40.Who Has More Right To Be Angry?

1 1 0
                                    

Laki-laki berperawakan pendek tegap itu berjalan tergesa-gesa. Tidak. Ia lebih seperti berlari kecil. Wajahnya pias dan dadanya berdegup sepuluh kali lebih cepat. Tubuh coklatnya mengkilat bermandikan keringat bertanda ia seorang pekerja keras.

Semakin dekat dengan tujuan, adrenalinnya semakin terpacu.

Tangan besarnya bergetar hanya untuk mengetok daun pintu. Kendati rasa takut menggerogoti sanubari ia tetap harus menyampaikan berita menggemparkan ini kepada orang-orang yang ada di balik pintu tersebut.

Sekali lagi menarik napas dan mengibaskan  telapak tangan yang basah karena keringat. Ia akhirnya mengetuk tiga kali.

"Masuk!" Suara berat menginterupsi dari sebelah.

Begitulah, derit pintu memecah hening. Perhatian Hendro dan tiga pria lainnya tersedot pada anak buah yang pucat pasih.

"Anu Bos. Itu ... tawanan kita kabur...." Laki-laki itu berucap terbata, pun demikian ia tak berani menatap sang pemimpin. Ia tertunduk sedalam-dalamnya.

Kornea Hendro terbelalak hampir keluar. Apa yang ia takutkan menjadi kenyataan. Padahal baru saja ia memerintahkan anak buahnya memperketat penjagaan, kini telah kecolongan.

"Kok bisa  ...?!" Hendro menggeram diakhir kalimat, tangannya yang mengepal spontan memukul meja.  Tatapannya menusuk ke depan.

Amarah Hendro sampai kepada para anak buahnya. Tubuh pria yang melapor mengelinjang. Keringat dingin mengucur di kedua belah pelipis. Bibir pucatnya bergetar sebelum bersuara.

"Markas kita kemasukkan penyusup dan berhasil membebaskan perempuan itu."

Pria itu berkata apa adanya. Disaat bersamaan pikirannya tertarik ke beberapa waktu sebelumnya, ketika Hendro baru tiba di markas. Sang ketua langsung memberi titah kepada sebagian besar anak buahnya untuk memburu kelompok Bayu atau yang Hendro sebut sebagai grup pendaki biang rusuh.

Kenapa akhir-akhir ini banyak sekali yang mengusik ketenangannya. Kemaren Saiful dan sekarang kelompok pendaki. Sebagai penguasa wilayah ini, Hendro tidak akan tinggal diam, dia akan membungkam orang-orang itu.

Bersetan dengan ide Ardi Firdaus, Saiful datang sendiri untuk mengantarkan nyawa. Pun dengan para pendaki itu, Hendro tidak akan segan merengut hak asasi mereka.

Perintah tiba-tiba itu langsung dilaksanakan, diikuti intruksi selanjutnya bahwa si sandera harus diawasi lebih ketat serta para penjaga yang tersisa harus selalu berpatroli di wilayah kamp sebagai jaga-jaga satu dua hal yang tak diinginkan.

Begitulah, ketika pria tadi ditugaskan untuk memeriksa keadaan Marni, ia amat terkejut mendapati rekannya tertidur pulas. Ia semakin syok ketika mengetahui pintu rumah tersebut tidak terkunci dan yang ditakutkanpun benar terjadi. Marni telah melarikan diri. Daun jendela tempat ia dan Bayu melompat berayun-ayun mengikuti arah angin bertiup.

Kembali ke masa sekarang, Hendro menarik napas dan berusaha kembali tenang. Kendati demikian diam-diam jantung pria itu berdetak tidak karuan. Siluet gadis belia dengan tatapan tajam sekelebat lewat di pelupuk mata. Seketika meremang tubuhnya. Satu gadis itu saja sudah sangat kuat apalagi teman-temannya yang lain. 

Spekulasi-spekulasi liar turut meramaikan isi otak Hendro. Mungkinkah kelompok itu sebenarnya utusan para aktivis lingkungan? Atau polisi yang menyamar?  Apapun itu, yang jelas kelompok itu dari pihak kontra dan tujuan mereka pasti untuk membongkar kebusukkan di hutan Borneo.

"Bos tidak apa-apa ...?"

Pria itu mengerjap beberapa kali. Ia menyeka peluh di dahi.

"Sisir hutan di sekitar markas. Aku yakin dia belum pergi jauh!" Menetralkan kecamuk dalam hati, Hendro berbicara seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya." Kerahkan semua personil, jangan biarkan tikus-tikus itu kabur."

Raihan: The Great IssueWhere stories live. Discover now