"Aku kira dia akan jadi matemu," bisik Milla yang terhasut gosip dari Vany.

"Tidak, bukan dia orangnya," jawab Nara pelan. Ia sudah menduga sejak awal memang bukan Daniel orangnya. Bagaimana pun, meskipun ada rasa diantara keduanya, semua itu akan percuma di hari Bulan Biru.

Setelah semua Maga dipanggil, akhirnya tiba giliran Nara yang maju ke depan. Ia berjalan perlahan ke tengah-tengah panggung. Keringat dingin mulai membasahi tangannya. Semua orang menatap ke arah Nara. Ia disambut senyum ramah dari Miss Pinky. "Nara Peterson, dari faksi Pikiran. Silakan maju matenya!"

Nara berdiri kaku dengan jantung yang terus berdetak tak karuan. Namun lama menunggu, tidak ada satu pun Maga yang berdiri untuk menghampirinya. Miss Pinky pun mengernyit aneh. "Aku ulang lagi, mate Nara Peterson, silakan maju ke depan!"

Para Maga mulai berbisik. Masih tak ada satu pun yang maju untuk menghampiri Nara. Entah kenapa ruangan besar itu menjadi begitu sesak untuk Nara. Matanya mengedar, berusaha menemukan Pedro yang mungkin saja sedang mempermainkannya. Namun Nara tak menemukan lelaki itu.

"Apa Maga yang seharusnya terikat hari ini sudah hadir semua?" tanya Miss Pinky pada kru yang mendata semua Maga di tempat tersebut.

"Semuanya sudah sesuai data," ucap kru tersebut menunjukkan kertas-kertas di papan berjalan yang dibawanya. Para pemimpin faksi pun mulai beranjak dari tempat duduk mereka. Lalu melangkah turun perlahan.

Nara panik. Tangannya meremas gaun ungu yang ia pakai dengan kuat. Sebenarnya kemana Pedro? Apa lelaki itu tidak datang?

"Apa kau benar-benar sudah bermimpi, Nara?" tanya Miss Pinky dengan serius.

"Aku bermimpi di hari pertama Bulan Biru," ucap Nara tanpa kebohongan sedikit pun.

"Nara Peterson, ikut kami."

Nara menoleh mendapati kelima Pemimpin faksi sedang menatapnya. Lalu mereka berjalan lebih dulu menuju pintu besar yang berada di samping tribun faksi Pikiran. Nara hanya bisa mengikuti di belakang. Nara masih bisa mendengar Miss Pinky segera mengambil alih keadaan dengan melanjutkan acara. "Baiklah, acara penutupan malam ini adalah Pesta Dansa ...."

Banyak Maga yang mulai berbisik dan menatap kasian padanya sepanjang ia berjalan melewati tribun. Ketika Nara berbelok, hendak melewati jalan di samping tribun faksi Pikiran, seseorang tiba-tiba menahan tangannya.

Nara menoleh dan mendapati seorang gadis yang lebih pendek darinya menatap dengan mata berwarna ungu. "Jangan beritahu tentang mimpimu pada mereka! Mereka akan mengurungmu jika tahu matemu tidak ada di sini!" Nara mengernyit bingung dan gadis itu melepaskan tangannya. Membiarkan Nara melanjutkan perjalanannya.

"Bagaimana mungkin matenya tidak datang?"

"Tidak mungkin ada kesalahan dalam data kita!"

"Apa mungkin ada Maga yang tidak bermimpi tentang matenya?"

"Atau mungkin itu bukan Maga?"

Nara hanya diam menatap keempat Pemimpin Faksi berdebat. Prof. Magley, Pemimpin dari faksi Air menatap ke arah Nara yang sejak tadi hanya diam beberapa meter di belakang mereka. Wanita paruh baya itu menghampiri Nara dengan cepat, lalu mencengkram kedua bahu Nara sambil menatapnya serius. "Apa kau benar-benar bermimpi, Nara?"

Nara yang melihat Prof. Magley sepanik itu, mematung sebentar sebelum mengangguk dengan kaku.

"Ceritakan seperti apa mimpimu?" tanya Prof. Magley membuat empat pemimpin lainnya terdiam ingin mendengarkan jawaban Nara.

