Sedetik setelahnya ia kembali menarik jarak dan berusaha membaur dengan teman-temannya, "Woi, woi, El udah dong. Kenapa sih kamu selalu berantem kalau ketemu Raihan?"
"Mukanya dia ngeselin!" Eliza menunjuk wajah Kak Raihan sampai menyentuh ujung hidung lelaki itu.
"Lah, ngaca!"
"Han, udah deh, lo juga bacotnya nyaingin ibu-ibu kos nagih duit bulanan." Kak Ace berusaha menarik tubuh Kak Raihan.
Untung saja setelah itu keduanya bisa kembali normal. Apalagi ketika Eliza tiba-tiba saja membahas tentang Jogja secara iseng.
"Aduh, tuh kan sepatu gue ke injek, padahal baru dicuci. Gara-gara lo sih, Han! Padahal kan mau gue pakai ke Jogja besok!"
"Eh, iya, Minggu acaranya Bang Erik sama Bang David ya." Kak Raihan yang baru teringat akan rencana itu langsung melunak, "Mana laundry gue belum kering, anjir! Pakai baju apaan ya?"
"Jadinya pakai mobil si Ruben? Yang nyetir siapa? Kenapa gak kereta aja sih? Udah bener kali kereta biar hemat." Eliza merengut.
"Udah di jelasin kemarin-kemarin, kalau naik kereta nanti transportasi di sana yang susah, Eliza," ucap Kak Felix dengan nada sesabar mungkin. Ia benar-benar terlihat seperti malaikat.
Disela-sela percakapan yang ada, aku hanya mampu bungkam disisi lingkaran yang mereka buat. Sulit sekali berada disituasi seperti ini. Antara dianggap atau tidak, membuatku kesulitan untuk lepas atau sekedar ijin untuk pergi. Pasalnya dari obrolan yang terjalin seolah tidak ada celah untukku berbicara. Hingga kedua mataku tak sengaja tertaut dengan milik Kak Ace yang sedari tadi menatapku secara diam-diam. Dan berbeda dari tatapan dingin yang biasanya ku dapatkan saat kami berpas-pasan di lokasi kampus, kini ia menyunggingkan senyum tipis.
Benar, kami harus betingkah seolah tidak terlalu akrab antar satu sama lain. Supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman yang akan merugikan dirinya.
"Terus jadinya yang ikut siapa aja?" Tanya Eliza.
Kak Raihan berusaha berpikir, "Oh, iya. Siapa aja coba? Takut mobilnya gak muat. Ada gue, Felix, El, Ace, terus siapa lagi?"
"Yang punya mobil belum lo sebut tolol," sahut Eliza kesal.
"Oh, iya. Ruben, terus— kemarin si itu ya, Ian. Sama siapa lagi?"
"Gabi sama Reanna anak 2021 gak sih?" Tanya Kak Felix.
"Bukannya mereka tetep mau naik kereta ya?" Kak Raihan agak ragu.
"Si Reanna yang mukanya nyolot itu? Dih, gak mau gue semobil sama dia. Udah gakpapa mereka biarin aja naik kereta." Eliza berdecak pelan, "Mending tawarin ke yang lain deh. Kayak siapa ya, uhm—" Sampai kedua manik mata Eliza tertaut dengan milikku yang sebelumnya telah mengalihkan pandang dari lensa gelap milik Kak Ace.
Kembali ternotis oleh mereka membuatku buru-buru berucap dengan niatan hendak pamit, "Eh, Kak, kayaknya aku mau pulang duluan—"
"Kei! Kamu ikut sama kita aja!"
Dan dengan begitu, kalimat pamitku dengan mudahnya terabaikan dengan ajakkan Eliza yang begitu menggelegar. Seandainya aku tidak sedang bersama dengan mereka, mungkin tawaran itu tidak akan berakhir kepadaku. Aku yang kebingungan harus bereaksi seperti apa sempat tidak merespon selama beberapa saat, hingga Kak Felix berusaha menjelaskan.
"Jadi ada art exihibition punya dua alumni Unpelya, besok Minggu di Jogja. Kalau kamu mau ikut gakpapa kok, nanti bisa ikut rombongan kita."
Aku refleks menatap Kak Ace sekilas karena sudah tahu info itu terlebih dahulu darinya. Sedangkan ia hanya terus memperhatianku, seolah menunggu jawaban apa yang akan ku sampaikan kepada mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
if only,
RomansaKeira bertemu dengannya Agustus lalu, saat hari pertama ospek fakultas dilaksanakan. Semula yang terasa hanyalah percikan, bisa terabai. Tapi bagaimana ia bertutur dan berperilaku, pada akhirnya Keira merasa jatuh. Meski selama itu, tiada kata pasti...
i wasn't with them [part 2]
Mulai dari awal
