"Terimakasih, karena kamu begitu baik selama ini menjaga Sania. Soal foto di kamar Sania yang kamu tanyakan,"

Ucapan Nyonya Farah terjeda. Matanya yang beberapa menit lalu berkelana kini kembali berhenti menatapku.

"Dia putri saya."

****
Setelah mendengar jawaban Nyonya Farah, aku tak lagi tertarik mendengar kelanjutannya. Rasanya belum siap hati ini menerima kenyataan  bahwa wanita itulah ibu kandungku.

Seperti prajurit yang mengalami kekalahan, aku berjalan lunglai tak tentu arah. Padahal dalam perjalanan untuk bertemu wanita itu tadi, aku begitu optimis mendengar hal yang sebenarnya.

"Kamu putri saya."

Satu pesan masuk yang hanya kubaca sekilas. Ponsel itu kumasukkan ke tas kembali. Melanjutkan langkah menuju rumah yang masih jauh.

Sebuah mobil berwarna merah mencolok tiba-tiba saja menghampiriku dari arah depan. Mobil yang harganya ratusan juta itu berhenti membuat langkahku terjeda.

Terlihat pemuda berambut ikal berkacamata hitam keluar dengan senyum mengembang. Pemuda berkemeja slimfit itu berjalan santai ke arahku.

"Sarifah?"

Dia tahu namaku.
Sebentar, seperti tak asing?!

"Hello... Sarifah 'kan?"

Akhirnya aku ingat, dia Wira. Anak Cik Susi.

"Iya." jawabku pelan.

"Oh my God. Akhirnya kita ketemu. Dari mana kamu? Kenapa jalan kaki?"

Dari pertemuan pertama ini aku langsung bisa menyimpulkan kalau pria maskulin di hadapanku ini tipe orang yang gampang sekali akrab dengan siapapun, meskipun itu orang baru di kenal.

"Maaf, Wira. Aku belum bisa ngobrol banyak sama kamu."

"Oke. Kamu terlihat sekali sedang muram. Kecapekan? Bagaimana kalau aku antar pulang?"

Aku menatap ragu. Heran melihat sifat pemuda itu.

"Nggak."

"Janji, aku nggak bakal tanya apapun. Aku akan antar kamu sampai rumah tanpa bicara apapun."

Akhirnya aku mengangguk. Tenagaku seolah terkuras habis setelah mengetahui kebenaran yang tadinya kukira gampang kuterima itu.

Tubuhku melesak masuk ke mobil mahal itu dengan tanpa semangat. Duduk di kursi belakang, sementara Wira menyetir di depan.

Mobil itu melaju cukup pelan, dan Wira menepati janjinya. Selama perjalanan dia hanya diam, tapi aku tahu dia sempat curi-curi pandang melalui kaca spion.

"Terimakasih, Wira."

Wira membukakan pintu mobil untukku. Pemuda itu tersenyum manis tanpa menjawab.

Lalu tak lama kemudian pemuda itu berlalu beserta mobilnya.

"Kita harus ketemu lagi."

"Saya hutang penjelasan sama kamu."

Ponsel itu kulempar ke kasur sebagai pelampiasan.

Kenapa seperti ini rasanya?

  Berselang beberapa menit ponsel itu berdering. Nomor baru. Tapi aku enggan menerimanya. Mungkin saja itu Nyonya Farah yang berusaha menghubungiku.

Aku belum siap.
Mentalku belum bisa menerima penjelasan yang mungkin saja berbeda dengan versi ibu.

Ada rasa takut kalau-kalau penjelasan Ibu selama ini terbantahkan oleh penjelasan Nyonya Farah.

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang