28. Bertemu Mertua

450 27 2
                                    


Semalaman penuh rindu itu sedikit terbayarkan karena Davit tidur dengan mendengar suara deru napas istrinya. Meski saling berjauhan, Davit merasa istrinya sangat dekat. Namun meski sedikit rindu itu sudah terobati, masih ada rindu sebagian yang harus dituntaskan. Rindu harus dibayar tuntas sama halnya janji yang harus ditepati. Davit menghidupkan hpnya, panggilannya masih tersambung dengan Lintang. Suara erangan kecil terdengar di telinga Davit. Davit tersenyum simpul, ia menebak Lintang baru bangun.

"Lintang," panggil Davit. Tidak ada jawaban, hanya ada suara seperti gerakan dari seberang sana.

"Lintang," panggil Davit lagi dengan lembut.

"Eh ... hallo," jawab Lintang buru-buru.

"Em, bimbingan nanti jam sebelas, ya. Aku lagi kosong jadwal. Aku tunggu di kampus," ucap Davit. Davit kini tidak memakai panggilan formal Saya dan kamu. Melainkann pakai Aku kamu.

"Hem," jawab Lintang. Davit menatap hpnya, Lintang mematikan sambungan teleponnya dengan sepihak.

Davit menatap langit-langit kamarnya, perasaannya sedikit lebih baik dari kemarin. Buru-buru Davit ke kamar mandi, ia akan ke kampus untuk mengajar. Nanti jam sebelas ia tidak ada kelas, Davit akan menanti jam sebelas tiba untuk bertemu dengan Lintang.

Davit tidak mempedulikan wajahnya yang babak belur, ia tetap ke kampus. Davit membatalkan cutinya karena ia sudah bisa berkomunikasi dengan Lintang.

Di sisi lain, Lintang sudah siap dengan baju casualnya, perempuan itu keluar kamar seraya menyeret kopernya. Lintang akan pindah mencari kost-kostan. Saat menuju ke dapur, Lintang terdiam membeku saat mendengar suara orang bertengkar di sana.

"Kamu pikir siapa yang bos siapa yang bawahan, hah? Kamu pulang kampung satu minggu lebih gak balik-balik. Kamu udah gak butuh uang?" teriak suara Aidan yang membuat Lintang membulatkan matanya.

"Maaf, Pak. Aku bantu Ibu panen pete. Nih aku bawain pete, pasti Pak Aidan Suka," ucap suara seorang perempuan.

"Kamu pikir aku bisa kamu sogok dengan pete?" teriak Aidan lagi.

"Pak sabar, Pak. Jangan marah-marah nanti terkena stroke, sekarang sakit stroke menyerang tidak kenal usia," ucap perempuan itu lagi.

"Kamu yang buat saya punya penyakit stroke, Lolita Gendis Mustika!" teriak Aidan yang semakin mencak-mencak. Aidan membuang pete ke sembarang arah saking emosinya dengan ART-nya yang pamit pulang kampung tiga hari malah satu minggu baru kembali.

"Mas Aidan," panggil Lintang membuat Aidan dan perempuan yang dipanggil Lolita Gendis itu menolehkan kepalanya.

"Eh Lintang, maaf kamu kebangun karena suara teriakan ku ya?" tanya AIdan yang mendekati Lintang.

"Pak Aidan, ini calon istrinya, Pak? Alhamdulillah mamanya Pak Aidan gak marah-marah lagi karena dikira Pak Aidan gak laku," ucap Gendis mendekati Lintang. Gendis menatap Lintang dari atas sampai bawah, di mata perempuan itu seolah mengagumi Lintang.

Lintang pun menatap Gendis yang sepertinya masih belia, Gendis sangat cantik dan manis sesuai namanya yang artinya gula.

"Mbak, kenalkan, aku ART-nya Pak Aidan. Kalau perlu apa-apa bilang saja sama aku, aku bisa masak segalanya, bisa nyuci baju, nyuci piring dan pijatanku enak banget," ucap Gendis memameran senyumnya hingga memperlihatkan gigi gingsulnya yang membuat Gendis tampak lebih manis.

"Eh iya, aku Lintang. Aku udah mau pergi kok," jawab Lintang.

"Gendis, pergi sana beres-beres kamarku!" titah Aidan memelototkan matanya. Sedangkan yang dipelototi hanya mengacungkan jari jempolnya.

Belah Duren Where stories live. Discover now