prolog

18.8K 676 5
                                    

Isakan tertahan terdengar samar dari balik pintu kayu bertuliskan ukiran nama FRINKA besar - besaran.

Dibalik pintu itu, kamar dengan cat dinding berwarna biru muda tampak bersedih bersama sang pemilik.

Perasaan campur aduk kini yang Frinka rasakan. Baik itu kesal, sedih, kecewa, atau marah. Semuanya menjadi satu dan mengeluarkan butir - butir air mata yang meluapan perasaannya.

"Ka, sarapan udah siap!" Teriak seorang ibu paruh baya atau bisa dipanggil Mama oleh Frinka.

Frinka berdehem untuk menormalkan suaranya. "Iya, Ma!"

Dengan cepat, Frinka bangkit dari duduknya dan segera menuju kaca. Tak lupa ia menyambar obat tetes mata dan  meneteskan cairan obat mata di kedua bola matanya. Ia berharap warna kemerahan itu hilang dengan segera.

Setelah bola matanya berwarna putih kembali seperti biasanya, Frinka memoleskan bedak untuk menutupi muka merahnya sehabis menangis.

Yakin bahwa semua telah tersamarkan, Frinka segera turun dari lantai dua tempat kamarnya berada menuju meja makan.

"Pagi, Ma." Frinka tersenyum.

"Pagi," Balasan normal namun tanpa senyum dari Mama Frinka, Sinta.

"Pagi, Pa." Lagi, Frinka tersenyum menyapa Papanya yang baru saja keluar dari kamar.

Papa Frinka atau Fendi hanya bergumam membalas sapaan dari buah hatinya.

"Aku berangkat dulu." Ucap Fendi kepada istri dan anaknya.

Sinta tersenyum dan mengantarkan suaminya keluar.

"Hati - hati, Papa." Ucap Frinka.

"Kamu juga." ucap Fendi sebelum meninggalkan ruang makan.

Setelah kedua orang tuanya pergi, Frinka menghembuskan nafas antara lega dan kecewa.

"Kamu enggak berangkat? Sudah jam tujuh kurang lima belas, loh." Ucapan dari Sinta membuyarkan lamunan Frinka.

"Aku berangkat dulu deh, Ma." Ucap Frinka setelah memeriksa jam pada pergelangan tangannya.

"Oke, hati - hati."

Frinka mengangguk patuh dan tak lupa memberikan senyum kecil.

*

Kedua kaki Frinka kini telah mengijak halaman sekolah.

Frinka menarik nafasnya dalam - dalam sebelum masuk lebih jauh ke area sekolah.

Selama berjalan menuju kelas, banyak yang menyapa Frinka. Dan tentu saja, sapaan itu Frinka jawab dengan senyum sinis.

"Ka, duduk bareng gue, mau?" Tanya seorang gadis dengan sedikit raut takut melihat tatapan yang diberikan Frinka.

Dengan sebelah alis yang dinaikkan, Frinka mengangguk.

"Duh, gue males, songong tau." Bisikan yang masih dapat Frinka dengar. Namun, Frinka hanya mengangkat bahunya cuek. Sudah sering ia mendengar hal seperti itu. Dan sudah cukup terbiasa.

Mereka hanya sok baik di depan Frinka, namun dibaliknya selalu mencemoh dirinya.

Palsu,

Bukan, bukannya Frinka tidak palsu. Dirinya juga sama palsunya seperti yang lain. Selalu sinis walau sedang buruk.

Frinka selalu memalsukan ekspresinya. Selalu berpura - pura garang, namun sangat rapuh di dalam.

===R===
Halo!
Semoga suka ya!

RealWhere stories live. Discover now