Prolog

61 39 75
                                        

"CALVIIN!"

Sebuah seruan menggema di seluruh penjuru ruangan. Wanita yang sudah memiliki kerutan di kulitnya ini berkali-kali menahan napasnya yang memburu akibat putra sulungnya yang tak kunjung memunculkan batang hidungnya.

"Iya mamah Mega yang cantik, sebentar lagi!"

Gelisah. Hanya itu yang Calvin rasakan. Ia ingin sekali menunggu lingkaran di ponselnya itu berakhir.

"Sebentar-sebentar, nanti satu abad kamu baru kesini!"

Calvin yang mendengar itupun bergegas menghampiri wanita yang telah mengganggu jadwalnya malam ini. Bahkan ia tak lagi memedulikan lingkaran yang masih setia berputar di layar ponselnya. Sembari berdecak lelaki itu bersiap-siap, lantas memasukkan ponsel ke dalam saku setelah keadaan ponsel itu telah di lockscreen sempurna.

"Kamu lupa hari ini hari apa? jam berapa? jadwal kit-"

"Iya mah, aku ingat."

Ucap Calvin, memutuskan pembicaraan Mega. Putra sulungnya sekarang sudah memunculkan batang hidungnya. Tepat sekali! dua jadwal Calvin malam ini telah bertubrukan. Melihat Mega yang sudah berjalan keluar rumah, Calvin mengekori wanita itu hingga sampailah mereka di sebuah bangunan tua sederhana. Klasik. Itulah kesan pertama saat Calvin berusia lima tahun.

"Kamu lama banget, Papah sama Arin udah di sana."

Calvin hanya berdeham tanpa melirik wajah Mega. Sudah biasa kejadian Farenheit, suami Mega, dan Clarin alias Arin, adik dari Calvin Farenheit, selalu berangkat lebih awal karena Farenheit bertugas dalam pelaksaan ibadah malam ini. Tidak selalu, hanya saja ini adalah giliran Farenheit setelah beberapa puluh putaran yang telah bertugas sebelumnya. Pendeta. Itulah sebutan pekerjaan yang kini Farenheit duduki. Ibadah malam ini di ikuti dengan penuh khidmat oleh umat di dalamnya. Waktu demi waktu telah di lewati sampai pada dimana waktu ibadah itu berakhir.

Calvin melangkahkan kakinya mendekati dua lelaki yang sedang bertukar cerita. Penuh senyum, Calvin menyapa kedua lelaki di hadapannya.

"Eh Ical, lo udah nonton belom?" tanya Aldi sembari menepuk salah satu pundaknya.

Lelaki yang memiliki rambut gelombang serta bertubuh tinggi, berisi.

"Gue udah nonton! parah itu seru banget!" seru Gio bersemangat.

Perkenalkan, inilah Gio yang biasa dijuluki playboy kelas kakap. Entah berapa jumlah ia telah memutuskan hubungan dengan gadis-gadis di luar sana. Lebih jelasnya bisa di sebut mantan.

Calvin hanya bisa terdiam tanpa sedikitpun membuka suara. Aldi memutar bola matanya, jengah.

"Yeh, ni orang napa jadi diem? di laknat lo cal jadi batu?"

" Kok lo rada-rada ya," balas Calvin tak terima. "Jadi gimana filmnya? tentang apa?" alihnya.

"Tentang romance. Ah, udahlah pokoknya lo nonton aja gue males spoiler banyak," jelas Aldi mengibaskan-ngibaskan tangannya ke udara.

"Emang gak salah sih rekomendasi Azam sama Irfan, syukak!" tambah Gio diakhiri dengan nada alaynya.

Kedua temannya hanya saling tatap melihat tingkah konyol Gio. Tanpa disadari, mereka telah sampai dimana mereka harus berpisah. Jalan perempatan terlihat jelas di depan mata. Mereka berpamitan, berjabat tangan satu sama lain diakhiri dengan tepukan di pundak.

Berkali-kali Calvin melihat layar ponselnya. Lingkaran itu masih berputar sempurna.

"Loading-nya lama banget. Dasar hp sialan," monolognya.

Butuh sepuluh langkah lagi agar sampai di depan gerbang rumahnya. Sebuah getaran di ponselnya berpadu dengan nada dering membuat Calvin berdecak kesal. Di angkatnya panggilan yang tertera jelas di layar pelaku dari panggilan itu adalah Mega.

"Hal-"

"Ayo cepat pulang! Mamah sudah masak makanan kesukaan kamu," potong Mega dari seberang sana. Wanita itu sudah kembali ke rumah lebih dulu bersama suami dan putrinya.

"Mamah gak usah nelpon-nelpon, aku ngesot juga udah nyampe."

"Enggak usah bercanda, emang kamu dimana?"

"Ck, udah di gerbang." balas Calvin. Kedua tangannya sibuk membuka selot gerbang serta ponsel yang di apit antara telinga dan pundak. Sedikit berkarat, membuatnya kesulitan untuk membukanya.

"Berisik banget lu buka gerbang doang. berdosa kali itu tangan." protes Mega melirik tajam ke arah pintu keluar.

"Enak aje kalo ngomong Mah, kayak karat aja engga pernah dirawat"

"Yeh, nantangin kamu ya?! Mamah enggak mau bantuin buka itu gerbang" Mega terkekeh.

"Bentar dul-"

Tut!

Sambungan telah terputus dari satu pihak.

Menyebalkan!, batinnya memasang wajah kusut.

*
*
*

Makasih buat yang udah baca, sorry banget kalo di part ini emm apa ya agak freak hahaha.

support trs ya janlup vomentnya!

CALVIND [ON GOING]Where stories live. Discover now