Namun Nara teringat perkataan gadis yang tak dikenalnya tadi. Gadis itu bilang ia harus merahasiakan mimpinya dari lima pemimpin faksi. Jika dilihat dari warna mata si gadis, sepertinya gadis itu adalah seorang Pelihat Masa Depan. Dan mungkin gadis itu mengetahui sesuatu tentang masa depan Nara.

"Aku hanya bermimpi bertemu lelaki di sebuah hutan," jawab Nara.

"Siapa namanya?" tanya Prof. Winsley. Wanita dari faksi Angin.

"Dia tak menyebutkan namanya," bohong Nara. Beruntungnya tak ada Prof. Charlotte, pemimpin faksi Pikiran yang bisa membaca pikirannya. Ia sendiri tak tahu kemana Prof. Charlotte setelah mereka sampai di ruangan tersebut.

"Apa mimpimu itu di hutan Kabut?" tanya Prof. Magley menatap Nara dengan penuh selidik.

Nara mengernyit. Bagaimana Prof. Magley bisa menebak sebenar itu? Apa hutan Kabut adalah suatu masalah untuk mereka? Namun jika benar, Nara tak bisa menjawab dengan jujur.

"Bukan. Hanya hutan biasa."

"Apa faksi tanah?" tanya Prof. Alger menatap Prof. Hatter di sampingnya.

"Coba periksa lagi siapa yang belum menghadiri acara Pengikatan," ucap Prof. Magley pada Prof. Hatter. Pria paruh baya yang berasal dari faksi Tanah itu hanya mengangguk.

"Kembali ke faksimu. Dan tunggu keputusan kami selanjutnya," ujar Prof. Magley pada Nara.

Nara hanya bisa mengangguk dan meninggalkan ruangan tersebut. Ia masih bisa mendengar keempat pemimpin faksi itu berdebat lagi tentang siapa matenya. "Apa mungkin matenya bukan Maga?"

Nara sendiri tidak tahu siapa sebenarnya Pedro. Dan sepertinya ia harus bertanya pada gadis yang sebelumnya mencegah Nara. Ketika Nara keluar dari Ruang Pengikatan, banyak Maga yang berdansa bersama mate mereka di halaman belakang yang diubah menjadi tempat dansa. Ketika melewati jalanan di kota, banyak toko-toko kuliner dan mall yang terlihat ramai. Belum lagi taman-taman kini diisi oleh berbagai pertunjukan, sebagai perayaan bagi para Maga yang terikat dengan mate mereka.

Nara memutuskan untuk pulang ke asrama. Lagipula ia tak punya seseorang yang bisa menemaninya menghabiskan malam tersebut. Teman-teman Nara tentu saja sedang sibuk dengan mate mereka masing-masing.

Ketika sampai di asrama, Nara langsung disambut pelukan dari Milla. "Kenapa kau sudah pulang? Dimana matemu?" tanya Nara yang merasa Milla pulang terlalu cepat di hari spesial itu.

"Dia ada urusan mendesak di faksinya," ucap Milla. "Kau tidak apa-apa?" Milla menatap Nara khawatir sekaligus iba.

Nara tersenyum dengan susah payah. "Aku tidak apa-apa. Sepertinya ada yang salah dengan data mereka. Mungkin mateku tidak hadir karena sakit."

"Apa kau merasa begitu?" Raut wajah Milla berubah senang. Itu artinya Nara masih punya harapan bertemu matenya. "Coba rasakan apa yang terjadi dengan matemu."

Nara baru ingat kalau batinnya dengan sang mate terhubung. Namun jika benar terjadi sesuatu dengan matenya, seharusnya Nara merasakan sakit atau gelisah yang tanpa sebab. Tapi Nara baik-baik saja. Ia tak merasakan apapun. Lalu sebenarnya dimana Pedro?

-Bersambung-

Hai~ bagaimana dengan bab ini? Comment pendapat kalian yaa 💕maaf kalau ada typo 🙏

Follow juga ig author, saelsa_white untuk info lainnya mengenai cerita author.

Tunggu part selanjutnya yaa 💕

Salam Fiksi, Saelsa White

Red Stone - Romance Fantasy (The Other World)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang