Setengah jam kemudian, mobil berhenti. Semua turun tapi hanya Sania yang ngotot tidak mau. Gadis kecil itu bahkan menangis meraung-raung.

Nyonya Farah yang biasanya lembut menghadapi putrinya kali ini seperti hilang kesabaran. Dia menggendong paksa bocah itu tanpa perduli kaki Sania meronta-ronta. Aku yang biasa melihat Sania begitu manis, sedikit kaget, ternyata Bocah ini punya sisi lain yang tidak ku ketahui. Dia  tidak bisa di paksa!

"Dengar Mami,"

Nyonya menurunkan Sania dari gendongannya ke kursi teras,  menatap putrinya tegas.

Sania terdiam, gadis kecil itu menunduk dengan tubuh bergetar, menahan tangis.

"Sania, tatap Mami!" Sania menurut. Berlahan wajahnya terangkat.

"Nenek lagi sakit. Mami harus menengok .... ''

"Ta ... Tapi, Ne ... Nenek, nggak su ... ka sa ... ma, A a.. Adek..., Mi."

Suara Sania terpenggal karena isakan.

"Sari, tenangkan dia. Saya masuk duluan!"

Aku segera mengambil alih Sania yang masih terisak. Tangis bocah itu pecah tatkala aku memeluknya.

***
     Sebuah kasur tua di ruangan berukuran empat kali empat kini terlihat kumuh. Mungkin di karenakan tidak adanya ventilasi udara, ruangan itu menjadi begitu lembab dan pengap. Apalagi bercampur dengan bau air seni manusia. Ruangan ini sangat tidak layak untuk di huni.

Tepat di samping kasur itu, Nyonya Farah berdiri menatap ke arah wanita tua yang sedang terbujur di atas kasur. Wajah bos ku itu datar.

"Kalau Ibu ngotot seperti ini, jangan salahkan aku kalau tidak lagi peduli!"

Suara lantang Nyonya Farah mengagetkanku. Wanita yang di panggil Ibu oleh Nyonya Farah itu tak merespon. Matanya terpejam.

"Ibu, aku sudah berulang kali minta maaf. Kenapa Ibu .... " Nyonya Farah tak melanjutkan kata-katanya.

Sambil menghela napas atasanku itu mendongakkan wajahnya dengan bibir bergetar.  Wanita angkuh itu rupanya tengah menahan tangis.

"Besok, orangku akan membawa Ibu ke rumah sakit. Jangan menolak."

Nyonya Farah seperti bermonolog, karena sejak tadi ucapannya tidak di balas oleh ibunya.

"Dan satu lagi! Ibu boleh membenciku, boleh tidak menganggap aku sebagai anak ibu lagi, tapi tolong, Bu ... Ibu jangan benci anak-anakku. Mereka tidak bersalah!"

Setelah mengucapkan kalimat Nyonya Farah meraih tasnya lalu keluar. Sania yang sedari tadi berdiri di sampingku segera mengikutinya.

Setelah Nyonya Farah pergi wanita tua itu membuka matanya pelan, dia menatap ke arah pintu dengan ekspresi sedih.

"Mau minum?" tanyaku mendekatinya.

Wanita itu menoleh, dia menatapku seperti terkejut.

"Sari, kita pulang,"panggil Nyonya Farah dari arah pintu.

Aku menatap wanita tua itu sekali lagi, memastikan dia baik-baik saja. Lalu saat hendak menutup pintu kamar, wanita tua itu menangis.

***
  Sepanjang perjalanan pulang Nyonya Farah hanya terdiam. Sania sudah tidur di pangkuanku, bocah itu sangat berbeda hari ini.

Dia jadi pendiam.

"Kiri depan, Pak. Itu yang ada tokonya,"

Bukan aku yang bersuara, tapi Nyonya Farah. Membuatku mengernyitkan dahi karena heran. Ketika aku hendak menanyakan sesuatu, Nyonya Farah melanjutkan ucapannya.

"Turun saja." Aku menurut setelah terlebih dahulu memastikan posisi tidur Sania aman.

