"Apakah Saudara tahu tiga distributor yang bekerja sama dengan perusahaan terdakwa?" timpal hakim anggota lain.

Yang ditanya menggeleng. "Tidak. Saya tidak sempat mengecek tiga distributor tersebut, Yang Mulia. Itu saja saya mendapat melalui email Pak Mawardi selaku kepala pengadaan barang. Dan email tersebut hanya bisa diakses oleh beliau. Kemudian saya mendapat arahan dari beliau untuk menggunakan harga pembanding tersebut."

Bakal sulit nih, batin Sherly mendengar penuturan saksi. Tapi, dia sudah tahu jikalau tiga distributor abal-abal itulah menjadi akar permasalahan.

Selanjutnya, saksi juga menerangkan tentang uang tips yang diberikan oleh Gatot sudah meloloskan harga yang sudah dibuat. Sampai tiga distributor abal-abal yang dikarangnga menang pelelangan. Sementara barang yang dipesan ternyata dimodifikasi kemasannya agar tidak serupa dengan barang yang berasal dari PT. Asa Sehat. Jika ditilik, Gatot bisa memperoleh keuntungan tiga kali lipat dari tiap barang yang dikirim ke rumah sakit tersebut.

"Udah, Ma, Sherly kenyang," tukas Sherly lalu meraih gelas dari sisi kanan. Mengikuti keterangan saksi melalui televisi saja sudah menimbulkan rasa kering di kerongkongan. Diteguk air putih sampai habis tak tersisa.

"Sher ..." panggil Sarah. "Abangmu lusa akan pulang buat cuti tahunan. Mama ingin kita punya quality time, mungkin di Yogyakarta atau Lombok?" lanjutnya memberikan ide berharap sang putri mau meluangkan sedikit waktu untuk keluarga di sela kesibukan.

"Sherly harus kerja kalau udah sembuh, Ma," kilah Sherly berusaha menghindari ruang yang mendekatkannya dengan Sarah. Meski wanita paruh baya itu telah menunjukkan dedikasi sampai bisa menguak siapa yang hendak membunuhnya, tetap saja hati kecil Sherly merasa asing. Entah butuh waktu berapa lama lagi agar semuanya kembali seperti dulu sewaktu di Bekasi. Saat hubungan mereka tak retak akibat skandal cinta terlarang Sarah.

"Kamu kan juga enggak langsung kerja, Sher," ucap Sarah. "Apa Mama masih belum bisa meyakinkan kamu? Mama yang menangisi kamu saat enggak sadar kemarin, Sher. Mama harus apa lagi biar kamu mau memaafkan Mama?"

"Ma, Sherly enggak pengen bertengkar. Sherly juga butuh waktu sampai semua masalah ini selesai. Bukan hanya sama Mama tapi Eric juga!" gertak Sherly mulai emosi. "Kalau Mama merasa enggak dihargai, Sherly minta maaf! Oke!"

Bibir Sarah terbungkam, buru-buru membereskan alat-alat makan itu seraya membesarkan hati lagi menerima sikap dingin Sherly. Memang tidak mudah mengembalikan kepercayaan anak bungsunya dibandingkan dengan Barra. Tapi, Sarah yakin, suatu hari nanti Tuhan akan membukakan pintu hati yang terkunci untuknya. Lagi pula, Eric saja baru bisa menaklukan kembali si gadis keras kepala setelah beberapa waktu lamanya. 

Diam-diam, Sherly merasa tak enak hati setelah memperlakukan sang ibu yang bersedia merawatnya dari koma sampai terbangun dari batas kematian. Dia menarik napas sebanyak mungkin, mencoba menurunkan ego yang selalu menguasai diri. Bayang-bayang masa lalu yang pernah dialami Sherly waktu itu tak pernah bisa dilupakan, walau lidahnya begitu ingin memaafkan wanita yang sudah bertaruh nyawa tuk melahirkannya. Dilirik Sarah tengah mencuci tangan di wastafel, membatin jika tubuh itu makin lama makin renta namun hingga detik ini masih harus memeras keringat demi kebutuhan rumah tangga. Gadis itu mendongak, pikirannya mendadak saling melempar hujatan. Apakah dia sudah terlalu kejam? 

"Mungkin ke Lombok ide bagus," ujar Sherly tiba-tiba. "Gili Trawangan?"

Sarah berpaling, menyatukan alis beberapa saat sambil mengeringkan tangan dengan tisu, kemudian wajahnya langsung bersinar mendengar ucapan Sherly. Dia menyengguk dan berkata, "Boleh. Abangmu dari dulu pengen ke sana belum pernah kesampaian."

"Cih, Bang Barra punya duit banyak cuma bisa disimpen aja enggak pernah buat healing. Kayak enggak hafal sama anaknya sendiri," sindir Sherly. 

"Buat nikah, Sher. Dia pulang sekalian mau ngenalin seseorang ke Mama," kata Sarah mengambil ponsel yang tergeletak di atas sofa. Lalu menunjukkan kepada Sherly sebuah foto gadis manis berseragam tambang oranye mencolok bersama putra sulungnya. Di sana mereka tertawa sambil mengacungkan jempol kanan. "Manis kan?"

Hard Desire (END)Where stories live. Discover now