SHU - 4

33 4 0
                                    

"Kamu keren banget, sih. Sampai di kelas aku heboh karena pengumuman peringkat tertinggi yang bakal dikirim untuk olimpiade!" Gia berucap dengan semangat.

"Kamu juga, hebat bisa ikut." Clea menatap dua manusia di depannya dengan bergantian. Sepertinya tidak ikut ke sini adalah pilihan yang tepat, hanya saja Gia memaksanya untuk ikut.

"Clea juga lain kali pasti bisa ikut, kamu masuk peringkat duakan?" Clea mengangguk dengan sedikit ragu.

"Sayangnya kata guru akhir-akhir ini nilai dia turun," ucap Arilos membuat Gia menatap ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Sedangkan Clea mendengkus sebal, merasa jika Arilos mempermalukannya. Sepertinya Gia tak perlu tau tentang turunnya nilai Clea.

"Enggak apa-apa, lain kali kamu harus lebih giat lagi!" Clea mengangguk setuju, walau dalam hati dirinya kesal setengah mati.

Clea bukannya tidak berusaha keras, peringkat dua itu sudah membuktikan jika Clea telah bekerja keras. Clea bukan gadis yang pintar, dia hanya memaksakan untuk menjadi sempurna. Lalu, semua yang dia lakukan ini masih belum apa-apa di mata kedua manusia di depannya.

"Ya, lain kali," ucap Arilos menyetujui.

Clea masih diam menatap keduanya dengan pandangan datar. Dia sebenarnya sedikit heran, mengapa harus selalu dihadapi situasi seperti ini.

"Oh iya, aku bawa sesuatu!" ucap Gia bersemangat.

Clea menatap penasaran Gia, sedangkan Arilos bersikap biasa saja. Clea merapatkan tubuhnya ke arah Gia, melihat apa yang gadis itu bawa.

"Tapi aku bawanya cuma satu," ujar Gia sedih, menatap tak enak ke arah Clea yang sudah beringsut sedikit menjauh.

Clea sudah sadar jika itu bukan untuknya memilih menjauh, sudah dia duga untuk siapa gelang berwarna hitam itu, gelang yang sama yang Gia pakai.

"Ini aku beli waktu di Bali, sayangnya aku cuma beli dua. Ini satunya aku pakai!" Gia menunjuk gelang yang sama yang berada di pergelangan tangannya dengan senyum lebar. Arilos tersenyum, membalas senyum Gia.

"Makasih." Pemuda itu menerimanya, memakainya langsung di depan Gia dan Clea.

Clea tak dapat mendeskripsikan bagaimana perasaannya saat ini. Sakitkah? Atau bisa saja. Clea sendiri bingung, tetapi yang pasti hatinya sedang tak baik-baik saja.

"Lain kali aku juga bakal bawain kamu." Clea mengangguk sebagai jawaban, dengan mata yang masih tak lepas dari gelang yang Arilos kenakan.

Dalam hati Clea tertawa, menertawakan dirinya. Sepertinya dia memang hanya orang bodoh yang selalu ada di mana-mana untuk disakiti.

"Kamu suka?" Arilos mengangguk dengan senyum tulus.

Clea mengepalkan tangannya, berusaha mati-matian menahan air mata yang dengan kurang ajar ingin turun.

"Aku ke toilet sebentar!" Clea berlari kecil meninggalkan kedua manusia berbeda gender itu.

Sesampainya di toilet Clea menyenderkan tubuhnya di salah satu tembok bilik, tangannya masih mengepal kuat menahan air matanya. Clea tak ingin mereka tau jika saat ini Clea tak baik-baik saja. Pasti mereka akan senang melihat Clea secengeng ini.

"Apaan, sih!" Clea menepuk pipinya sedikit kasar, berusaha menenangkan dirinya. Walau begitu Clea tak dapat mengelak, jika semua ini begitu menyakitkan.

***

"Makasih tumpangannya," ucap Arilos kepada Gia.

"Sama-sama," balas Gia dengan senyum yang menghiasi bibir tipisnya.

Memang hari ini mereka bertiga belajar bersama di kafe dengan sopir Gia yang mengantar mereka, karena Gia mengajak Clea ikut serta dengan mereka.

"Hati-hati!" Gia mengangguk dan menutup kaca jendela mobilnya.

Sekarang hanya ada Clea dan Gia serta sopir Gia. Clea memilih diam, tak tau harus berkata apa. Karena dia dan Gia memang tidak sedekat itu.

"Arilos baik, ya?" Suara Gia memecahkan keheningan.

"Aku seneng punya temen kayak kalian, apa lagi Arilos." Clea memandang wajah Gia, melihat jelas binar kebahagiaan dari mata gadis di depannya. Clea rasa itu cukup menjelaskan bagaimana perasaan gadis itu.

"Kamu deket banget ya dari SMP sama Arilos?"

Walau sering mendengar kabar kedekatan dua orang itu, Gia masih penasaran dengan jawaban Clea.

"Iya, gue sekelas sama Arilos dari SMP." Gia menatap takjub ke arah Clea. Pantas saja dia melihat Arilos dan Clea sangat dekat.

"Wah, kamu beruntung banget. Pasti dia sering ngajarin kamu, soalnya aku denger dulu kamu selalu diperingkat bawah." Tidak ada nada rasa bersalah dari kalimat yang ke luar dari bibir gadis di depannya. Clea sampai tak tau, sebenarnya Gia memang sengaja, atau memang gadis itu selalu bersikap seperti itu.

"Maaf aku enggak maksud—" Setelah menyadari raut tak biasa dari Clea, Gia tersadar jika ucapannya terlalu berlebihan.

"Gue tau, kok. Emang bener Arilos banyak ngajarin gue, dan sekarang lo juga." Clea menepuk beberapa kali bahu Gia sembari tersenyum.

"Udah kewajiban aku, kitakan teman!" Clea mengangguk, kali ini tanpa senyum dipaksakan.

Sebenarnya Clea memaklumi perasaan Arilos pada Gia, siapa yang tidak jatuh cinta dengan gadis secantik dan sepintar Gia. Gia juga selalu terkenal sebagai gadis baik dan ramah, bukan seperti dirinya.

Sepertinya lagi-lagi Clea dibuat iri dengan Gia. Dibandingkan dengan Gia, Clea bukanlah apa-apa. Apa lagi beberapa berita menyebarkan jika Gia bukan putri dari orang sembarangan, sedangkan Clea hanya lahir dari keluarga broken home.

Buntu banget mau nulis apa lagi hehe
Semoga suka
Jangan lupa follow instagram @dillamckz

Sepotong Hati untukmuWhere stories live. Discover now