: Cantik

81 58 11
                                    

- ©gladiolamorly -

.

.

Bayangan bangunan-bangunan pertokoan  yang saling menyikut, memanjat kaki langit. Di balik bumbung hitam itu, ada segaris cahaya perak membentuk seperti bentuk garis bibir Nawa saat ini. Melengkung keatas.

Lampu jalanan konsisten melek di sisi-sisian jalan yang butuh penerangan. Sementara lampu motor Josi menyala awas, menyoroti lubang lalu telak menghindarinya. Menciptakan riak kecil yang membuat tubuh Nawa terguncang sedikit. Ia mengeratkan kunciannya di pinggang Hadyan yang kecil.

Lalu ketika mata berbinar itu menemukan hamparan hijau luas dengan pohon-pohon tinggi dipangkas rapi di sisi-sisinya, laju motor Hadyan memelan.

"Lapangan merdeka. Lapangan yang bisa dibilang, jadi pusat kegiatan orang Sengkang. Di pojok sana, ada taman baca. Kalau sore, di sini ramai banget. Ada yang main futsal, berburu wifi gratis, jogging, pacaran, pokoknya banyak."

Nawa mengangguk-angguk. Matanya tak lepas dari garis panjang pedagang kaki lima di pinggiran lapangan. Ada makanan kesukaan Nawa. Bakso.

Hadyan tertawa samar kemudian menepikan motornya, spontan. Lantas berbalik arah, tanpa berbicara banyak. Nawa mengerjap, melihat sekilas ekspresi tersenyum Hadyan dari pantulan spion.

"Kita mau kemana?"

"Kamu kenapa nggak bilang kalau kamu lapar?"

"Kamu kenapa bisa tahu aku lapar?"

"Karena aku juga lapar. Kita mungkin ada ikatan batin."

Mereka berhenti tepat di depan gerobak bakso berwarna biru, dengan pedagang paruh baya berkaos, 'Ayo Vaksin Polio.' Dia tidak bisa menyembunyikan wajah lelahnya di dalam senyum sekilas yang ia perlihatkan pada Hadyan sebelum mengambil dua mangkuk putih dari ember cuci piring.

Hadyan menarik kursi plastik di samping gerobak setelah mengelapnya dengan ujung kaosnya yang kepanjangan. Nawa sempat menepuk pundaknya, menegur. Namun perhatiannya cepat-cepat teralih setelah duduk mengepaskan pantat pada bagian tengah lubang kursi plastik dan mendengar denting mangkuk bakso beradu dengan sendok.

Tangan tua dengan kuku-kuku yang sepertinya sengaja dirawat serius itu, usai merebus mie kuning dan bihun dalam kuah kaldu yang selalu mendidih. Kemudian komponen hijau segar dan Nawa menebak itu adalah sawi dan seledri, terlebih dahulu masuk ke dalam mangkuk bersama bawang goreng dan bumbu bubuk yang sepertinya itu adalah bubuk penyedap rasa.

Kurang tiga menit setelah itu, satu mangkuk yang bagian bawahnya dilapisi piring plastik mendarat manis di tangan Nawa. Tidak ada meja disini karena bisanya, pedagang kaki lima yang gerobaknya dilengkapi roda tidak betah menetap di satu titik apabila sepi. Dan mereka, tentu tak punya cukup banyak tenaga untuk memindahkan meja sementara mereka mendorong gerobak kesana-kemari. Jadi, setiap pelanggan yang memesan bakso diharapkan bisa dan mampu memegang mangkuk mereka dengan tangan kiri dan makan tangan dengan tangan kanan apabila mereka tidak kidal.

Tapi, Hadyan selalu punya cara sendiri untuk memecahkan masalah. Melihat tangan kiri Nawa yang bergetar karena sepertinya panas dari mangkuk merembes hingga ke alas piring plastiknya, ia berinisiatif meminjam satu kursi yang terlantar di pojokan gerobak pedagang siomay sambil tetap mengangkat mangkuk baksonya dengan satu tangan. Tangannya kuat.

Lalu, dengan senyuman ramah ia berhasil menaklukkan watak keras sang pedagang siomay yang rupa-rupanya belum mendapat pelanggan sejak mangkal sore-sore buta. "Buat dua porsi, Mas. Tapi saya pinjam kursinya ya, buat jadi meja pacar saya. Yang satu porsi, jangan dikasih kecap, pacar saya nggak suka."

Sengkang | Haechan NCTWhere stories live. Discover now