3. Perasaan Tidak Logis

673 37 0
                                    

Davit bergegas mengumpulkan berkas yang akan dia gunakan untuk menikah. Sedangkan mamanya sibuk menghubungi kenalannya di kantor urusan agama untuk menikahkan anaknya dengan cepat. Tidak lupa untuk mencarikan wali hakim untuk Lintang. Lintang tampak bingung ketika melihat Davit dan kedua orang tua Davit sibuk sendiri-sendiri. Mama dan Papa Davit tengah menempelkan telepon di telinga masing-masing sembari membahas pernikahan. 

Hukma yang duduk bersama Lintang pun menyenggol bahu Lintang, “Lintang, kamu yakin akan menikah dengan kakakku?” tanya Hukma. 

“Tidak tahu,” jawab Lintang. 

“Lintang, aku sangat senang kamu menjadi kakak iparku, tapi aku juga takut kalau kamu tidak senang dengan pernikahan ini,” ucap Hukma. Lintang menundukkan kepalanya. 
Lintang pun tidak senang dengan pernikahan ini, tapi apa yang bisa dia lakukan? Lintang tahu bagaimana sulitnya di masa kuliah, ia tidak mau karir Pak Davit hancur karena tindakannya yang gegabah. Pak Davit juga menyebutnya tidak manusiawi kalau tidak mau dinikahi. Jujur saja Lintang pusing, kata pernikahan tidak pernah ada di kamus hidupnya. Yang Lintang ingin dia hidup tanpa kekurangan uang agar bisa makan dengan tenang, menggapai impiannya dan sukses di masa depan. Namun sandungan pernikahan malah menimpanya. Mau lari juga tidak mungkin, mama dan papa Pak Davit sudah terlanjur riweh menyiapkan pernikahan. 

“Lintang, ayo kita ke rumah kos kamu. Ambil barang-barang kamu dan pindah ke sini,” ucap Davit yang datang menuruni tangga. Dengan cepat Lintang berdiri, tangannya segera ditarik oleh Davit. 

“Kak, aku ikut!” pekik Hukma. 
“Tidak perlu. Beresin kamar kakak saja!” ucap Davit. Hukma menghentakkan kakinya dengan kesal. 

Hukma merasa bersalah dengan Lintang. Andai saat itu ia tidak menaruh pekerjaannya sembarangan, pasti tidak akan ketahuan kakaknya. Hukma melakukan joki bukan sepenuhnya karena ia butuh uang, tapi ia kasihan dengan Lintang yang keteteran. Namun yang ia lakukan malah membuat Lintang dalam masalah. Hukma mengusap rambutnya dengan kasar. Sekarang kakaknya yang sudah berusia tiga puluh tahun akan melepas masa lajang, tapi kenapa harus Lintang? Gadis yang bahkan tidak pernah pacaran. Hukma kasihan dengan Lintang yang mendapatkan pria se-annoying kakaknya. Sudah tidak ramah, pelit nilai lagi. 

Davit menjalankan mobilnya ke rumah kost yang ditunjukkan Lintang. Sepanjang perjalanan sama sekali tidak ada pembicaraan. Lintang sibuk meremas bajunya dan Davit yang sibuk menyetir. Lintang tahu satu hal lagi, selain kikir nilai, Davit juga pelit suara. Pria itu hanya jakunnya yang naik turun, tapi tidak ada pergerakan apapun dari bibirnya. Ngomong-ngomong soal jakun, Lintang merasa tergiur dengan itu. Bahkan Lintang dengan susah payah meneguk air liurnya. Jakun Pak Davit sungguh menggoda. Tangan Lintang ingin mencubitnya,  tapi Lintang sadar diri. Ia hanya mahasiswi yang gagal sidang karena curang. Kalau dia lancang sudah pasti hidupnya akan jauh sulit. 

“Pak, tidak jauh dari sini belok kiri, rumah dengan pagar hijau. Di situ tempat kos-kosanku, ada di nomor delapan,” ucap Lintang. 

“Em,” jawab Davit yang hanya dengan deheman. Lintang heran, apakah menghemat suara membuat manusia bisa cepat kaya?.

Tidak berapa lama, Lintang dan Pak Davit sampai di kost-an. Dengan segera mereka turun dari mobil. 

Brakkk!

Sebuah koper terlempar dengan mengenaskan tepat di bawah kaki Lintang saat Lintang baru akan masuk di area gerbang. Koper berwarna kuning itu kini teronggok mengenaskan. Lintang dan Davit mendongakkan kepalanya. Mereka melihat perempuan paruh baya tengah memasang wajah garang. 

“Syukurlah kalau kamu datang. Bawa barang-barang kamu pergi dari sini!” bentak Bu Dila, pemilik Kost. 

“Bu, kenapa koper saya dibuang?” tanya Lintang. 

Belah Duren Where stories live. Discover now