Setelah aku turun gantian Nyonya Farah naik, duduk di kursi tengah, menggantikan posisiku memangku putrinya.

"Masuklah."

Lagi-lagi tak ada kesempatan bagiku untuk bertanya, Nyonya Farah terlihat letih sekali hari ini

Pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Bos ku itu simple yaitu  Bagaimana dia tahu rumahku?

****
   Pagi ini hujan sangat lebat, Kulihat Bapak masih meringkuk di kamarnya. Sejak berobat dan konsultasi kondisi Bapak sda kemajuan. Bapak sudah jarang sekali merancau.

Kulirik jam dinding sudah jam  setengah delapan pagi.

"Nduk, Sari!"

Suara Ibu berteriak dari arah toko. Biasanya jam-jam seperti ini, barang kulakan Ibu datang. Aku bergegas keluar karena sepertinya Ibu sedang membutuhkan bantuan.

Benar saja, kulihat Ibu sedang kesulitan mengangkat kardus. El menyusul dari belakang memanggul beras.

"Taruh luar saja, Mas. Basah itu."

El terlihat terengah-engah, seluruh tubuhnya basah kuyup.

"Kamu hujan-hujan?" tanyaku.

"Kok hujan-hujan to, Nduk. Kehujanan," sahut Ibu sementara El kini mengatur napas sambil berkacak pinggang.

"Sudah semua, Bu. Ini saya mau ganti baju dulu. Nanti kalau hujannya sudah reda saya bantu nata."

"Payung, Nduk. Ambilkan payung."
Perintah Ibu langsung kutanggapi dengan berlari ke dalam rumah. El masih berada di sana saat aku masuk. Tapi ketika aku kembali pria itu sudah pergi.

"Mas El sudah pulang. Hujan-hujan dia."

Ucapan Ibu membuatku melongo. Percuma aku tadi lari-lari mengambil payung.

****
"Sari ...," Apa aku salah dengar, itu suara Bapak memanggilku. Sedangkan aku ada di kamar mandi sekarang.

Dengan rambut masih penuh busa karena tidak sempat meneruskan keramas, aku berlari ke kamar Bapak.

Bapak baik-baik saja, dia masih tidur. Apa aku tadi salah dengar?

"Sari ...." Aku mendengar rintihan lagi.

Akhirnya aku masuk kamar, lalu memeriksa dahi Bapak. Panas, Bapak demam.

Karena panik aku sampai tak sadar kalau rambutku masih penuh busa, berlari ke toko. Mencari Ibu yang sedang sibuk melayani pembeli.

***
"Panggil Mas El, Nduk. Kita periksakan Bapak," seru Ibu tak kalah panik.

Aku melesat kebelakang, menemui El yang tengah bersantai dengan kaus kebesarannya. Lalu kujelaskan singkat alasanku mencarinya.

Dan setelah drama pencarian mobil, beberapa jam kemudian kami sampai di rumah sakit.

"Kenapa ketawa?" tanyaku ketus. Kami baru bisa istirahat setelah mengurus semua persyaratan karena Bapak harus opname, Bapak didiagnosa typus.

Pria yang kini memakai jaket hitam yang menurutku tak pernah di ganti itu malah terpingkal.

"Apa sih, El?"

"Sini deh kamu. Deketan sini," pintanya.

Aku mendekat tapi ya tidak terlalu dekat, takut di kerjain.

Tangannya terulur. "Kamu tadi sedang mandi?"

Aku baru menyadari sesuatu, jadi saking paniknya, aku belum sempat membilas sisa shampo di rambutku. Aku terlalu panik saat itu.

El makin terkekeh melihat ekspresi wajahku. Dia mengusap rambut yang masih ada sisa sampo itu pelan, membuatnya tak ada sisa lagi di rambutku.

Dan perlakuan sederhana pemilik wajah tampan itu sukses membangkitkan rasa asing yang kemarin menghilang.

Bersambung.





BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tamat)Where stories live. Discover now