Saat melontarkan pertanyaan itu, sengaja aku mengfokuskan diri mengambil gorengan lagi.

"Seperti kamu, " Dia mengucapkannya dengan serius.

Gorengan yang hampir masuk mulutku terjatuh tanpa kusadari. Mataku membulat, sedangkan terasa ada kupu-kupu berterbangan di perutku.

"Tapi bohong hahaha .... "

Senyum yang sudah hampir terbit di bibirku runtuh karena ucapan terakhirnya. Elusan lembut tangannya di kepalaku bahkan tak lagi mampu menebus rasa kecewa yang telah ia torehkan.

Akhirnya aku ikut tertawa sumbang, mengerjap beberapa kali demi menghalau titik-titik di mataku yang mungkin sebentar lagi tumpah.

Aku  mendongak, berusaha agar dia tidak tahu kalau aku hampir saja menangis karenanya.

"Memang siapa cowok yang kamu sukai?" tanyanya setelah tawa kami mereda.

"Kepo." balasku sengit.

El malah tertawa, membuat ia terlihat makin mempesona saja.

Sial.

"Jangan-jangan kamu menyukaiku."

El memiringkan kepalanya tanpa beban, ia tersenyum sambil mengerling.

Sialan!

Kerlingan itu sukses memompa lagi debaran di dadaku.

El, Sialan!

~~~~
     Sudah setahun ini aku bekerja di cafe. Cafe yang El rekomendasikan. Cafe yang sama dengan cafe yang pernah kudatangi saat mencari kerja dulu. Cafe yang pernah ku datangi bersama Bima.

Cafe bergaya modern ini buka dua puluh empat jam. Selalu ramai pengunjung karena tempatnya memang strategis. Harus kuacungi jempol owner yang bisa melihat potensi di tempat ini.

Cafe ini terletak dekat dengan sekolahan, kantor kelurahan, dan pabrik. Jadi jangan heran, selain di kunjungi oleh anak muda yang mau nongkrong bersama teman-temannya, cafe ini juga menjadi tempat berkumpulnya para Ojol.

Termasuk El.

Di rumah, Ibu juga  mendapat karyawan baru. Seorang ibu muda yang mengontrak di belakang rumah, wanita berambut keriting yang kami panggil dengan sebutan Mbak Indah.

Kehadiran Mbak Indah sangat membantu. Dia cukup cekatan dan sangat ramah. Suami Mbak Indah juga terkadang membantu Ibu ketika kerjaannya libur.

El dan teman-teman sesama ojol sedang bercengkrama seperti biasa. Mereka duduk melingkar dan sengaja mencari tempat di pojok, agar pengunjung lain tidak merasa terganggu.

Suara mereka kalau sudah berkumpul memang mengalahkan toa mesjid. Sehingga mereka tahu diri dan memilih tempat duduk yang jarang di lirik pengunjung lain.

"Es teh satu." seru Cak Abdul padaku. Setahun bekerja membuatku mengenal nama mereka satu per satu.

"Mas El, Mbok ya cari pasangan, umur sudah pantes tuh gandeng istri."

Percakapan seperti ini sudah menjadi santapanku sehari hari. Sudah biasa. Mereka akan saling meledek satu sama lain, tapi tidak ada yang tersinggung.

"Kalau aku nikah, kalian harus mempersiapkan amplop tebal. Memang kalian sudah siap."

"Huhuuu ..."

"Gampang itu."

"Tapi Mas El, ceweknya yang di foto itu bukan?"

Aku sedikit tergelitik mendengar pertanyaan yang di lontarkan pria berjaket hijau.

"Foto mana?"

"Itu yang jadi wallpaper hape. Kayak nggak asing."

BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now