37. Island of a Thousand Rivers

3 0 0
                                    


Raihan berjalan paling depan bertugas memutuskan rute diikuti Aldo dan paling bontot adalah Kayla----berjalan agak jauh dari dua pemuda lainnya.

"Kamu bau amis, jalan lima puluh meter dari kami!" Begitulah titah mutlak Aldo beberapa waktu lalu.

Kayla sebenarnya ingin protes namun ia tahu darah adalah salah satu sumber ketakutan terbesar manusia dan dirinya berlumur cairan itu, siapapun akan merasa tidak nyaman jika berada di dekatnya---meskipun tidak mengidap hemophobia.

Mengetahui fakta bahwa diantara Aisha dan Marni ada yang menjadi tawanan para penebang liar membuat suasana hati Aldo dan Raihan jatuh ke titik terendah. Tujuan mereka kini ialah menemukan jalan menuju markas musuh namun sebelum itu harus menemukan sumber air untuk membilas tubuh Kayla.

Mereka memutuskan untuk kembali menjelajahi area di mana Kayla membantai grup penebang liar.

Lutut Raihan dan Aldo seketika seperti jeli. Dua-duanya menatap sinis kepada Kayla yang memasang tampang masa bodo. Tanpa harus berucap pun, wajah dua remaja ini sangat jelas menunjukan keterkejutan bukan main. Meski sudah mengetahui kebengisan Kayla tetap saja pemandangan yang terpampang sekarang membuat keduanya tidak bisa berkata-kata.

Kawasan hutan di sini sangat kotor dengan percikan darah di batang pohon dan ceceran tubuh manusia.

Tiba-tiba, Aldo berlari menuju rimbunan dedaunan. Mulut pemuda itu mengembung dan saat di belakang pohon besar ia kembali muntah untuk kedua kali. Raihan dan Kayla bengong sesaat dengan keadaan demikian.

"Mereka datang dari arah mana?" tanya Raihan setelah Aldo kembali kepada mereka. Entah perasaan atau memang benar adanya, pemuda ini semakin banyak diam berbanding terbalik dengan Aldo yang menjadi cerewet.

"Sana!" Jari telunjuk Kayla mengacung lurus. Serta-merta membuat Raihan membuang langkah ke arah yang disebut.

Tersesat di hutan tanpa alat navigasi adalah momok paling menakutkan bagi setiap orang. Sejauh ini, ketiganya hanya mengandalkan navigasi alami seperti memperkirakan pergerakan matahari untuk menentukkan arah mata angin serta tingkah laku hewan untuk memutuskan tindakan terbaik. Tentu itu saja tidak cukup, hutan tropis borneo terkenal begitu lebat dan liar.

Semakin jauh menjelajah, insting bertahan hidup ketiganya kian menajam. Harap-harap cemas jikalau bertemu dengan hewan buas atau untung-rugi menemukan jejak keberadaan penebang liar.

Hingga dalam satu waktu Raihan berhenti mendadak. Ia lantas menempelkan telapak tangan pada daun telinga.

"Denger ngga?" tanyanya. "Kayak suara aliran air?"

Aldo dan Kayla lalu melakukan hal serupa. Dua orang itu mengangguk bersamaan.

"Akhirnya aku bisa mandi!" Tidak menunggu lama, Kayla berlari menuju sumber suara.

"Euwh!" Kayla bergidik ngeri, bayangan berendam layaknya bidadari di cerita Joko Tingkir hilang seketika saat mendapati sungai berwarna keruh cenderung kopi susu dengan aliran lambat.

"Eh?" Kayla menjadi linglung untuk beberapa saat. Dia merasa ada dorongan kuat di punggungnya. Kayla berteriak spontan ketika mengerti yang terjadi. Nahas beberapa detik kemudian ia mendapati diri telah tercebur ke sungai.

"Mandi, ngga ada penolakkan!" Aldo berujar lantang, menjelaskan siapa pelaku yang menyebabkan kondisi Kayla saat ini.

Sedangkan Raihan menahan tawa dengan kelakuan dua temannya.

"Aku ngga ada baju ganti."

"Di dalam tas ada baju, kamu bisa pakai." Raihan meletakkan ransel di tepi sungai. Membuat Kayla tidak bisa berkelit lagi.

Raihan: The Great IssueWhere stories live. Discover now