3

1.1K 120 11
                                    

"Najong!" pekik Sandra melalui sambungan telepon usai teman satu kantornya itu memanggil sebutan sayang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Najong!" pekik Sandra melalui sambungan telepon usai teman satu kantornya itu memanggil sebutan sayang. "Geli gue!"

"Apalagi gue," tandas Sherly masuk ke dalam mobil Honda Brio putih dan menekan loudspeaker .

"Gue ogah punya cewek mak lampir kayak lo," sembur Sandra.

"Gue juga males punya cewek jorok mata duitan kayak lo," balas Sherly meraih botol mineral dari drink holder, meneguk cepat melintasi kerongkongan yang terasa kering setelah percakapan tak pentingnya dengan Eric. Beruntung panggilan dari Sandra bisa mengakhiri dan seakan Tuhan tahu kalau Sherly enggan berlama-lama melakukan kontak dengan lelaki sok ganteng itu. "Tapi, gue sayang sama lo, Nek."

"Gue juga, Mak," kata Sandra cekikikan. "Gue sampe lupa mau nelepon lo buat apa. Udah ah, gue tunggu di kantor!"

Sambungan telepon terputus, Sherly menghela napas panjang dan mengembuskan melalui mulut mengeluarkan segala kerisauan yang menggerombol dalam dada. Mengelus lengan yang tertutupi blazer cream berpotongan tiga perempat yang sempat dipegang sang mantan. Beruntung Eric tidak mendengar betapa keras debaran dadanya. Selain itu, ada sisi positifnya juga selama pelajaran di kampus kalau para pengacara harus menunjukkan wajah tegas di depan lawan agar tak terlihat kalau mereka sedang terpojok. Walau Sherly tak yakin berapa lama lagi dia akan bertahan menghadapi sikap keras kepala Eric yang masih saja menjejalinya alasan kepergian gadis itu lima tahun lalu.

Seraya menyalakan mesin mobil kemudian melaju menuju kantor, pikiran Sherly terpusat pada sosok Eric. Seberapa pentingnyakah hubungan di masa lalu dari sisi pandang Eric? Bukankah lelaki sepertinya akan lebih mudah menggaet lawan jenis, apalagi bibirnya mampu meluncurkan ratusan rayuan yang bisa membuat mereka bertekuk lutut? Lantas, kenapa pula Eric harus bersusah payah mengejar Sherly hanya karena rasa ingin tahunya? Apa perlu Sherly menuliskan seratus alasan yang membuatnya memutuskan meninggalkan Eric agar lelaki itu segera menjauh?

Kepala Sherly menggeleng pelan. Dia tahu Eric bukan lelaki yang mudah menyerah walau ada jutaan alasan yang akan dikatakan Sherly. Gadis itu paham apa yang tengah dicari oleh mantan kekasihnya. Bodohnya, Sherly seperti sedang menggali kuburan sendiri kala mengambil kasus ini. Seharusnya dia tolak saja seperti kebiasaannya di kantor cabang agar tak perlu bertemu Eric yang terus-menerus meminta pertanggungjawaban atas rasa sakitnya lima tahun lalu. Setelah lelaki itu tahu kebenarannya, lalu apa? Memohon ampun agar hubungan mereka membaik walau statusnya sebagai mantan?

Tidak!

Dalam kamus percintaan Sherly, tidak pernah sekalipun ada keinginan untuk menjalin pertemanan dengan orang di masa lalu yang sudah membuat hidupnya terseok-seok. Sherly sudah mengikrarkan diri dan membangun tembok tinggi untuk tidak membiarkan Eric mencari celah dan masuk ke dalam hatinya seperti dulu. Lagi pula, di dunia yang memiliki milyaran lelaki ini, banyak yang rela antre mengajaknya kopi darat sampai merogoh lebih dalam isi dompet demi menyenangkan hatinya. Bak bunga penuh nektar yang tak akan habis diisap oleh para lebah kelaparan, Sherly tak perlu bergalau ria hanya karena kehilangan satu pria.

Roda empat bercat putih itu berhenti di area parkir gedung SCBD berbarengan dengan notifikasi WhatsApp dari Sandra. Gadis yang rambutnya dicat cokelat gelap itu menyunggingkan senyum miring membalas pesan teks dari temannya dengan ikon hati dan jempol. Kebetulan malam ini jadwalnya sedikit longgar untuk menerima ajakan makan malam seorang pengusaha batik di Jakarta. Selain teman satu kantor, Sandra adalah mak comblang yang lebih mirip mucikari yang mengobral kecantikan Sherly.

