**Sosok Ibu Mertua**

115 4 1
                                    


"Dei, alangkah lebih baik kalau kamu berhenti bekerja. Sudah dua tahun kalian menikah. Harusnya kalian sudah punya anak. Selain program kehamilan, kamu juga harus menjaga kesehatan."

Bu Rita membeberkan keresahan hatinya. Wanita paruh baya itu bahkan membawa putrinya untuk membicarakan hal itu dengan Deisy. "Iya kak. Teman-temanku banyak yang langsung hamil setelah berhenti bekerja. Dan lagi, pekerjaan kakak bukan pekerjaan yang mudah."ucap Icha menambahi.

Bukannya tidak mau. Tapi Deisy menyayangkan perjuangannya jika resign. Ia bahkan sudah sampai di posisi yang cukup tinggi. Usianya juga sudah tidak muda jika memutuskan untuk bekerja lagi.

"Bukannya tidak mau, ma. Tapi agak sayang kalau aku resign sekarang. Posisiku juga udah bagus di perusahaan itu."

"Siapa yang peduli?"bentak Bu Risa. "Kamu lebih mentingin pekerjaan itu daripada keluarga? Cih, asal kamu tahu, kami semua mengharapkan cucu. Kalau tahu akan begini, buat apa kalian menikah?"

"Ma, udah ih. Kak Deisy pasti tahu apa yang terbaik."bela Icha. "Ayo kak, kita pergi aja."lanjutnya mengajak Deisy keluar dari ruangan itu. Kamar khusus yang diberikan Pak Amran untuk Bu Rita.

"Kak, ucapan mama gak usah dipikirin ya. Kakak mau ada acara kan sama Mas Leo? Siap-siap aja sekarang."

"Ah, Iya Cha. Makasih ya."

Icha mengangguk sambil tersenyum. Deisy naik tangga menuju ke lantai 2. Ia masuk kamar dengan jantung yang masih berdegup kencang. Ia melihat suaminya sedang tidur. Ia pulang agak malam kemarin. Itu sebabnya, pria itu bangun lebih siang.

Kalau boleh jujur, Icha jauh lebih jahat dibanding Bu Risa. Perempuan itu bahkan membicarakan Deisy di depan teman-temannya. Menggunjingnya sebab belum bisa memberikan cucu untuk keluarga Prasesa. Dia perempuan yang diam-diam menghanyutkan.

"Sayang, ada apa lagi?"bisik pria itu sambil memeluknya dari belakang. Deisy memutar badan dan menghadap ke arahnya. Ia menggenggam tangan suaminya itu.

"Mas, mama ngomongin lagi soal itu. Jujur aja, kita sudah melakukan banyak cara. Bahkan kita sudah ikut program ke dokter. Tapi mama malah menginginkan yang lain. Mama ingin aku resign dari kantor. Apa itu masuk akal?"

"Udah. Kamu gak usah pikirin ucapan mama. Kita akan tetap berusaha sendiri. Nanti siang, kita ke dokter lagi. Oke?"

Deisy mengangguk setuju. Leo memeluknya lagi. Bagi Deisy, Leo saja sudah cukup. Yap, dari awal juga Deisy mau hidup berdua bersama pria itu. Tapi apa mau dikata, dia jatuh cinta pada pria yang punya keluarga besar. Pria yang merupakan bagian dari Group Prasesa. Cinta tak bisa diputar balik. Dan bagi Deisy, mengalah juga bagian dari cinta.

Hidup bersama keluarga besar Leo tidaklah terlalu berat. Yang berat adalah menerima ocehan soal kehamilan. Seakan hamil adalah prestasi yang lebih tinggi dibanding menjadi seorang istri yang baik. Mungkin Bu Risa akan lebih senang punya menantu pembangkang tapi punya anak. Ya, bisa dilihat dari sikapnya yang kian hari semakin jahat. Menyalahkan Deisy untuk tiap kondisi.

"Pantas saja kamu belum hamil. Kerjaan-mu begitu."

"Jangan makan sembarangan!"

"Coba beli testpack, siapa tahu udah hamil."

Dan masih banyak lagi. Tiga tahun pernikahan seperti sudah seabad. Bu Risa selalu menyalahkannya. Dan entah kenapa, rumah berubah jadi seperti neraka.

"Icha, kami mau ke dokter."ucap Leo.

"Iya, Mas. Semoga sukses ya."balas Icha dengan senyum ceria. Dia memang ahli mencairkan suasana. Tapi semua itu hanya kepalsuan.

Masih sama seperti hari kemarin. Pesan dari dokter tidak berubah. Sesungguhnya, tidak ada yang salah dari mereka. Mereka cuma tidak beruntung seperti orang lain. Tapi percayalah, jika Tuhan berkehendak, mau sekarang atau besok, selalu ada harapan. Yep, semua harus bisa menerima fakta bahwa tiap pasangan punya waktu yang berbeda-beda. Ada yang hamil dengan cepat, ada juga yang harus menunggu lima sampai sepuluh tahun.

Jeruji PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang