24. Konspirasi.

18 1 0
                                    

"Saiful Darwawi."

Tian semakin condong ke layar laptop---memerhatikan sebuah foto ukuran 4 R yang dipegang lawan bicaranya via video call. "Apa yang akan kamu lakukan padanya, Hendro?" Tian kembali duduk tegak.

"Anak buahku akan menculik dan membunuhnya," jawab laki-laki yang di sebut Hendro itu. Rahangnya mengeras setiap kali harus membicarakan tentang Saiful Darwawi.

Pasalnya, jurnalis itu baru saja mendapat pamor setelah menulis artikel tentang penebangan liar di pulau Kalimantan dan sialnya, malah mengundang ribuan atensi masyarakat untuk ikut memboikot kegiatan ilegal tersebut. Ia mungkin bisa menyuap para pejabat korup tetapi menghadapi aksi protes massa tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Pemberitaan viral tersebut menarik perhatian para aktivis lingkungan untuk berdemo di pemerintahan. Demi menjaga citra dan jabatan---para pejabat itu terpaksa meladeni kehendak banyak pihak.

Sehingga mau tidak mau semua aksi penebangan liar terpaksa ditiadakan. Ia sangat pening memikirkan chaos yang terjadi karena dari hutan Kalimantan lah selama ini sumber pendapatannya.

"Jangan!" Suara datar nan dingin menginterupsi Hendro, ia lantas mencari-cari sumber suara tersebut. Tetapi sedetik kemudian berdecih halus.

"Kenapa tidak boleh, Ardi?" Hendro baru sadar, selain dirinya dan Tian ternyata Ardi Firdaus ikut dalam diskusi ini meski batang tubuhnya tak terlihat di layar.

"Kamu ingat tragedi di jaman orde baru, banyak jurnalis yang hilang mendadak dan hal itu mengundang berbagai kontroversi dan teori. Saat itu banyak yang menganggap adalah siasat pemerintah yang anti-kritik. Aku takutnya jika kamu melakukan hal serupa maka yang ada masyarakat semakin yakin adanya keterlibatan komplotan mafia, apa kamu bisa memastikkan dengan menghabisi nyawa Saiful, chaos ini segera berakhir. Tidak, masalah akan semakin melebar kemana-mana."

Hendro melorot di kursinya, pernyataan Ardi Firdaus ada benarnya. "Aku tidak mungkin akan tinggal diam saja,'kan? Kamu juga belum mendapat kayu pesanannmu."

"Aku punya cara yang jauh lebih ampuh dan bersih." Ardi memberi solusi. " Kita gunakan cara yang sama. Kita buat sebuah berita viral yang mampu mengalihkan isu tentang penebangan liar."

Tian dalam sekejap melirik kepada Dimas yang duduk di belakang laptop.

"Bagaimana caranya?" tanya Hendro.

"Salah satu anak buahku juga seorang jurnalis, dia sangat ahli mengolah sebuah informasi menjadi berita yang menggemparkan."

Hendro tampak berpikir. "Aku tidak sangka kamu mau berbuat sejauh itu untukku."

"Aku melakukannya demi diriku sendiri, jika pesanan bahan baku mebelku tersendat, maka usahaku juga yang merugi." Ardi cepat memotong ucapan Hendro---ia tak mau tampak berbaik hati dan memang kenyataannya ia mau repot-repot begini dengan alasan tersendiri.

"Baik-baik, jadi begitu kesepakatannya. Aku senang." Hendro tersenyum.

Ardi berdeham. "Untuk sementara waktu, tetaplah diam. Biarkan massa terus melakukan protes, nanti akan ada saatnya mereka tak berkutik."

Setelah itu hanya ada basa-basi sedikit sebelum sambungan benar-benar terputus.

Dimas langsung merogoh kantong celana untuk mengambil sebatang rokok ---menatik api kemudian mulai mengisap penuh kenikmatan. Mengeliat sedikit untuk merelaksasikan persendian, tidak lupa ia juga megatur nada bicaranya agar kembali seperti semula---suara Dimas asli. Tian pijit-pijit kepala dengan kelakuan bos besarnya itu.

"Ada-ada aja ide lo, Dimas."

"Lo juga, yang beginian aja masa harus gue langsung yang turun tangan. Gue masih capek."

Tian terhenyak sebentar, ia berinisiatif bangkit dan berdiri di belakang Dimas. Perlahan Tian memijit kedua pundak Dimas agar laki-laki itu semakin relaks.

"Ehm, yang kencengan dikit." Dimas menutup mata tetapi tangannya menuntun Tian untuk memijat titik yang dianggapnya paling pegal.

"Gue ngga abis pikir, bisa-bisanya lo kepikiran buat bantu Hendro, kalau gue milih cari suplier lain."