Hidup hanya sekali jadi gunakan waktu sebaik mungkin untuk bersenang-senang. Itu moto hidup sang pengacara tiap menerima tawaran dari para buaya. Sayang, di antara para pengejar wanita itu, Sherly kerap kali mendapat tawaran untuk menjadi pendamping hidup. Berhubung, dia belum siap berkomitmen apalagi mengurus anak dan suami seumur hidup. Pada akhirnya, Sherly terpaksa menjadi neng ghosting sampai mendapat umpatan kalau gadis bertubuh langsing itu terlalu jual mahal.

Hei, apakah salah menolak laki-laki? pikir Sherly tak terima. Bukankah mereka juga melakukan hal yang sama dengan menebar daya tarik sampai memberikan harapan yang tidak bisa ditepati. Apa mereka pikir perempuan hanyalah manusia pemuas nafsu saja yang tunduk jika diberi segepok uang dan janji belaka. Ah, jika seperti itu, tak salah juga kalau angka perceraian sekarang makin meningkat. Terlebih pernikahan di jaman sekarang seperti selembar kertas yang ditanda tangani oleh dua manusia, bukannya mengikat janji di depan Sang Pencipta.

Selagi berjalan menuju kantor firma hukum di lantai lima tempatnya mengabdi, Sherly mendapat telepon dari salah satu lelaki yang sudah mengajaknya kencan buta. Hebatnya, meski sudah menghapus kontak dan memutus komunikasi, otak cemerlang Sherly mengingat nomor para buaya.

"Apa lagi?" ketus Sherly. "Gue udah punya cowok nih jadi enggak bisa jawab telepon enggak penting dari lo. Udah ya, gue sibuk!" Dia kembali mengakhiri percakapan itu dan memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Dua bulan lalu, Sherly terpaksa menghapus nomor kontak Indra--lelaki berprofesi sebagai pemilik toko roti yang bolak-balik mengajaknya kencan lagi seperti tadi. Dia mencebik dan mengira kalau mode menghilang dan menghapus kontak sudah tak mempan. Sherly harus memutar otak untuk mencari cara lain agar tidak terhubung dengan pejantan kurang kasih sayang itu.

###

"Sher, ini ada kasus baru." Sandra menyerahkan sebuah berkas perkara kepada Sherly. "Pelecehan seksual di ojek online."

"Hadeh, kenapa otak cowok jaman sekarang makin enggak bener aja?" omel Sherly membaca cepat berkas itu.

"Korbannya pegawai bank swasta, kasihan dia sampai trauma," tambah Sandra mengabaikan keluhan Sherly dengan memberikan sebuah rekaman data. "Terus ini, dia bawa beberapa bukti termasuk video rekaman di flashdisk. Ah, iya ... kenapa lo tadi manggil gue sayang? Lo ketemu cowok kopi darat lo? Seingat gue ... gue enggak pernah ngenalin lo sama pengacara atau jaksa. Lo kan bilang sendiri anti-jaksa."

"Bisa enggak lo tanya gue satu-satu, Nek?"

"Habisnya ... lo tahu kan gue itu enggak sembarangan ngenalin lo, kecuali si Indra kampret itu," ucap Sandra. "Dia enggak neror lo lagi kan?"

"Apaan, tadi aja dia telepon gue. Lama-lama gue potong juga burungnya," ancam Sherly kesal. "Oh iya, masalah tadi gue ketemu--"

Tak sempat melanjutkan ucapannya tentang Eric kepada Sandra, ponsel Sherly lagi-lagi berdering. Lama-lama dia mirip customer service yang tidak bisa mengistirahatkan telinga barang sedetik pun. Melihat nomor asing yang muncul di layar handphone, mata bulat Sherly menyipit bersamaan sel-sel dalam otaknya membuka berkas demi berkas kiranya siapa yang memiliki nomor unik itu.

"Kayaknya enggak ada deh," gumam Sherly. "Apa telepon dari pinjaman bodong?"

"Siapa?" bisik Sandra penasaran melihat nomor asing yang masih muncul di layar ponsel Sherly. "Jawab aja, kalau ada yang bilang 'Mama minta pulsa' gue yang pasang badan."

Sherly menggeser ikon hijau dan suara bass dari si penelepon langsung terdengar. "Oh, enggak diblokir ternyata." Berikutnya si pemilik suara itu langsung mematikan sambungan telepon membuat Sherly membeliak mengenalinya.

"Ah! Si anak mami lagi!" gerutu Sherly ingin mencakar wajah Eric saat ini juga.

Hard Desire (END)Where stories live. Discover now