Bunda akan membantumu merawatnya. Sekarang kita makan ya!"

Filsafat dari Seorang AnakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang