38. The Cabin

5 0 0
                                    

"Buaya akan lebih agresif jika musim kawin tiba." Seorang laki-laki berujar menatap nanar pada lubang pembakaran binatang bertelur itu. Ia lantas menoleh kepada Aisha.

Suhu udara di tempat ini terasa lebih panas, wajah mereka praktis memerah baik akibat suhu tinggi maupun pantulan cahaya dari lubang tersebut, pun suara percikan kayu lapuk bercampur bau terbakar dari daging hewan reptil mengusik indera penciuman. Tidak lama dari itu, pria lain datang tergopoh sambil memanggul seonggok jasad buaya dan melemparkannya ke kobaran api membuat sentakkan hingga lidah kuning kemerahan itu menari lebih besar. Lantas orang itu kembali pergi.

"Saya masih ngga percaya kamu bisa mengalahkan mereka," lanjutnya.

"Ada potongan jasad manusia di sana!" Seorang datang berlari dari arah berlawanan. Wajahnya yang putih semakin terlihat pucat, pun dadanya berdegup sepuluh kali lebih cepat.

"Mayat?" tanya rekannya.

Si pria mengagguk sembari menegak liur. "Iya, sumber bau yang di katakan Aisha adalah sisa-sisa tubuh manusia. Sepertinya buaya-buaya itu sempat memangsa orang sebelumnya."

Empat orang lainnya saling berpandangan. Serta merta mereka berlari menuju tempat yang dimaksud.

Benar saja, sesampai di area yang dimaksud aroma menyengat langsung menggelitik hidung keempatnya, perhatian semua orang lantas tertuju pada tumpukan daun dan rumput kering berbentuk bulat. Bukan hanya itu mereka juga menemukan sobekkan kain dan beberapa aksesoris penampilan. Bagian tubuh yang tersisa hanya potongan jari, irisan kulit dan yang paling mengerikan adalah penggalan kepala manusia. Wajah dan rupa sudah tidak bisa diidentifikasi-prosesi pembusukan telah berjalan.

"Astaga, ayo kita evakuasi!" Sang pemimpin memerintah.

Aisha tidak terlalu memperhatikan ketiga pria itu lagi, ia kini sibuk dengan beberapa benda peninggalan korban. Ada jam tangan, telepon seluler dan sebuah cincin kawin. Aisha memilih menyimpan benda melingkar itu di saku bajunya.

"Aisha ayo!" Panggilan dari pria bertubuh paling mungil memerintah si gadis untuk mendongak.

"Ayo kita pergi dari sini!" lanjutnya.

Tanpa banyak bertanya Aisha menurut. Pria itu memperkenalkan diri sebagai Prabowo- seorang polisi hutan. Ia dan dua rekannya sedang berpatroli. Hal itulah yang membuat Aisha mau tidak mau harus bersama dengan mereka. Gadis ini tidak pandai membuat alibi juga tidak bisa mengelak, dia memang tersesat.

Keberadaan polisi hutan di sini mungkin bertanda baik. Orang-orang itu akan tertarik dengan pembahasan mengenai pembalakan liar.

"Saya terpisah dengan kelompok saya karena kami bertemu dengan grup penebang liar, mereka mengejar hingga kami terpisah."

"Penebang liar?" Prabowo bertanya dan diamini dengan anggukan kepala dari Aisha.

"Ya, kami juga tahu itu, yang viral beberapa bulan lalu,'kan?" Laki-laki bername tag Taberi menyela. "Bukannya dalangnya sudah tertangkap?"

"Mungkin saja orang yang kalian temui warga sekitar dan kalian membuat satu atau dua kesalahan hingga mereka marah dan mengejar kalian," sambung satu pria lain. "Orang-orang Kalimantan itu kental sama tradisi dan selalu memegang teguh kepercayaan nenek moyang."

"Kami ngga mungkin salah. Bisa saja dalang sebenarnya belum tertangkap." Aisha bersikeras.

Tiga orang itu tercekat. Tetapi Prabowo segera mengambil alih pembicaraan.

"Jadi, rumor itu sudah sampai ke telinga orang luar. Beberapa hari lalu, ada laporan kalau pembalakkan liar kembali terjadi. Namun tidak ada bukti yang menguatkan, jadi saat ini kami tidak bisa memutuskan kebenaran rumor itu."

Raihan: The Great IssueWhere stories live. Discover now