Dimas membuka mata, dia menghembuskan asap rokok sebelum beralih memijat pelipis sendiri. "Kita tetap butuh suplier baru, lo atur aja."

"Hah, terus ngapain lo mau repot-repot bantuin Hendro?" Tian mundur selangkah.

"Kualitas kayu-kayu Hendro bagus-bagus, harganya murah dan yang paling utama ngga perlu bayar pajak."

Tian kembali memijat pundak bosnya."Tetap aja." Tian mendengkus. "Ngga ngerti gue, padahal sekarang yang penting gimana usaha kita tetap jalan. Lo tahu sendiri beberapa tahun terakhir pesanan mebel kita lagi meroket."

Dimas menepis halus tangan Tian, ia berdiri dan menuju jendela. Pandangan laki-laki itu mengawang.

"Seperti yang gue bilang tadi, kualitas yang Hendro tawarkan belum tentu kita dapatkan di suplier lain, jika usahanya terganggu, usaha kita juga." Dimas terdiam sejenak, ia memerhatikan ujung bara rokok yang kian terkikis. "Selain itu gue ngelakuin itu demi diri sendiri dan ngga ada sangkut pautnya sama Hendro."

Tian mengernyit dahi. Dimas berbalik dan tersenyum simpul namun sesaat kemudian lengkungan itu berubah datar. Ia bersandar di dinding dekat jendela.

"Gue masih gedeg sama tragedi penyerangan kantor polisi beberapa waktu lalu, seharusnya hal itu ngga terjadi jika bocah-bocah SMA itu ngga ikut campur."

Tian dapat menangkap arah pembicaraan Dimas. Kini ekspresinya sebelas-dua belas dengan sang pemimpin.

"Rencana harus dirombak tiga ratus enam puluh derajat dan Rowan tertangkap." Dimas membuang muka setelah mengucapkan kata terakhir, ini adalah kali pertama rencananya hampir gagal.

"Ngomong-ngomong bukannya lo udah berhasil membungkam laki-laki bernama Rowan itu kan?"

Dimas mengangguk kukuh dan berdeham. " Rowan dan anak buahnya sudah tewas di racun, mau gimana pun, meskipun cuma alias, identitas Fadli harus tetap dirahasiakan."

"Sudahlah, Dimas. Lagian misi lo tetap berhasil, isi jurnal Robin yang di minta M berhasil dicuri."

Dimas kembali mengangguk. "Tapi gue pengen kasih perhitungan sama ABG-ABG kurang ajar itu." Tak sadar ia sedikit merengeram diakhir kalimat.

Tian sudah sangat paham jalan pikiran laki-laki yang empat tahun lebih muda darinya itu.

Dimas terkikik sumbang. "Dengan memanfaatkan pemberitaan penyerangan kantor polisi tersebut. Gue akan buat hidup mereka ngga tenang." Dimas mendekat ke laptop.

"Dengan sedikit bumbu-bumbu penyedap, akan gue beberkan clue tentang identitas mereka, meski kecil tapi cukup membuat orang-orang menduga siapa mereka. Mereka anak-anakdisanjung sebagai pahlawan." Dimas lantas merogoh saku kemeja--- mengeluarkan sebuah USB.

Tian dibuat terperangah. Di file terdapat video amatir jalannya penangkapan Rowan beserta anak buahnya.

"Kenapa lo berpikir untuk membuat mereka jadi pahlawan?" Tian bertanya.

Dimas mengerjap beberapa kali. "Gue adalah seorang jurnalis dan gue tahu bagaimana persaingan pers saat ini. Media akan selalu memburu berita terhangat dan menggemparkan. Awalnya mungkin para ABG itu akan tersanjung dan besar kepala karena terkenal seantero negeri, tetapi lama-lama mereka akan risih karena privasi yang terusik. Awak media akan mulai mengulik setiap inci kehidupan mereka. Diburu pers tidak seindah yang terlihat di layar kaca, Tian." Dimas tersenyum diakhir penjelasan.

Meski sudah bertahun-tahun bersama Dimas, Tian masih saja kagum dengan rencana-rencana tak terduga laki-laki itu.

"Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui. Begitulah," lanjut Dimas. "Tapi karena gue mau istirahat, gue ngga akan mempublikasikan video ini dengan nama Dimas."

Tian mangut-mangut mengerti. Dia hanya perlu bergerak sesuai intruksi sang mafia.

#1071 kata

Bab pertama aja dibuka dengam eksistensi Dimas dan Cristian. Apakah dua orang ini akan berkontribusi dalam arc ini. Nantikan saja. See you next week!

Typo kasih tanda

You know, media is so scary. Trust me!

~Aldovino Adjimoljo

Raihan: The Great IssueWhere stories live. Discover now